Resensi Novel Aku Sadar, Aku Gila karya Bahril hidayat Lubis


Identitas Buku :

Judul Novel                 : Aku Sadar, Aku Gila

Pengarang                   : Bahril Hidayat Lubis

Penerbit                       : Zikrul Hakim

Cetakan                       : I, Mei 2007

Tempat Terbit              : Jakarta Timur

Tebal                           : 160



Kepengarangan:

Penulis bernama lengkap Bahril Hidayat Lubis. Lahir dan dibesarkan di Pekanbaru, Riau pada 5 Mei 1979. Ia pun telah menamatkan studi S1 di jurusan Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Penulis aktif di dunia menulis dan akademik. Ia pernah meraih Peringkat Terbaik I Lomba Menulis Artikel Islam Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh L-Data Jakarta (2002), Terbaik I Mahasiswa Berprestasi dalam Psikologi UII Award Bidang Publikasi dan Komunikasi (2002), dan penghargaan lainnya. Penulis juga pernah menjadi konselor anak jalanan perempuan yang rentan (2001-2002) pada salah satu LSM di Yogyakarta.

Pada tahun 2001 menulis buku tentang Dialektika Psikologi dan Pandangan Islam yang diterbitkan tahun 2002 oleh UNRI Press. Di awal 2006, ia menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Saatnya “Aku” Tak Lagi Ada diterbitkan oleh Alenia, Yogyakarta. Kemudian Penerbit Fahima Yogyakarta menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Cinta di Atas Cinta pada April 2006.

Penulis juga aktif di keanggotaan Asosiasi Psikologi Islam (API) sebagai Anggota Biasa ( 2003-sekarang) yang berpusat di Yogyakarta dan pernah mengajar di Fakultas Psikologi UIN Suska Pekanbaru (2004-2005). Pada September 2005, ia merumuskan dan mempresentasikan Teknik Terapi Identifikasi di Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami di Yogyakarta, sebuah pendekatan psikoterapi yang disusun berdasarkan pengalamannya dalam menundukkan keganasan psikosis.

 

 Sinopsis:

Bahril Hidayat adalah seorang yang terbilang pintar, disaat dia berusia 12 tahun, dia berhasil mendapatkan NEM tertinggi bahkan ia menjadi juara umum waktu kelas enam di SDN 011 Pekanbaru, Riau 1991.

Waktu semakin berputar, dan Bahril kini tengah duduk di bangku SMA. Memang Allah telah menganugerahkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara baik dan mapan kepada Bahril. Tetapi penyebabnya hanya satu , dia menyalah gunakan narkoba dan minuman keras pada masa remajanya.

Semua itu berawal dari kebiasaannya yang menghirup bensin dan lem selama SD hingga SMP, yang membuat kenakalannya semakin meningkat. dia mulai mengenal minuman keras, dan masa SMA adalah masa kejayaan menurutnya.

Setelah lulus SMA, berangkatlah dia ke Yogyakarta. Dua malam Bahril menginap di hotel, akhirnya dia menemukan satu rumah kos yang berjarak 500 meter dari kampus Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Namun, kebiasaan Bahril masih belum dia tinggalkan, malahan sekarang lebih parah lagi. Rumah kos-kosan yang sering disebut green house karena bercat hijau ini, ternyata berpenghuni Mahasiswa yang sudah mengenal narkoba, tak ayal ini juga mempengaruhinya. Selain Bahril mengonsumsi narkoba, dia juga sering bermain judi hingga memiliki hutang tujuh juta rupiah kepada teman satu kosnya. Dan tanpa disadari, kebiasaannya ini sampai ke telinga orang tuanya. Tak mau pikir panjang lagi, orang tuanya langsung menarik Bahril kembali ke Riau.

