Tak ada yang tersisa semenjak saat itu.
Sebuah potret kelalaian yang menjelma raksasa tak berdarah. Selembar ingatan
yang berhasil menyayat, mengorek, hati yang membiru. Kisah yang selalu
membuatku membeku. Padahal terik membakar semuanya.
Peristiwa-peristiwa itu begitu
menyayangkan. Kenapa? Adalah sebuah kata yang berulang dikala senyap. Apakah
aku, dan mereka tak memiliki kesempatan lagi? Duhai kasih, kadang senyum terhias
di rona wajahmu, kadang pula sendu menorehkan luka. Tapi kau, dengan
segampangnya menuturkan kata yang membuatku
menjadi tuna rungu saat itu juga.
Sejatinya aku ingin berteriak. Ini tidak
adil. Seharusnya, hal ini tidak terjadi. Namun apa? Apa arti dari semua?
Pandanganku langsung mengabur. Aku tidak percaya dengan bulir yang baru saja
menetes. Bingung dengan orang-orang yang memusatkan perhatiannya padaku. Aku
lemah. Lemah pada detik itu juga.
Aku terus memandang awan yang semakin
pekat. Sejatinya, aku ingin menanggalkan duka yang tersisa. Benakku sudah
terlampau penuh. Penuh dengan rindu, sesal, dan siluet tentang segalanya.
Maafkan kepandiranku yang tak bisa membaca
makna. Maafkan kelalaianku ketika tak mendengar alam berbicara. Maafkan aku,
karena masih menaruh sesal kepadamu. Maafkan aku yang terus merindu.
Maaf .... bila belum bisa menjadi anak yang berbakti dimasa hidupmu.
Jember, 15 Maret 2018