#part6
Tak
terasa tiga tahun berlalu dan masa-masa SMA-pun terlewati. Sungguh di luar
dugaan. Ternyata waktu berputar begitu cepat. Padahal baru kemarin dia ingat
ketika Masa Orientasi Siswa, saat kakak kelas menghukumnya karena papan nama
yang tidak sesuai ukuran, dan dia harus berdiri di lapangan badminton padahal
waktu itu tepat tengah hari di bulan puasa. Atau saat dia memakai atribut khas
Dayak dan mengelilingi sekolah yang tak sempit itu, yang tentu saja menjadi
tontonan warga sekolah sebagai pertunjukan gratis.
Kenangan yang melahirkan sebuah saudara baru. Bahkan dia
tidak menyangka di tempat yang jauh, ternyata disambut dengan tangan terbuka.
Kota Probolinggo–di Kota Mangga dan Anggur dia mulai menorehkan jejak mimpinya.
Bersama kekonyolan, kejailan, ataupun warna yang sudah menemaninya selama dua
tahun di Program Bahasa, dan tentu saja bersama memory mengenai kepolosan
anak-anak– tentang masa kecilnya.
“Sudah berapa lama aku tidak menanyakan kabar kalian?”
batinnya menggerutu. Sekali lagi Ulfa meletakkan pensil dan mengalihkan ke layar
berbentuk persegi panjang di sampingnya.
Dia
kembali membuka lembaran cerita yang pernah dilalui. Seperti hobi, mimpi, dan semua yang berkaitan dengan
Korea. Tentang kedua teman yang entah sekarang bagaimana dan seperti apa?
Tentang sungai, rumah-rumahan, badminton, ekstrajoss, dan semua keceriaan itu.
Lalu kabar Alfi, Nur dan lainnya? Ulfa kembali menghela napas panjang, sebelum
akhirnya terdengar suara khas BBM.
“Kangen kalian aku rekk” diikuti dengan emotif sedih.
“Kapan bisa kumpul?”
“Berkumpul seperti ini yang aku inginkan. Kembali ke SMA
lagi” sembari mengirim foto keluarga Linguistic. Dan tentunya masih banyak lagi
pernyataan maupun pertanyaan, selain kembali mengejek satu sama lain.
Ulfa hanya bisa mengenang, sembari menyimak percakapan
teman-temannya. Belum genap satu tahun mereka berpisah, sudah lebih dari satu
kali kata kangen dan kapan bisa kumpul lagi berkicau di grup yang sakral itu.
Padahal ketika masih SMA, mereka tidak sabar untuk segera lulus dan melepas
masa putih abu-abu.
Tapi
jika ditanya apa dia ingin? Tentu saja. Bahkan tidak perlu ada yang menawarkan
Ulfa pasti mau. Daripada dia repot dan jemu dengan tugas kampus yang membuat
energinya terkuras banyak, dengan membagi waktu untuk latihan Orientasi
Mahasiswa Baru, yang selama tiga bulan ini dilalui secara bergiliran. Sungguh
membuat kepala pening. Kehidupan kampus tidak seperti bayangannya dulu.
Kemampuan beradaptasinya kali ini membutuhkan keteguhan yang ekstra.
Tidak
ada lagi seorang guru yang menegur ketika melakukan kesalahan, tidak ada yang
menasehati, tidak ada yang mengingatkan bahwa mempunyai mimpi besar dan pantang
menyerah itu sebuah keharusan. Tidak ada yang seperti itu. Karena sekarang Ulfa
tahu, masuk dalam kampus dan keputusan untuk menjadi mahasiswa harus bisa
menghapus semua itu. Masuk kampus
harus berdiri sendiri, tidak ada alasan dan diri sendirilah yang harus
mengingatkan. Ya, begitu.
Dengan jejak-jejak kenangan masa kecilnya itulah Ulfa
menghibur diri. Disesaknya kampus, sebuah nostalgia dapat kembali mengisi
energinya.
Kadangkala, dia sempat mengimajinasikan seandainya
perkembangan zaman bisa membawanya ke masa lalu–seperti alat yang dimiliki oleh
robot kucing asal Negeri Matahari itu, dia begitu ingin menciptakan banyak
memori dalam hidupnya. Tidak peduli apakah kenangan itu saat dia dan Lida
kembali dikejar-kejar kakak kelas karena jailnya teman satu kelas waktu sekolah
dasar. Atau berkali-kali mereka bermain di sungai dan memasak kerang sehingga
Maria tidak mendapat bagian. Juga pulang sekolah dengan seragam yang basah
kuyup karena kehujanan.
Jika sebuah masa kecil bisa diulang, dia ingin
menciptakan banyak kenangan lagi. Kalau saja masa kecil itu dapat diulang,
mungkin dia tidak ingin segera beranjak dewasa dengan kehidupan yang begitu
rumit ini. Namun jika masa kecil itu dapat diulang, semoga mereka tidak
melupakan kenangan hangat yang pernah tercipta.
Dan sekali lagi, suara khas messenger membuyarkan
lamunannya.
“Ngadain
reuni yukk!”
-oOo-
No comments:
Post a Comment