Waktu
tengah menjelang jingga. Tapi hamparan putih bersih tengah
menyelimuti seantero Tokyo. Pasalnya musim dingin kali ini akan terjadi lebih
panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Berita ini tak mematahkan semangat para
pelajar Tokyo, mereka tetap beraktivitas bersama dinginnya udara yang terus
menemani.
Brakkk! Suara
dari meja memecahkan keheningan kelas. Semua berteriak ketakutan,
dan berhampuran ke luar kelas yang didominasi oleh kaum hawa. Tak terkecuali
Shimi Yuki dan sahabatnya Ikki Mori.
“Yamato-san...
berhentilah membuat keributan,” suara itu membuat Yamato mengalihkan pandangan
dari beberapa siswi yang masih ada di dalam kelas. Sambil menyembunyikan serangga
yang ada di tangannya dia memicingkan mata dan berjalan ke sumber suara.
“Ahh...
Sudo-san, apa kau ingin bermain-main denganku?”
tukasnya sambil melemparkan serangga ke arah Sudo yang tetap diam menatapnya
tajam. Tapi tidak
ada reaksi apa-apa dari Sudo yang membuatnya kesal. “Hei!
Kenapa kau seperti itu? sungguh menyebalkan,” lanjutnya sambil merangkul Sudo
yang tanpa ekspresi. Sudo balas merangkul.
“Ayo ke kantin,”
ajaknya santai
membuat Yamato tersenyum tipis.
Semua siswa mulai membicarakan
kedekatan Yamato dan anak baru itu–Sudo. Bagaimana bisa mereka
menjalin hubungan erat dengan waktu yang singkat? Bukannya Sudo baru saja
bergabung dengan mereka tiga minggu yang lalu? Apakah ini sebuah bertanda
kekacauan di kelas akan bertambah? Cukup sudah, mereka hanya menginginkan Yamato
saja pengacau di kelas itu dan tidak akan ada Yamato kedua, ketiga, dan
seterusnya. Tapi jika benar keduanya bersahabat, apakah itu benar adanya?
Pasalnya mereka seperti langit dan bumi yang sama sekali tidak dapat disatukan.
Yamato, dia orang pemalas, pembuat onar, dan kekanak-kanakan. Sedangkan Sudo,
dia orangnya rajin, disiplin, dan dewasa. Yang jelas, keduanya benar-benar
berbeda. Tapi dari perbedaan persahabatan ini, semoga saja bisa membuat Yamato
berubah seperti Sudo.
“Hemm...
aku berpikir juga begitu. Semoga dia menjadi lebih baik,” sela Mori saat
berbincang-bincang dengan Yuki di dalam kelas.
Sebenarnya semenjak ada Sudo
perhatian Mori teralihkan. Awalnya dia menyukai Yamato meskipun baginya dia itu
bisa dibilang anak brandal, tapi meskipun begitu dia cukup humoris dan selalu
membuat Mori nyaman saat berada di sampingnya. Namun berbeda dengan Yuki, dia
lebih tertutup dan tidak pernah ada gosip apapun yang berkaitan dengannya
kecuali saat dia memenangkan juara satu se-Tokyo mode fashion tingkat SMA.
Namun
siapa yang bisa menebak hati seseorang? Sudah lama Yuki menaruh hati kepada
anak brandal itu. Sebelum Mori, dialah yang pertama tertarik kepada Yamato.
Awalnya, karena Yuki-lah Mori bisa mengenal kepribadian Yamato. Ya,
ketertarikan dari sebuah ketidaksengajaan.
Waktu itu sepulang sekolah, seperti biasanya Yuki dan Yamato pulang
bersama, karena rumah keduanya satu arah. Seperti biasa juga, Yuki menuntun
sepeda mengimbangi langkah Yamato yang tak bisa diam. Ada saja yang dilakukan
Yamato, dan kali ini dia tengah memainkan kaleng bekas minuman seolah bola
sepak.
Yamato menendangnya dengan kuat, dan tanpa disadari kaleng itu melayang
dan mengenai seseorang di balik pagar rumah sisi kanan mereka. Pemilik rumah tak mau tinggal diam, dia
langsung keluar dan mencari orang yang melempar.
