1. Iwan Simatupang - Pada Kepergian Bersama Angin
buat murid-muridku di Surabaya
buat murid-muridku di Surabaya
Irama dari bahaya dan bencana
Lagi-lagi gentayangan dari jauhan
Ah, mengapa panji tak kuangkat saja kembali
Dan
Berlari jingkat telanjang bulat ke muka
Dengan tembilang
Memupus segala jejak di belakang?
Usah duga
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Mana tugu ujung segala pencarian
Hanya
: Bila pelangi cerlangi dinihari pekat
Dan asap berkepul hijau dari bintang-gerhana –
Datang, datanglah kau
Ziarahi aku dalam bayang terkulai
Dari tiang gantungan atas piala racun tercecer...
Dan aku
Akan ziarahi semua
Penziarah
Dengan senyum –
Seribu-kiamat
Iwan Martua Dongan Simatupang, lebih umum dikenal sebagai Iwan Simatupang
adalah seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia. Iwan Simatupang lahir di
Sibolga, pada 18 Januari 1928, Ia belajar di HBS di Medan, lalu melanjutkan ke
sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya tetapi tidak selesai. Kemudian belajar
antropologi di Universitas Leiden (1954-56), drama di Amsterdam, dan filsafat
di Universitas Sorbonne, Paris, Perancis pada Prof. Jean Wahl pada 1958.
Pada mulanya ia menulis sajak, tetapi kemudian terutama menulis esai,
cerita pendek, drama dan roman. Sebagai pengarang prosa ia menampilkan gaya
baru, baik dalam esainya, maupun dalam drama, cerita pendek dan terutama dalam
romannya; dengan meninggalkan cara-cara konvensional dan alam pikiran lama.
Jalan cerita dan penampilan watak dalam semua karangannya tidak lagi terikat
oleh logika untuk sampai kepada nilai-nilai baru yang lebih mendasar.
Puisi di atas mengisahkan “Aku” yang tengah mengalami musibah atau bencana,
dia berusaha mencari bantuan, yang dalam puisi di atas terdapat pada bait kedua
larik kedua, yakni “Mana tugu ujung segala pencarian” hingga pada akhirnya
“Aku” tersebut tidak menemukan ujung
yang dicari, lalu ajalnya menjemput dengan amarah karena belum menemukan ujung
pencariannya.
Puisi “Pada
Kepergian Bersama Angin” ini termasuk ke dalam sastra profetik yang
transendental yaitu pengalaman keseharian yang bersifat supralogis.
No comments:
Post a Comment