[Cerpen]: Bukan Rahasia


Raut-raut wajah itu hanya melukiskan ketegangan. Takut. Gelisah dengan kesenyapan yang ada. Sorot mata mereka pun terfokus pada satu titik penentuan.

"Serius sekali,” suara itu hanya mengurangi sedikit kegelisahan. Bahkan mereka hanya beralih sekejap dan kembali terpaku. Baru saja dia duduk, tapi mereka malah tak bergeming. Tak ada suara setelah itu, ketakutan itu masih merajai mereka berdua.

“Hah!” kedua teman di samping kanannya berteriak ketakutan. Seraya menyandarkan punggung, atau sesekali menggigit jari. Dengan wajah yang masih sama tegangnya, kali ini hanya disertai secarik senyum kecewa.

“Istirahat dulu lah, ayo sambil diminum dan dimakan,” serunya memandangi kedua temannya yang masih belum meninggalkan ketegangan.

Benar. Sudah lima belas menit berlalu, tapi sajian di atas meja masih belum tersentuh sedikit pun. Jus sirsak dan getuk pisang seolah tak menarik perhatian. Selera mereka hanya pada sebuah benda elektronik persegi empat tipis yang mirip televisi ini.    

Orange marmalade.Dan ternyata demam Korea masih terasa, meski tak segempar dulu. Drama Korea satu ini memang membuat siapa pun yang menontonnya akan geregetan, takut, gelisah, senang, terharu dan sebagainya. Sudah terbukti bukan? Kedua orang yang tengah duduk bersitegang itu? Dan siapa yang tidak tertarik dengan cerita vampir yang bisa terbilang romantis ini? Apalagi para pemainnya yang tampan, cantik dan menawan. Jadi betah deh, nonton dramanya meski butuh waktu berjam-jam. Benar enggak?

Memang bukan masalah tampang atau visual dari orang-orang Koreanya yang membuat dramanya menjadi pilihan, tetapi cerita yan selalu segar dan mengikuti perkembangan zaman sepertinya itulah alasan utamanya.

Akhirnya saat pergantian episode satu ke episode dua, keduanya mulai menyentuh suguhan di atas meja. Ternyata butuh waktu lama untuk menarik jemari keduanya, kalau tahu begitu dia akan menghentikan sejenak dan membiarkan mereka mencicipi suguhan itu. Sudahlah, tidak ada gunanya sekarang menyesal, yang penting kita lanjutkan lagi menontonnya.

Ini adalah pertama dan sepertinya akan menjadi yang terakhir di tahun ini. Nonton bersama, adalah suasana baru untuk aktivitas kami bertiga. Hal paling langka, saat bersama akan menjadi kenangan yang sangat berharga. Benarkan? Kesempatan adalah peluang, dan kami tidak akan menyia-nyiakannya.

“Berantem yuk!” celoteh Ara di media sosialnya. Kalau emosinya sudah meluap, anak ini memang ada-ada saja, bahkan kalimat apapun akan keluar. Dan apa pertanyaannya sekarang? Apa yang berhasil menyulut emosinya?

Reuni. Biasanya kata ini disuguhi dengan wajah berbunga. Bagaimana tidak? Kembali bertemu dengan teman lama itu mengasyikkan. Dengan begitu, kita akan berbagi cerita baru dari masa-masa perpisahan. Namun bagaimana, bila kata reuni itu malah sebaliknya? Sangat menyebalkan bukan?

Hal yang sudah direncanakan, hanya menjadi kicaun tak berarti. Rencana semalam itu langsung hancur tak tersisa. Sebenarnya apa yang membuat rencana ini gagal total? Apa tak ada harapan lagi untuk kembali berkumpul bersama? Sebuah takdir sepertinya juga sudah benar-benar meretakkan kepingan solidaritas yang kami ciptakan dulu. Dan kali ini kembali menuai pertanyaan baru, apa kebersamaan kami tidak ada artinya untuk mereka? Ya, untuk mereka–silent reader.

“Apa harus melakukan ini untuk mengundang mereka?,” gerutu Mery sembari memainkan ponselnya. Dia sungguh tidak mengerti, tapi cara ini sungguh manjur. Ara, ternyata orang yang mengesankan, timbuhnya seraya membaca komentar-komentar dari beberapa silent reader, karena para silent reader itu mulai bermunculan.

“Maaf, kalau besok aku enggak bisa. Aku harus datang ke sekolah,” komentarnya.

“Ponselku rusak, ini pun aku pinjam milik kakakku.”

Dan masih banyak lagi berbagai warna alasan yang dituturkan mereka. Kenapa baru muncul sekarang? Lanjut Mery memperhatikan. Sedangkan Hana, dia sama aktifnya dengan Ara. Bahkan paling aktif dan tentu saja dialah yang sangat merujuk untuk berkumpul bersama. Satu lagi, dia mempunyai keinginan untuk berlibur bersama. Tetapi, rencana pertamanya sudah gagal total ya mau bagaimana lagi, mau tidak mau rencana untuk berlibur bersama harus dihentikan juga. Semoga, harapannya terwujud untuk dua tahun kedepan.