Sayangnya,
pemilik rumah itu kalah cepat dengan Yamato. Tanpa pikir panjang lagi, Yamato
mengambil sepeda Yuki dan segera mengayunnya. “Ayo cepat naik!” perintah Yamato
kepada Yuki yang masih kebingungan. Sedangkan pemilik rumah itu bercekcot mulut
entah apa yang dikatakannya. Yuki merasa takut,
karena itu dia langsung mengikuti
apa yang diperintah Yamato.
Yamato
semakin kencang mengayunkan sepeda, sedangkan Yuki berusaha keras untuk
berpegangan erat kepada Yamato yang terlihat tersenyum bahagia.
“Yuuuhuuu...
hahahaha,” tuturnya serasa bahagia tak terkira. “Maaf Paman,” lanjutnya sambil
melambaikan tangan kanannya. Pemilik rumah itu berhenti mengejar sepeda yang
semakin menjauh, dengan mengatur napas dia kembali berkata, “Hei! Awas kau.
Dasar, anak itu lagi,” gerutunya sambil membalikkan tubuhnya.
Sesampainya
di rumah Yuki, dengan membungkuk hormat Yamato memberikan salam kepada ibu.
Setelah itu Yamato bergegas untuk pulang, namun ibu menyuruhnya
untuk makan bersama. Yamato tidak bisa menolak, dia sudah memberi kode kepada Yuki
akan tetapi apa boleh buat, Yuki malah cuek.
Keesokan
harinya tepat pukul delapan pagi, dengan terburu-buru Yuki mengeluarkan sepeda.
Setelah memberi salam, dia bergegas pergi dan meninggalkan rumah. Di tengah
jalan, dia mendapati Yamato yang berjalan. Tentu saja dengan kebiasaan
kakinya yang tak bisa diam. Dengan tersenyum Yuki membunyikan bel yang membuat
Yamato terkejut.
“Kau ingin
bermain-main denganku hah!” tukas Yamato sedikit berlari-lari kecil berusaha
untuk menggelitiki Yuki yang bersepeda.
“Hei
Yamato-san, hentikan” Yamato tak mengindahkan perkataan Yuki dan tetap menggelitikinya
sambil tertawa puas.
Beberapa
menit kemudian, Yuki tidak tahan dengan perlakuan Yamato, sampai menyadari
kalau setir sepeda yang dinaiki terlepas dari tangannya. Sontak
saja, keduanya terjatuh menyerong ke arah
kanan.
Setelah
tersadar dengan apa yang baru saja terjadi, keduanya terdiam lalu tertawa
lepas. Aneh, tentu saja. Mana ada orang jatuh tertawa, bukannya
merasa sakit?
“Ayo” Yuki tercengang mendapati Yamato mengulurkan tangan. “Ayo! Apa
kamu akan tetap berada di sini? kita bisa terlambat” lanjutnya yang tengah
mendapati Yuki terdiam. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya dia kembali membalas uluran
tangan itu.
Namun
beruntung, keduanya tidak terlambat. Sambil berjalan beriringan dengan Yamato,
Yuki mendapati sahabat yang sudah duduk siap di bangku.
“Aku
perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering jalan bersama Yamato,” tanya Mori
dengan merendahkan nada suaranya. Yuki hanya tersenyum sambil meletakkan tasnya
di atas meja. “Apa kalian memiliki hubungan lebih?” lanjut Mori penasaran.
“Kamu ini
bicara apa? Aku dan Yamato jalan bersama karena rumah kita satu arah.” Mori
terkejut dengan perkataan Yuki, namun beberapa saat kemudian Mori tersenyum.
“Benarkah?
Kamu tidak sedang bercanda kan?” Yuki hanya mengangguk
menanggapinya.
Jam istirahat
berdenting. Kali ini Yuki lebih memilih makan bento daripada pergi ke kantin.
Begitu pula dengan sahabat setianya.
“Yuki-san, apa tidak ada seseorang yang ada di hatimu?” Yuki
tersentak mendapatkan pertanyaan itu.
