[Cerpen]: Bingkisan Abadi (Sudah diterbitkan dalam antalogi cerpen Bunga Abadi oleh Penerbit Rumahkayu Indonesia)

       


“Nanti saja Bun,” serunya malas yang masih sibuk dengan tayangan televisi. Namun setelah dia mendapati bundanya kembali sambil membawa benda yang tak asing lagi, dia langsung beranjak. Dia tergopoh-gopoh, meskipun masih dengan perasaan malas.“Bunda jahat,” gerutunya sembari berjalan ke kamar mandi.

Tidak ada gunanya membantah maupun berdalih, bila seseorang yang sering dipanggilnya bunda ini sudah berseru mengeluarkan titahnya. Bahkan seperti tak ada kata kelembutan, kehangatan yang biasa dia dengar dari lagu-lagu maupun bacaan dari media massa. Tidak. Itu hanya omong kosong, pikirnya. Jika memang kelembutan itu bercirikan dengan seorang bunda, bukankah bunda seharusnya bersikap seperti itu? Tetapi ini malah menganggangkat tangan kanannya dengan sebuah sapu kadang-kadang kemoceng dan bahkan benda sejenisnya.

Satu lagi. bundanya terlalu pilih kasih. Mengapa selalu dia yang mendapatkan pukulan itu? Kakaknya juga sedang menonton televisi, tapi tidak apa-apa. Bahkan kakaknya kadang tersenyum simpul, saat bundanya mulai membawa benda itu di tangan kanannya, cuek dan suka mengejeknya saat senja mulai datang. Apa karena perbedaan usia? Memang kakaknya terlihat gadis yang pandai. Tentu saja sebab dia beda sepuluh tahun dengannya. Lalu apa masalahnya? Kenapa seseorang yang disebutnya bunda selalu bersikap berbeda kepadanya?

Beberapa bulan kemudian anak berusia sembilan tahun itu baru pulang dari sekolah. Baru masuk, dia mendapati bundanya tengah menyibukkan diri dengan sebuah cat kayu berwarna biru tua. Lama dia memandangi bundanya yang sesekali menorehkan kuas ke berbagai perabotan rumah tangga. Heran dan penasaran, lalu dia berusaha memastikannya.

“Sedang apa Bun?” tuturnya tak kuat lagi menahan rasa penasaran. Bundanya tak segera menjawab, sehingga membuat gadis yang masih berseragam coklat itu berjongkok memperhatikan.

“Ini, sedang memberi nama pada perabotan-perabotan,” jawabnya tanpa beralih sedikit pun pada gadis yang baru datang itu. 

“Tapi... Kok?” serunya heran saat menemukan namanya di berbagai perabotan itu. “tapi kenapa semuanya ditulis nama Ita? Kenapa bukan nama bunda, kakak, atau ayah?” lanjutnya menuai pertanyaan.

“Karena nama Ita lebih mudah ditulis.” Gadis yang dikenal bernama Ita–itu pun hanya bisa mengangguk setelah mendapatkan jawaban dari bundanya. Benar juga kata bunda, nama Ita memang mudah ditulis. Apalagi di perabotan-perabotan itu hanya ada huruf ‘It’ tanpa berakhiran ‘a’.

“Segeralah ganti pakaian, lalu makan.” Mendapatkan perintah itu, dia langsung beranjak ke kamarnya.

Sang surya telah tergelincir tiga puluh menit yang lalu. Azan magrib juga telah terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumahnya. Seperti biasanya, dia dan kakaknya sedang menonton televisi.

“Salat magrib dulu Ta” seru bunda yang tengah berjalan menghampiri keduanya.

“Tanggung Bun, bentar lagi acaranya juga selesai,” serunya tanpa melirik sedikitpun pada bundanya. Mendengar jawaban dari anaknya, ibu dua anak itu beranjak tanpa meninggalkan kata-kata.

Selang sepuluh menit, ibundanya kembali menyuruh Ita untuk salat. Namun dia kembali menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu pula untuk ketiga kalinya, bunda  kembali menyuruhnya salat, dan apa jawabannya?

“Nanti saja Bun salatnya,” serunya dengan malas, masih menonton televisi.  Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Namun beberapa detik kemudian, seseorang yang disebutnya bunda itu membawa sapu ijuk di tangan kanannya.

“Bunda boleh melakukan kekerasan karena kamu sudah berusia sembilan tahun, juga sudah memperingatimu tiga kali berturut-turut. Ayo! Mau salat apa tidak?” perintah bunda dengan mengangkat tangannya dengan nada suara yang tak kalah menakutkan. Tanpa berdalih apa pun, Ita langsung beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. “Jahat! Bunda jahat,” gerutunya dalam hati.

Selesai salat magrib, seperti biasa juga bundanya sudah menunggu Ita di ruang tengah. Dia seperti berat hati melangkah mendekati seseorang yang telah melahirkannya itu. Apa lagi dengan satu eksemplar buku berwarna coklat tua yang berada tepat di hadapannya. “Ah, pasti....” belum selesai dia berbicara dalam hati, bundanya sudah memanggilnya untuk segera mendekat. 

“Ayo buka iqra-nya. Sampai mana tadi malam?” nada pertanyaan bunda memang terdengar lembut, tapi itu malah membuat Ita ketakutan. Entahlah, tetapi saat-saat seperti inilah bunda tak seperti bunda yang biasanya. Apalagi saat mendengar bunda melantunkan ayat suci-Nya, sangat berbeda, wajah bunda terlihat lebih tenang, juga suaranya yang terdengar menenangkan.

