“Aku membencimu Ayah!”
Kalimat itu akan terdengar mana kala saat waktu tak memihak pada seorang gadis kecil yang terlihat begitu polos ini. Padahal hasratnya bukan sebuah mainan atau menjadikan dia putri kecil penguasa dunia. Tidak! Namun sosok tangguh itu hanya diam dengan sorot mata yang redup, tetapi tak setetes pun bulir memecah di raut wajahnya. Dia terlihat tak peduli. Bahkan setiap kali ini terulang, gadis kecil itu hanya bisa bertanya-tanya apa benar yang tengah diam membisu itu adalah pelindungnya? Pertanyaan itu seperti angin lalu saja, karena tidak ada yang menjawab.
Gadis kecil itu lalu membaringkan tubuh, juga menenangkan hatinya yang selalu saja datang dengan kata kacau. Berusaha setenang mungkin agar tak menentang hati batu yang dimiliki sosok tangguh itu. Kadangkala dia merasa sendiri, padahal sosok tangguh itu selalu berada di sampingnya.
Gadis kecil itu juga bukan tipe orang yang suka mengalah. Mungkin karena dia yang masih suka dengan dunia permainan, membuat dia ingin diperhatikan lebih dari hari-hari sebelumnya. Namun entah dari mana asal kedewasaan yang dimiliki gadis diusia belia ini yang membuat dia mengerti dunia lebih dari teman-temannya. Memang irama kehidupan tidak selalu merdu bukan? Inilah yang menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.
“Yah, besok bisa datang ke sekolah kan?” gadis itu kembali merayu sosok tangguh itu sewaktu akan ada acara di sekolah yang mengharuskan orang tua datang. Tentu dengan wajah polos. Bahkan seperti kebanyakan anak putih-merah lainnya yang lebih mendengarkan guru mereka berbicara. Sedangkan seperti biasa, sosok tangguh itu hanya diam sembari menatap lekat-lekat lembaran kertas di tangan kanannya. Lama. Namun gadis itu tidak menyerah.
“Mungkin acaranya itu-itu saja,” sosok tangguh itu menjawab seadanya. Gadis itu ingin menyela, tapi seseorang yang dingin itu kembali melanjutkan dengan nada datar, “Ayah bisa bertanya pada ayah temanmu besok.” Mendengar jawaban itu, dia hanya bisa beranjak dengan kepala tertunduk.
Ternyata tidak berhenti di sini saja. Hari penting gadis itu pun terasa sangat hambar. Gadis kesepian itu hanya bisa memandangi orang tua teman-temannya yang mengisi bangku undangan di hari pisah kenang mereka. Benar, ada perasaan iri yang menjalar di lubuk hatinya. Bukan hanya itu, dia merasa menjadi manusia paling menyedihkan di dunia. Lantas sekarang, hanya bulir air mata yang dia miliki, satu-satunya teman paling setia.
Setelah sampai di rumah, gadis yang masih dipenuhi kekacauan dalam hati itu pun mendapati ayahnya yang tengah duduk seperti biasa bersama lembaran kertas di tangan kanannya. Perasaan canggung sungguh kentara di dalam ruangan itu. Namun gadis itu tidak peduli, dia lalu beranjak ke kamar tanpa permisi.
“Segera tidurlah Ra, sudah malam.” Langkahnya terhenti beberapa saat, dia menunggu kelanjutan perkataan ayahnya tapi kalimat yang diharapkan tak segera keluar. Perasaan gadis itu sangat kecewa, dia langsung membungkus diri dengan selimut. Bulir pun kembali pecah dengan tubuh yang tergoncang karena segukan.
“Jahat! Sulitkah ayah mengucapkan selamat dan meminta maaf kepada Ra? Ira benci ayah.”
Waktu pun terus berputar. Kali ini adalah hari pertama masuk sekolah menengah pertama untuk Ira. Semoga saja pagi ini akan menjadi hari membahagiakan.
“Sarapan dulu Ra.” Dia diam beberapa saat, memastikan dari mana suara itu berasal. Lalu dia mengangguk sembari mengaitkan tas ransel di kedua pundaknya.
“Sepertinya ayah akan menjadi orang kedua yang cerewet seperti ibu dulu,” gerutunya dalam hati. Namun Ira tidak mempersalahkan itu, karena dia harus segera berangkat.