“Lalu
bagaimana denganmu?” tanya balik Yuki penasaran. Mori terlihat tersipu ketika
Yuki melontarkan pertanyaan itu.
Dengan
perlahan Mori menceritakan, kalau memang benar ada seseorang yang tengah
menempati hatinya sekarang. Namun Mori sedikit ragu ingin mengatakannya pada
orang itu.
“Benarkah?
Siapa?” Yuki terlihat semangat sekali ingin tahu. Tapi Mori langsung
menutup mulutnya yang penuh dengan bento.
“Jangan
keras-keras, kau bisa membunuhku.” Teman yang di dekatnya tersenyum, sambil
menganggukkan kepala.
Sambil
membetulkan posisi duduknya, Mori mendekatkan diri kepada Yuki. Dia berbicara
pelan, seolah tengah berbisik.
“Yuki-kun...
sepertinya aku menyukai Yamato” Yuki terkejut mendengar pengakuan Mori. Dia dia
benar-benar tak menyangka. Dari kesekian ribu laki-laki, kenapa harus Yamato
yang disukai olehnya. “Yuki-kun... kamu tidak apa-apa?” tanyanya saat melihat
Yuki yang masih diam membeku. Yuki menggangguk dengan sebuah ketidak
percayaan. “Jadi, kamu maukan membantuku?” Yuki kembali mengangguk dengan sangat
lemas. Apa yang baru saja aku lakukan, seharusnya aku menolaknya.
Bodoh! Kau Yuki.
Sepulang
sekolah, kini mereka tidak berdua. Mulai detik ini, akan ada Mori di sela-sela
keduanya. Namun Mori lebih memilih berjalan di dekat Yamato di banding
beriringan dengan Yuki yang menuntun sepeda. Ternyata Yamato tak seperti
biasanya, dia hanya diam berjalan dengan Mori.
“Kau tidak
apa-apa?” tanya Yamato dengan kasihan setelah mendapati Mori
terjatuh. Mori mengangguk dan berusaha untuk bangkit kembali.
“Aku sudah bilang kan, lebih baik kamu naik
sepeda saja,” gerutu Yamato menasihati setelah memandang Mori yang
kelelahan.
Akhirnya Yamato menggendong
Mori sampai di depan rumahnya. “Terima kasih Yamato-san, terima kasih juga
Yuki-kun,” keduanya mengangguk dan kembali membalikkan batang tubuh. Sepertinya
Yuki masih kesal dengan Yamato, dia meninggalkan Yamato dengan mengayunkan
sepedanya dengan cepat.
“Yuki...
apa kau akan meninggalkanku? Hei!” teriak Yamato melihat kepergiannya. Kenapa dengannya?
Hari-hari berlanjut, ternyata
perubahan yang dialami Yuki tak berhenti di sini saja. Dia terlihat menghindar
dari Yamato, setelah peristiwa itu. Mungkin Mori tidak merasakan perbedaan
Yuki, tetapi Yamato yang selalu bersamanya sepulang sekolah, dia bisa
merasakannya.
“Kenapa denganmu?” tanya Yamato
menghadang Yuki keluar gerbang sekolah. Dia tak menanggapinya dan tetap
berusaha berjalan. “Yuki!” serunya, dan kali ini Yuki menghentikan langkah
kakinya.
Yamato berdiri di hadapan Yuki
yang masih tak mau menatapnya. “Aku belum bisa menjawab pertanyaan dari
Mori. Alasannya karena kamu.” Ya, sebenarnya saat Yamato mengantar Mori pulang,
Mori mengungkapkan perasaannya kepada Yamato. Tentu saja Yamato terkejut,
begitu pulalah dengan Yuki yang berada di belakang mereka. Namun sampai saat
ini, Yamato masih belum bisa menjawab pertanyaan dari Mori itu. “Aku tahu Mori
sahabatmu, dan karena itu... kau tak enak hati padanya kan? Tapi dengarlah
Yuki, kau tidak bisa memaksakan perasaan orang lain, hanya agar orang itu
bahagia di matamu.” tutur Yamato sambil memegang erat tangan kanan Yuki. Dengan
perlahan Yuki merenggangkan pegangan Yamato.
