Huru-hara Mudik H-7 (Kisah Sang Supir Angkot)


“Libur t’lah tiba! Libur t’lah tiba! Horee!!!” sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. “The day is special day? Yes or no?” menopangkan dagu dengan gayanya yang “sok” mikir. “Maybe yes, maybe no... and why????”

Iya, mungkin karena istimewa di bulan ramadan. Tahu sendiri lah ya ... apa yang ditunggu-tunggu selain hari rayanya. Bisa berkumpul bersama sanak saudara, kembali bernostalgia dengan teman-teman, intinya itu yang jauh mendekat dan yang dekat semakin merapat :D, namun yang terpenting adalah ajang menggemukkan badan. What? (yang terakhir mohon diabaikan saja :P) “Lalu alasan yang no?” lebih “sok” mikir lagi.

Tidak, karena hari raya tahun ini dibebani oleh gunungan tugas. Ya, meskipun tidak semua orang yang mengaku dirinya sebagai seorang mahasiswa juga merasakannya. Karena memang setiap universitas memiliki ketetapan masing-masing. Bisa jadi hanya dari salah satu universitas tertentu saja, begitulah pokoknya. Eh! Sudahlah, saya tidak ingin membagi cerita yang cukup memberatkan pikiran seperti ini. Saya menulis bukan karena masalah ini, meskipun sejatinya ingin sedikit curhat :D

Mudik. Kata yang sudah tidak asing lagi di telinga. Mestinya kata itu akan menjadi teman akrab atau bahkan sahabat bagi anak rantau contohnya seperti saya. Ya ...  meskipun jarak mudiknya tidak lebih dari dua jam :D. Yang penting kan bisa ikut merasakan status-status maupun swafoto yang bersebaran di media sosial, bercerita mengenai berjalanannya ke kampung halaman dengan captionnya “OTW”. Selain itu ada lagi ciri khas dari mudik, apa lagi kalau bukan kata m-a-c-e-t.

Seperti yang sudah-sudah, di hari Jumat yag terik ini saya dan sejumlah penumpang berusaha menumpuk sabar dalam keringat yang berderai. Seharusnya lima belas menit yang lalu saya sudah sampai di daerah Pasar Tanjung, namun alangkah kurang beruntung kami masih terjebak di jalan Panglima Sudirman. Resah. Panas masih belum juga menjadi salju, eh jangan deh ... lagi-lagi perjalan dibuntui kendaraan yang terasa bengitu menyesakkan. Namun pada akhirnya, mobil berwarna kuning yang saya tumpangi dengan perlahan mempercepat lajunya.

Mungkin tidak seberuntung itu, dan tidak sesederhana itu. Mobil terhenti. Semua mencari kepastian, begitu juga saya yang tepat berada di belakang Sang Supir. “Sebentar ya ...” it’s okay, ungkap saya dalam hati. Kemudian seisi mobil mewah itu tidak bisa diam, semua berkipas-kipas ria, sedangkan saya hanya diam dan sesekali mengusap peluh yang sudah menumpuk di dahi.

Dari dalam, saya memandang Sang Supir yang berlari ke sana kemari. Tentu dengan tampang gelisahnya, dia berusaha mencari pedagang yang menjual bensin eceran. Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, dan ternyata nihil. Dengan berbesar hati sopir itu memberhentikan angkutan umum yang lain.
Sekarang saya sudah berpindah tempat duduk, meski dalam bentuk model mobil yang tidak berbeda. Masih saja dan tidak mengerti kenapa, kembali berusaha mengartikan sebesar dan selapang apa hati yang dimilikinya? Namun yang terpenting, orang yag tidak mau tahu seperti saya, sejak kapan tertarik terhadap hal kecil seperti ini?

Mungkin lebih tepatnya cerita ini berawal ketika saya memulai perjalanan dari Jalan Bangka–rumah ketiga di rantau. Supir menghentikan lajunya setelah melihat saya berjalan menuju jalan raya sembari menggendong ransel dan mengayun tas kecil di tangan kiri. Yah, tentu Sang Sopir tahu, tukang becak di depan gang saja menyapa dengan ramah, “Pulang?” ujarnya sambil tersenyum renyah.

Sekitar tiga menit berjalan, mobil kuning yang saya tumpangi berhenti. Seorang nenek masuk sambil membawa dagangannya yang terlihat cukup berat. Kurang lebih sepeluh menit bertemu simpang empat yang kedua nenek pun turun. Di momen inilah saya mulai terpegun. “Ongkosnya tidak usah Bu.” Saya langsung menatap Sang Sopir setelah mendengar itu. Ya meskipun tidak menatap secara langsung. (Ih, bagaimana maksudnya ini? :D) Tidak tahu apa ini yang pertama kalinya saya tahu ada supir yang bersikap demikian, atau saya tengah lupa mengenai yang sudah lalu. Namun yang jelas, sedetik itu, dari hal kecil itu saya belajar lebih hari ini. Belajar kepada hal kecil, yang mungkin selama ini saya tak acuhkan.

Semenjak mengucapkan kalimat itu, saya terus memperhatikan Sang Sopir. Hingga akhir cerita yang sudah diutaran tadi. Juga mengenai pertanyaan yang mungkin kepada siapa saya akan mendapatkan jawabannya.

Sebesar dan selapang apa hati yang dimilikinya?

Bisa jadi dia adalah satu-satunya tulang punggung keluarga, dan mengiklaskan jerih keringatnya kepada nenek. Bisa juga, dia terlalu paham mengenai hidup hingga tidak ingin mengecewakan orang lain, dengan mengoper penumpang ke supir lain. Ah! Apa lagi kemungkinan-kemungkinan lainnya?

Saya jadi teringat perkataan salah satu dosen, “Belajarnya kalian itu  sebenarnya di luar, bukan di dalam kelas.” Dipikir-pikir ada benarnya juga (sambil menghela napas dalam-dalam).

Terima kasih untuk pembelajaran hari ini dan terima kasih banyak sudah membagikan kekayaan hati yang Bapak miliki.



Jember, 8 Juni 2018

Perjalanan Pulang

No comments:

Post a Comment