Pengertian dan Sejarah Semantik



2.1  Pengertian Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: sematics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda “memandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistic (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu, Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut refren atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bahwa semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal, dan semantik (Chaer, 2013:2).
Semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Studi yang mempelajari makna merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkat tertentu. Maksudnya apabila komponen bunyi menduduki pertama, tata bahasa pada tingkat kedua sedangkan komponen makna menduduki tingkat yang terakhir. Hubungan ketiga komponen tersebut karena bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak mengecu pada lambang-lambang yang memiliki tatanan bahasa memiliki bentuk dan hubungan yang mengasosiasikan adanya makna.
Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi (Chaer, 2013: 6).


2.2  Sejarah Semantik

Dalam Aminuddin (2016, 15) Ariestoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada tahun 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut Ariestoteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Ariestoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman dalam Amminuddin, 2016:15). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam cratlus  mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas atas etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas.
2.2.1        Pada tahun pertama 1925, seorang berkebangsaan jerman, C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni(1) semasiologi ilmu tentang tanda, (2) sintaksis studi tentang kalimat, serta (3) etimologi studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan Underground Periode.
2.2.2        Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellecgtuelles du Langage”. Pada masa itu meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni–historis. Dengan kata lain studi semantik pada saat itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur diluar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna latar belakang, perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 Essai De Semantique.
2.2.3        Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog Swedia yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English Language (1931). Stern dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya yakni buku Cours de Linguistique General (1916), karya Ferdinand de Saussure.



No comments:

Post a Comment