“Sepertinya kamu sudah salah paham.” Yamato
tercengang mendengar jawaban dari Yuki yang tengah berjalan menjauhinya.
Alih-alih kelopak matanya berkaca-kaca, dan sedetik kemudian meluap tak
terkendali.
“Yuki...”
serunya.
Setelah
adu argumen itu, seluruh kelas di hebohkan dengan pasangan baru Yamato dan
Mori. Semua tidak menyangka, bagaimana bisa Mori menyukai anak brandal itu?
sungguh menggemparkan. Namun kali ini tidak terlihat Yuki yang biasanya
duduk-duduk di bangku kelasnya. Ternyata Yuki sedang menangis di kamar mandi.
Sambil berjalan murung, Yuki
tanpa sengaja bertabrakan dengan siswa pindahan, namanya Rou Sudo. Sudo
baru pindah tiga minggu yang lalu, dan dia tak banyak berbicara kepada
anak-anak lainnya, kecuali Yamato.
“Maaf...
aku tidak sengaja,” tutur Yuki sambil membungkuk meminta maaf. Sudo hanya
sedikit tersenyum, sayang Yuki tak melihatnya.
“Tidak
apa-apa.”
Keduanya
berjalan ke kelas, tapi anehnya kenapa semua siswa laki-laki keluar? Sudo
langsung bergegas, dan bertanya pada siswa yang ada. “Yamato kembali berulah,”
mendengar itu, Sudo hanya bisa menghela napas kesal.
“Hah...
anak itu, kapan dia mau dewasa,” ucapnya sambil berjalan ke dalam
kelas. “Yamato-san.. berhentilah membuat keributan,” suara itu membuat
Yamato mengalihkan pandangan dari beberapa siswi yang masih ada di dalam kelas,
sambil menyembunyikan serangga yang ada di tangannya. Lalu dia memicingkan mata
dan berjalan ke sumber suara.
“Ahh...
Sudo-san, apa kau mau bermain-main denganku?” tukasnya sambil melemparkan
serangga itu ke arah Sudo yang tetap diam menatapnya tajam. Tapi tidak ada reaksi apa-apa
dari Sudo yang membuatnya kesal. “Hei! Kenapa kau seperti itu? sungguh
menyebalkan,” ucapnya sambil merangkul Sudo yang tanpa ekspresi. Sudo balas
merangkulnya, dan mengajak Yamato keluar dari kelas pengap itu.
“Ayo kita ke kantin.” ajaknya santai membuat Yamato tersenyum tipis.
Sudo dan Yamato begitu cepat
lenyap dari pandangan. Suasana kelas pun kembali normal, dan tentu saja tak sedikit suara yang tengah berkasak-kusuk
membicarakan.
Bahkan, kabar tentang hubungannya dengan Mori sedikit meredup
akibat kedekatan Yamato bersama Sudo.
“Mori-san, kuharap kekasihmu
bisa seperti Sudo,” tutur salah satu teman Mori yang tengah menghampirinya di
bangku. “Tidak akan ada Yamato selanjutnya kan?” pertanyaan ini
kembali membuatnya redup. Memangnya kenapa dengan Yamato ku? Apa ada yang salah
dengannya? gerutu Mori dalam hati.
Beberapa
detik berlalu, Yuki duduk di sampingnya dengan kepala di letakkan di atas
kepala. Mori sedikit melirik sebelum dia kembali mengatakan sejurus pertanyaan
yang pernah teman-temannya katakan.
“Yuki-kun...
kenapa semua anak membicarakan Yamatoku? Apa kamu tahu, mereka itu sungguh
menginginkan Yamato untuk bisa seperti Sudo, bahkan yang lebih parahnya lagi,
ada yang berharap tidak ada lagi Yamato selanjutnya.”
“Tidak ada
yang bisa kita lakukan untuknya.”
“Yuki-kun...
kenapa bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu?”
“Lalu? Apa
maumu Mori! Hei, dia lebih tahu apa yang seharusnya dia lakukan. Jadi tolong,
jangan terlalu berlebihan. Yamato bisa menjaga dirinya sendiri,
terlebih aku juga berharap apa yang mereka katakan itu kenyataan. Apa kamu tak
berpikir seperti itu?”