Harapan di hari pertama untuk Ira sepertinya terwujud. Bukan hanya teman baru, tapi juga ayahnya yang semakin terbuka. Tidak seperti dulu yang hanya diam terlihat tak peduli. Sekarang sosok pendiam itu lebih banyak bertutur apalagi bila berurusan dengan jadwal makan Ira. Aneh. Kedekatan itu malah menimbulkan pertanyaan dari lubuk hati Ira, apa ini akan terjadi seterusnya? Sayangnya, seolah-olah cahaya kembali tak mengikutinya.
“Ayah, besok bisa mengambil rapornya Ira kan?” gadis itu berdiri dengan nada ragu, sedangkan ayahnya diam tak membalas. “Tak ada harapan. Percuma,” dia kembali menggerutu dalam hati sembari beranjak pergi.
Keesokan harinya, Ira hanya menunduk lesu melihat teman-temannya. Tentu saja karena satu demi satu orang tua teman dia datang, sedangkan dia sendiri tidak tahu nasib akhirnya nanti. Apakah dia bisa membawa rapor tanpa kedatangan sosok tangguh itu?
Tak terasa acara pengambilan rapor pun telah usai. Melihat hasil dari salah satu temannya, dia cukup lega meski di urutan ketiga. Memang tak sepuas dengan memandang rapor sendiri, tapi dari hasil itu tercipta sebuah tarikan kecil di sudut bibirnya. Sambil lalu dia berbincang dengan temannya, sebelum tepukan lembut hinggap di bahu kanan Ira. Dia terdiam beberapa saat sembari membalikkan tubuh, kepada seseorang yang datang dengan senyuman hangat kepadanya.
“Pergilah ke wali kelasmu Ra, beliau menunggumu di ruang guru.” Ira hanya mengangguk kepada salah satu temannya yang datang itu. Syukurlah, wali kelas Ira memberikan rapornya tanpa perlu berbelit. Wali kelas yang pengertian. Tentu saja, sebagai wali kelas harus tahu apapun kondisi anak didiknya ‘kan? Apakah itu berkaitan dengan masalah pribadi dan lainnya. Terlebih dengan emosional Ira sekarang, dia sungguh membutuhkan perhatian lebih. Setelah perpecahan dalam keluarga, diantara ayah dan ibunya.
Sambil mendekap benda berbentuk persegi panjang berwarna biru tua itu, dia berjalan seraya berharap ayahnya akan berubah menjadi lebih terbuka lagi. Semoga dengan prestasi yang dia dapat hari ini mendatangkan kebahagian dalam hatinya. “Ini untukmu ayah,” gerutunya dalam hati.
Fajar telah tenggelam sekitar satu jam yang lalu. Kini tinggal menunggu, apa dia sudah berhasil mengumpulkan keberaniannya berhadapan dengan sosok dingin itu? Mengapa perlu waktu lama? Padahal, dia hanya perlu menyerahkan rapor itu dan menunggu responnya ‘kan? Namun entahlah, melakukan itu serasa menjadi hal terberat yang akan dilakukannya. “Jika ayah tetap saja, lalu apa yang harus aku lakukan?” Ira kembali menimang pemikirannya, tetapi langkahnya membawa pada suatu kepastian.
Ternyata tetap saja. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari sosok dingin itu. Ira hanya bisa berpikir, sebenarnya apa tipu muslihat yang dilakukan ayahnya ini? Ira sudah tidak kecewa. Sebab tentu saja hal semacam ini sudah menjadi tradisinya tiap tahun. Seberapa pun yang dia perbuat tidak akan membuat ayahnya berkomentar. Bukankah dia pernah bilang, sosok itu diam bagaikan patung yang tak peduli pada lingkungannya?
Akan tetapi dia juga sosok pengajar yang andal. Sebab hatinya yang keras, melatih mental Ira untuk selalu mandiri. Bersikap keras mengajarkan Ira tentang apa itu arus kehidupan. Juga karenanyalah Ira tahu, siapa seseorang yang paling mencintainya.
“Dan sekarang baru kusadari ayah, bahwa diam adalah caramu memberikan perhatian. Sikap tak peduli juga hati kerasmu adalah caramu memperkenalkan aku kepada dunia. Maaf ayah, aku baru menyadarinya. Ternyata kau orang yang begitu peduli akan keberadaanku. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkan malaikat kedua yang begitu lembut kepadaku.”
No comments:
Post a Comment