Indonesia, Kau Ada!



Bukan untuk pertama kalinya aku mendecak heran. Juga bukan untuk pertama kalinya, seperti tidak mengenal diriku sendiri. Kebingunganku, selalu membuat mamang. Apa yang kulakukan sudah menjadi keinginan yang sesungguhnya?
           
Waktu itu gelap sudah menyergap. Dengan udara dingin sisa hujan enam puluh menit yang lalu, aku berjalan sambil menuntun sepeda di bahu jalan. Tentu saja aku tidak sendiri. Seseorang di sampingku itulah, yang memberikan banyak pelajaran.
           
Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan. Kenapa dan mengapa harus Indonesia. Apa yang disukai dari negara yang terkenal dengan koruptor ini?

“Iya, nyaman” begitulah dia menjawab dengan mengacungkan jempol kanannya.

Awalnya aku tidak tahu harus bertanya bagaimana, tentang apakah dia betah tinggal di negara ini, karena dia masih belum mengerti betul pembendaharaan kata bahasa Indonesia. Dia seorang teman baru dari Negeri Gajah Putih. Apakah senyaman itu? Mungkin karena dia tidak sendiri, dan aku kembali membatin.   
           
“Kapan kamu pulang ke Thailand?” tanyaku ragu takut menyinggung hatinya. Karena yang aku tahu, hari raya tahun ini dia tidak bisa berkumpul dengan keluarganya. Dia sudah di Indonesia sebulan sebelum puasa.
           
“Dua tahun” jawabnya dengan logat Melayu.

“Dua tahun? Dua tahun sekali?” dan dijawab dengan anggukan.

Jawaban yang membuatku terperengah. Yang ada dalam bayanganku waktu itu, bagaimana rasanya tidak pulang kampung selama dua tahun? Tidakkah dia merindukan keluarga? Tidakkah dia merindukan tanah airnya? Apa motivasi yang membuat dia rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk belajar di sini? Dan yang membuatku terharu, dia datang jauh-jauh untuk belajar bahasa Indonesia. Bahasa yang bahkan tak sedikit diremehkan oleh bangsanya sendiri.
           
“Kamu duluan, aku...” sembari mengacungkan tangan ke kanan. Aku terperenjat. Sampai di gerbang–pintu keluar tiba-tiba dia berkata seperti itu, dengan keadaanku yang masih penuh khayalan. Aku hanya bisa mengangguk, sembari mengartikan maksud dari gestur tubuhnya. Dan aku kembali mengayuh sepedaku, setelah kulihat dia dengan jilbab besarnya melambaikan tangan yang melambangkan salam perpisahan.
           
“Apa aku masih dianggap sebagai wargamu, wahai negaraku? Aku malu kepadamu, kepada mereka yang lebih menghargaimu. Aku penduduk pribumi yang selalu saja belum bisa peduli. Namun, dari mereka aku belajar satu hal. Bahwa kau, ada!” sembari mengayuh sepeda dikerlap-kerlip malam Jalan Jawa yang penuh dengan kendaraan dan pedagang kaki lima.

Inspirasi, 25 September 2016

No comments:

Post a Comment