“Hemm...
aku berpikir juga begitu. Semoga dia menjadi lebih baik,” sela Mori saat
berbincang-bincang dengan Yuki di dalam kelas.
Dua minggu kemudian
Sepulang
sekolah, Mori berniat menghadang Yamato di gerbang sekolah, namun sudah tiga
puluh menit berlalu Yamato tak menampakkan batang hidungnya. Berkali-kali Mori
memandangi jam tangan yang melingkar erat di tangan kanan, tetapi semakin dia
memandangi jam itu, seolah-olah jarum jam itu terasa begitu lama
berputar.
Dia sudah terlihat putus asa.
Sambil menempelkan punggungnya di dinding pagar, dia tersentak saat ada
seseorang datang, dia langsung mendongakkan kepala, namun sayang, dia bukanlah
orang yang di carinya.
“Kenapa masih di sini Mori?”
tanya seorang pemuda yang ternyata Sudo. Mori belum bisa menjawab, sebenarnya
dia bingung bagaimana cara mengatakannya.
“Aku sedang menunggu Yamato. Apa
dia masih ada di dalam?” Sudo hanya mengangguk.
“Beruntung
sekali dia memilikimu. Lekas temui dia, pasti mereka masih sedang
asyik-asyiknya bercanda.” Mendengar pernyataan dari Sudo kedua matanya
memicing, dia langsung berlari tanpa menoleh sedikitpun kepada Sudo yang masih
berdiri menatapnya dengan bingung.
Belum
sampai Mori kembali memasuki kawasan sekolah, kedua matanya telah mendapati
Yamato dan Yuki yang tengah tersenyum berbonceng sepeda. Tentu saja Yamato yang
membonceng Yuki meskipun itu adalah sepeda milik Yuki. Mendapati pemandangan
itu, Mori langsung menyembunyikan diri agar kedua orang itu tidak bisa
menerawang keberadaannya.
“Dia tidak pernah tersenyum seperti itu kepadaku,” tutur Mori sambil
mengusap air matanya yang tiba-tiba membanjiri pipinya.
Setelah Yamato dan Yuki berhasil
melewati tubuhnya, dia dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba menepuk
pundak kanannya.
“S... Su... do-san,” tukasnya
dengan nada tergagap tak menyangka keberadaan Sudo yang tiba-tiba itu. Dengan
perlahan dia mengusap lembut air mata yang keluar dari kedua bola matanya
sambil tersenyum bak seorang malaikat. Tak lama kemudian, tangisan Mori pecah
di dalam pelukannya.
Tubuh Mori masih dalam pelukan
Sudo sedangkan matanya juga tak bisa lepas dari pandangan Yamato dan Yuki yang masih
tersenyum berboncengan sepeda. Alih-alih dia kembali teringat
perbincangannya dengan Yuki di taman.
Waktu itu
sebelum Sudo masuk kelas akibat kekacaun yang di lakukan oleh Yamato,
sebenarnya setelah mendapati Yuki dari toilet dia langsung mengajaknya ke taman
sekolah. Di sana dengan perlahan Sudo mengungkapkan perasaan kepada Yuki, namun
sayangnya Yuki tak bisa menjawab dengan harapannya.
“Maaf
Sudo, hatiku hanya untuk seseorang.” Kata ini sungguh telah membunuhnya. Dengan jawaban seperti itu, dia
juga tidak bisa berbuat banyak, hatinya benar-benar sudah hancur, tentu saja
sangat hancur. Tanpa banyak bicara pula dia langsung meninggalkan Yuki sendiri
dan menuju ke kelas, dan telah mendapati kelas itu sudah dikacaukan oleh Si
Raja Brandal Yamato.
“Ayo kita ke kantin.” ajaknya
santai membuat Yamato tersenyum tipis.
Mori masih tak menghentikan
tangisannya, dia tetap menangis dan tambah meluap saat Sudo berusaha untuk
menepuk punggungnya. Dengan kata yang terbata-bata, Sudo berusaha berkata,
“Cinta itu membingungkan, direlakan dan harus merelakan.”
No comments:
Post a Comment