“Menyebalkan sekali tahu enggak? Kalau tahu begini, mungkin aku nggak akan teriak-teriak seperti tadi. Lagian kan apa salahnya kita kumpul bareng lagi? aku kangen kalian tahu? Kalian juga tahu kan, aku di sini tinggal beberapa hari lagi? kalau ingin ngadain reuni lagi, jadinya nunggu 2 tahun lagi deh,” gerutu Hana saat kami bertiga membuka via chatting di facebook.

“Sabarlah Han, kita sama kecewanya. Bagaimana kalau rencana besok kita nonton film saja di rumahku. Aku punya film Korea terbaru. Emm... bukan film sih, drama Korea mau? Ajak Ara juga, biar tambah ramai. Percuma kalau hanya kita berdua, nantinya hanya diam-diaman,” balas Mery yang tak kalah panjang lebarnya.

Namun ada benarnya juga kata Mery, jika seorang pendiam nonton sama orang pendiam juga malah nggak asyik kan? Nanti malah filmnya yang nonton orang lomba diam. Apalagi sekarang Hana semakin tak banyak bicara, jarang sekali. Saat kemarin mereka berkunjung ke rumah Ara, dia hanya tersenyum, mengeluarkan sepatah dua patah kata saja, dan hanya berkutat pada benda elektronik persegi empat yang selalu ada di jemari kanannya.

Setelah salat duhur, Hana, Ara sudah berada di rumah Mery. Posisi mereka tepat dihadapan benda mirip televisi yang lebih tipis dan mudah dibawa ke mana- mana. Tentu saja, keduanya langsung menonton sedangkan Mery pergi entah ke mana.

Maaf lama, sebelumnya dia hampir saja mengutarakan kata itu, tapi urung saat menatap kedua temannya yang super serius. Raut-raut yang melukiskan ketegangan, takut, haru, senang, sangat tampak kasat mata. Dan sepertinya, bertanya tentang keadaan ini terlihat konyol. Namun dengan spontan bibirnya berbicara, “Serius sekali?,” dan hanya dibalas keheningan.

Mery hanya tersenyum sembari meletakkan isi nampan di atas meja, lalu duduk menemani keduanya. Tanpa ada suara lagi, kecuali teriakan terkejut, dan seruan untuk menyentuh suguhan itu.

“Baru kali ini aku melihat mereka seserius ini. Ya, pertama kali dalam pertemuan kami setelah perpisahan dua tahun lalu. Ini adalah liburan terpanjang kuhabiskan waktu bersama mereka. Dan berharap, kami bisa melakukannya kembali pada liburan tiap tahunnya.  Apakah bisa?

“Aku ingat sekali wajah serius mereka ketika satu kelas dulu. Saat kami harus dihadapkan  pada berbagai ujian sekolah, rencana masa depan, dan yang terpenting tentang kami yang akan terpecah belah dengan berbagai tuntutan. Tuntutan itu adalah mimpi kami, mimpi tinggi kami.

“Dan sekarang, pasti akan selalu kurindukan ekpresi-ekspresi ini. Lukisan tentang mereka, yang setiap saat kukenang karena begitu berharga.” 

Tak terasa, mentari semakin tergelincir ke arah barat. Tepat setengah jam setelah azan asar keduanya bergegas untuk kembali pulang.

“Tinggal beberapa episode lagi,” tutur Hana sembari meregangkan otot-ototnya. Sedangkan Ara hanya mendengarkan tanpa bersuara. 

“Iya, besok kita lanjutkan lagi bagaimana?,” pertanyaan itu langsung dijawab anggukan oleh Hana. “jam berapa besok Han, Ra?” keduanya hanya bergeming, memikirkan kepastiannya.

“Emmm... sekitar pukul sembilan bagaimana?” saran dari Hana langsung mendapatkan persetujuan dari keduanya.

Namun sayang, keesokan harinya Ara absen ke rumah Mery. Dia bilang ada urusan yang harus segera diselesaikan. Dia terlihat seperti orang yang sangat sibuk, tentu saja semenjak kami duduk di bangku kelas dua belas. Oh! Memang kami, namun kecuali Hana.

Sudah tiga jam berlalu, akhirnya kami berdua sudah melahap episode bagian terakhir. Oh, senangnya... mungkin kalimat ini yang berada di kepala Hana, sesaat kualihkan perhatianku padanya yang melukiskan ekspresi puas.

Hening sejenak ketika Hana merengangkan otot-ototnya, mengatur posisi duduknya, juga sesaat dia kembali pada jus sirsak yang sudah lama mengembun tepat berada di hadapannya. Setelah dia selesai dengan kegiatannya, Mery memberanikan diri untuk angkat bicara. 