Lima belas menit telah berlalu, tanpa diperintah lagi Ita berjalan ke kamarnya untuk belajar. Dia takut menciptakan emosi bundanya lagi. Dia tidak ingin mendengar kalimat-kalimat mengerikan dari bibir bundanya. Sudahlah, cukup. Namun beberapa langkah dia beranjak, suara ibunda membuatnya terhenti.

“Besok bunda akan mengantarmu ke surau,” tutur bunda tanpa melepaskan kitab suci dari kedua tangannya.

“Ita tidak mau Bun,” sergahnya segera.

“Tapi bunda ingin kamu mengaji di sana.” Mendengar ucapan bundanya, Ita hanya bisa diam, karena percuma bila dia menyela untuk menolak permintaan seseorang di hadapannya. Percuma. Lalu dia memilih untuk beranjak kembali tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Surau. Memang tidak ada kata yang salah dengan nama itu. Akan tetapi mengapa kata surau seolah menjadi alergi untuk Ita? Apa alasan dia tidak menyukainya? 

Benar, sudah lama pula teman-temannya mengajaknya ke surau, tapi tak pernah dia indahkan. Bukankah anak seusianya paling senang bila berkumpul dengan teman-teman sepermainan? Namun kali ini berbeda bagi Ita. Dia malah sebaliknya paling tidak suka berinteraksi, apalagi bertemu banyak orang. Baginya, rumah adalah segalanya.

Seperti yang sudah direncanakan, menjelang surya tenggelam Ita dan bundanya pergi ke surau. Dia hanya mengekori bundanya sebelum benar-benar duduk tenang bersama teman lainnya.

“Bunda akan menjemputmu setelah salat isya.” dengan setengah hati Ita mengangguk, memandanginya yang semakin menjauh.

Di surau, Ita tak hanya diajari mengaji. Kadang selesai mengaji akan diisi bercerita terutama tentang dunia Islam. Bercerita atau mendengarkan cerita yang dia sukai? Tentulah yang kedua. Dia lebih suka mendengarkan dan terbilang tak banyak bicara. Sesekali tersenyum juga tertawa ketika ada teman-temannya tanpa sengaja sedang melucu. Memang masih belum sepenuhnya dia nyaman, tetap setengah hati melakukannya. Kalau bukan karena bundanya, mungkin dia tidak akan ada di tempat ini.

Sore yang cerah menawan. Tak henti-hentinya Ita menyunggingkan seutas tarikan hangat di sudut bibirnya. Tentu saja bukan karena bundanya sedang sakit, tapi karena dengan begitu dia memiliki alasan untuk tidak pergi ke surau sore ini.

“Pergilah ke surau Ta,”  tutur bunda ketika Ita dan kakaknya duduk di tepi ranjang sambil memijati bunda yang berbaring lemah. Ita hanya bergeming melanjutkan memijat bunda.

“Pergilah ke surau Ta,” perintahnya lagi yang mendapati Ita seolah tak mendengarkan. 

“Ita ingin di sini saja menemani bunda.”

“Sudah ada kakak yang akan menemani bunda.”
“Lalu, siapa nanti yang akan menjemput Ita? Bunda ‘kan sakit,” jawabnya mencari alasan.
“Ada ayah, kakak.” kali ini Ita hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak bisa berdalih lagi dengan bundanya. Dengan segera dia beranjak dari ranjang, bersiap-siap pergi ke surau.

***

“Kenangan yang mengesankan Bunda, bukankan begitu? Mengingat uluran masa lalu serasa ingin kembali mengulanginya. Sebuah pukulan sapu ijuk saat menjelang salat magrib, titah Bunda yang mengharuskan Ita berangkat ke surau dan perabotan-perabotan rumah tangga bernama Ita, hanya bisa diingat sesekali.

Tahukah Bunda? Ita merindukan semua itu. Ita rindu dengan nasihat-nasihat yang membuat Ita tak bisa berdalih, suara Bunda yang menenangkan ketika melantunkan ayat suci-Nya, wajah dan ekspresi Bunda, emosi, semua tentang Bunda–Ita rindu. Apa yang harus Ita lakukan untuk menghapus ukiran rindu ini Bunda? Hanya rentetan kenangan ini yang Ita miliki, itu pun sangat terbatas dan Ita tidak bisa melukisnya lagi bersama Bunda.

Namun bagaimana pun kondisinya, terima kasih Bunda. Kali ini Ita mengerti arti dari benang-benang sulaman Bunda. Bahkan sampai saat ini, sulaman Bunda masih terlihat indah. Bunda adalah penyulam terhebat yang pernah ada. 

Ita tak menyangka tentang kenangan sembilan tahun silam. Memori yang sangat kental dalam akal juga terpatri dalam jiwa, sudah mengajarkan Ita banyak hal.

Mulai detik ini, Ita berjanji akan selalu menjaga benang sulaman Bunda. Ita akan menjaganya, sampai kita bisa bertemu kembali mengukir canda tawa seperti dulu. Kembali mendengarkan nasihat-nasihat Bunda yang akan kembali menjadi kenangan, di tempat paling indah–yang  tiada duanya di dunia.

Bunda, sekali lagi terima kasih.”
Salam rindu dari anakmu,

-Ita.

No comments:

Post a Comment