Beberapa hari kemudian, akhirnya Bahril mendapatkan kesempatan kedua dari orang tuanya. Keesokan harinya, berangkatlah lagi dia ke Yogyakarta. Namun dia kembali melakukan kesalahan besar, dia kembali ke lingkungan yang lama. Di lain sisi hati kecilnya berkata bahwa dia harus berubah, dengan berpegang pada tekadnya, dia menelepon Haekal temannya dan meminta izin untuk pindah dari green house dan ingin tinggal bersamanya. Dan syukurlah, Haekal memberinya izin untuk tinggal bersama. Tapi meskipun Bahril tinggal bersama Haekal, dia masih mengonsumsi bir. Memang dia sudah berhenti berjudi dan meminum alkohol berkadar tinggi, tapi bir tetaplah minuman yang memabukkan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Haekal tentu mengetahui hal itu, dia hanya bisa bersabar dan selalu menasihatinya dengan mengajaknya ke pengajian-pengajian.

Perkembangan Bahril semakin pesat. Bahkan Bahril sempat mendengar isu bahwa di kalangan dosen dia mendapat gelar “Mahasiswa Ajaib”. Nilai-nilainya yang dulu turun, kini sedikitdemi sedikit meningkat. Bahkan dia berhasil memenangkan lomba menulis artikel Islami, dan satu lagi-dia terpilih menjadi Pemenang Mahasiswa Teladan di Bidang Publikasi dan Psikologi UII Award 2002.

Setelah semua itu berlalu, ternyata nasib baik tak selalu berpihak pada Bahril. Dia dihadapkan pada suatu masalah yang pelik, dia sering bermimpi aneh dan membuat tenggorokkannya begitu terasa kering. Dan untuk menghadapi masalah ini, Bahril kembali memasuki dunia alkohol yang menjadi pelariannya.

Hari-hari terus berlanjut, waktu itu Bahril terlihat bersusah payah berjalan ke kamar mandi, tapi tubuhnya langsung terjerembab di lantai dengan kepala yang berdenyut dan membuatnya muntah-muntah. Dia memanggil temannya Sahar untuk segera membantunya, saat Sahar mengetahui kondisi Bahril yang lemah itu, dia langsung membawanya ke rumah sakit.

Empat hari kemudian, datanglah orang tua Bahril dari Riau setelah mendapat kabar Bahril sedang sakit. Saat menemui dokter yang merawatnya, kedua orang tua Bahril terkejut saat dokter itu mengatakan bahwa penyakit Bahril di luar wilayah kemampuan medisnya, dokter itu menyarankan agar membawa Bahril ke psikiater, karena selama tiga hari Bahril dirawat di rumah sakit, dia selalu mengigau, berteriak, bahkan dia berkata telah melihat hal yang bukan-bukan. Malam kedua dia dirawat di rumah sakit, perawat melaporkan bahwa dia mengamuk dan marah-marah, namun jika ditanya dia mengaku tidak ingat. Sedangkan setelah dia dibawa ke psikiater, Bahril divonis mengalami masalah kejiwaan berat. Dan pada pertengahan bulan September 2002, Bahril mengalami halusinasinya yang pertama. Halusinasi itu berupa suara perintah untuk bunuh diri, dan hal ini berlangsung kurang lebih satu tahun.

Di salah satu hari Jumat bulan Juni 2004, Bahril mengikuti salat fardu Jumat di Masjid Al-Muqarrabin. Saat salat Jumat tiba, Bahril berdiri dan salat pada saf pertama di sebelah kanan imam. Tibalah pada bacaan rakaat pertama, imam membaca surat Ar-rahman. Namun entah mengapa, sampai pada ayat ke-13, Bahril merasa ada sesuatu yang memukul dadanya sangat keras. Bahril terkejut dan gemetar, begitu pula pada ayat ke-18 dan 21. Bahril menangis dan bertambah gemetar sehebat-hebatnya, karena dia merasa pertanyaan itu ditujukan padanya. Hanya badan yang melaksanakan gerakkan salat, namun hatinya tak mampu membaca bacaan salat.

Allahu Akbar. Setelah peristiwa itu, kesadaran beragama Bahril pun beransur-ansur pulih, begitu pula dengan kesadaran mental dan psikologinya.

Buku ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja dan dewasa. Namun ada beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah, sehingga sedikit menyulitkan pembaca untuk menafsirkan cerita. Di dalam buku ini penulis berusaha mengajak pembaca agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Dan juga, penulis mengajak kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya.

 

No comments:

Post a Comment