“Kapan kamu kembali Han?” 

“Besok malam Me,”

“Lo, kok cepat sekali Han? Kita bahkan belum kumpul bareng sama teman-teman lainnya kan?”mendapatkan pertanyaan ini, Hana hanya bisa menghela napas dengan pasrah. 

“Bagaimana lagi Me, mereka juga seperti itu, sudah sibuk sendiri-sendiri. Padahal kamu tahu sendiri kan untuk tahun besok aku tidak bisa pulang? Kita bisa kumpul bareng lagi tahun 2017, itu pun kalau memang Dia mengizinkan.” Mery hanya bergeming mendengarkan tutur Hana yang panjang lebar. “terima kasih Me untuk hari ini dan kemarin, aku harap bisa nonton bareng lagi meskipun nunggu tahun 2017,” ujarnya seraya beranjak dari tempat duduknya.

“Iya Han. Aku tunggu tahun 2017,” balasnya kepada seorang santri di hadapannya.

Empat hari yang lalu...

Pagi menjelang siang, ketiganya tengah berkumpul di rumahnya Ara. Tentu saja ketiganya tengah melepas rindu setelah kurang lebih enam bulan tidak bertemu. Bahkan tak butuh waktu lima menit, untuk kembali menabur canda tawa. Semua terjadi begitu saja, padahal tak ada lelucon yang biasa Ara tunjukkan kepada keduanya. Sungguh, pertemuan kali ini amat aneh tapi mengesankan.

“Wah, wah... hati-hati airnya awas tumpah,” gurau Mery sembari tertawa memandangi Ara tengah membawa nampan berisi teh manis yang terlihat masih mengepul. Ara yang mendapatkan candaan seperti itu hanya bisa menahan tawanya supaya berhasil mendaratkan ketiga gelas itu tanpa ada masalah.

“Jangan seperti itu Me, kasihan kan dianya?” tukas Hana menyuruh Me untuk berhenti tertawa. Sayangnya, ucapan dari teman super bijak itu tak diindahkan Mery yang malah tambah tertawa setelah Ara berhasil mendaratkan ketiganya. Bagaimana dia bisa menahan tawa bila melihat ekspresi menggemaskan dari Ara tadi? Wajah dan ekspresinya sungguh diluar dugaan. Dia tak menyangka akan jadi begini, bahkan dia tak ingat kapan terakhir kali dibuat tertawa oleh kedua temannya ini, karena tentunya sudah sangat lama.
   
“Eh... Me, Ra!” seru Hana sembari mengatur posisi duduknya untuk menghadap keduanya. Sedangkan kedua insan yang mendengar namanya disebut itu juga langsung tertuju pada Hana dengan serius.

"Kalian tahu nggak, kalau sebenarnya persahabatan kita itu unik sekali loh? Bahkan orang Korea saja setiap kali akan menyebut kita.” Kedua insan itu hanya bisa mengerutkan dahi sambil menggeleng beberapa kali. Dan sekarang giliran Hana yang menertawai kedua ekspresi temannya.

“Oke, oke! Mery, coba sebut nama lengkap kamu,” perintahnya sembari memandang Mery yang berada di samping kanannya.

“Mery Abdul Ghani,” Hana hanya tersenyum lalu memberi isyarat kepada Ara.

“Ara Setyorini,” Hana kembali tersenyum dan berkali-kali menganggukkan kepalanya. Dia tahu kalau kedua temannya pasti sangat ingin tahu, karena itu sambil kembali mengatur posisi duduknya Hana melanjutkan.

“Hana,” dia menunjuk pada dirinya sendiri. “Dul,” kali ini jari telunjuknya mengarah kepada Mery. “Set,” dan yang terakhir diperuntukkan kepada Ara.

“Hana, dul, set?” ucap Mery sembari berpikir. “bukankah itu angka satu, dua, tiga, dalam bahasa Korea? Benar tidak?” tanyanya. Hana hanya mengangguk sebagai jawabannya.

“Waahh... kita jadi hal penting buat orang Korea dong?” ujar Ara seraya tersenyum.

"Benar. Tentu saja kita menjadi hal penting untuk orang Korea. Karena ketidaksengajaan inilah awal dari persahabatan kita. Terima kasih dan aku minta maaf, jika selama ini aku tidak bisa mengerti kalian. Kesalahpahaman atau apapun itu, semoga akan menjadi obat yang bisa mempererat tali persaudaraan kita. Dan aku berharap, kita tetap menjadi satu kesatuan. Hana, dul, set.” Gerutu hati Hana sembari memandangi keduanya.
    
“Hana, dul, set!” mereka mengucapkannya serentak, mengulanginya berkali-kali, dan tertawa bersama.

          

          

No comments:

Post a Comment