#part5
Aneh.
Kupikir demikian. Semakin hari
kulewati, kenangan itu selalu terlintas begitu saja. Kupikir apa harganya
sebuah kenangan? Namun aku salah besar. Karena kenanganlah kita bisa mengerti
seseorang yang sangat berharga. Dan karena kenanganlah kita bisa tahu, kalau
kita pernah merasakan apa itu kata keceriaan.
***
“Hai kawan! Sudah lama rasanya aku tak menorehkan kembali
tintaku di lembaran kertas putih ini. Apa kau masih setia menunggu kelanjutan
cerita ini? Bila begitu, bersiaplah.” Ulfa kembali menorehkan tinta dalam buku
harian seperti biasanya.
Duduk di kelas sebelas tanpa kehadiran kalian benarkah?
Itulah jauh-jauh hari yang kupikirkan setelah kita benar-benar terhalang jarak
karena kata perpisahan. Apa kalian pernah berpikir membenci kata itu? Jika
kalian berdua bertanya kepadaku–ya, aku membencinya. Aku bahkan tidak tahu apa
itu arti kehidupan, tapi setidaknya aku tahu satu hal. Tentang
kalian, yang setiap saat bersamaku.
Class
meeting yang membosankan. Pagi itu sekitar pukul setengah sebelas, Ulfa dan
beberapa teman satu kelasnya tengah duduk-duduk berselonjor di bangku kelas
paling belakang. Semuanya terlihat
lemas, dan sangat berharap bel pulang akan segera berdenting. Tetapi sudah satu
jam lebih mereka berada di kelas, namun harapan itu hanya sia-sia saja.
Mengantuk, lapar, dan bosan dengan kegiatan yang ini-ini
saja, membuat mereka hanya bisa termenung dengan kipas angin yang selalu
menemaninya. Bahkan pertandingan futsal antar kelas yang dilaksanakan di
lapangan basket itu sudah tidak menarik lagi. Mereka hanya mengharapkan satu
kata–pulang.
Tapi
entahlah dari mana topik ini berasal, membuat Ulfa semakin ingin membahasnya.
“Melihat dia tidur di atas barisan kursi itu mengingatkan aku tentang masa
kecilku dulu, yang masih gemar-gemarnya membuat rumah-rumahan dari bambu,
beratapkan daun salak, dan masih rajin-rajinnya bermain masak-masakan,” tutur
Ulfa seraya bercerita sedikit tentang masa kecilnya.
“Iya
Ul, dulu aku juga pernah seperti itu. bila diingat-ingat lucu juga ya?” jawab
salah satu teman Ulfa yang tengah duduk di sebelah Ulfa menghadap ke utara. Ulfa hanya tersenyum sambil mengangguk.
“Tentu saja,
sangat menyenangkan” gerutu Ulfa dalam hati.
“Aku pernah merebus jeruk yang rasanya kecut. Aku pikir dengan merebusnya akan
menghilangkan rasa kecutnya, tetapi sama saja. Menggoreng mangga dengan botol
seng, yang sama sekali tidak ada takutnya dengan berbagai bakteri. Bahkan
membakar buah salak dan kadang merebusnya,” Ulfa menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil sesekali tersenyum. Masa kecil yang konyol, lanjutnya.
Teman-teman di sampingnya berwajah heran, mereka diam
mendengarkan pengalaman Ulfa dengan sangat khusyuk. Mungkin di dalam hati
mereka bertanya-tanya bagaimana mungkin? Atau mereka sedang menertawakannya
dalam hati. Namun sepertinya Ulfa tak peduli bila mereka menertawakannya.
Karena menurutnya, hal-hal konyol itu yang paling berkesan dalam ingatannya.
Hah ... lagi-lagi kali ini dia tengah bernostalgia.
Sekitar delapan tahun yang lalu...
Terik mentari merayap epidermis kulit. Waktu itu sekitar
pukul dua belas tepat, aku baru pulang dari sekolah dan memarkirkan sepeda di
teras. Aku langsung berlari ke kamar, setelah mendapatkan penyambutan dari ibu.
Mengingat ini ... sungguh menyedihkan.
Setelah itu aku kembali keluar rumah. Biasanya langsung
menuju ke rumah Lida, tetapi kadang sebaliknya. Selanjutya kami akan menuju ke
tempat biasa kami bermain, kebun salak di belakang rumah.
Sudah dua hari terakhir kami bermain rumah-rumahan. Kali
ini kami hanya berkunjung dan sesekali membersihkan dedaunan yang bertamu di
rumah sederhana kami. Dan kami juga berpikir, apa yang kurang dari
rumah-rumahan ini?
Beberapa detik kemudian datang Alfi, Maria, Nur, dan
beberapa teman lainnya. Ulfa dan Lida terkejut sekaligus senang. Keduanya
menyambutnya dengan tangan terbuka. Bagaimana tidak? Mereka adalah tamu
pertama, dan dengan kedatangan mereka bertambahlah penghuni rumahnya.
“Hei teman-teman, kita main masak-masakkan yuk?” tutur
Alfi sembari memberi pendapatnya. Semua teman-temannya setuju, namun mereka
kembali bingung–apa yang akan mereka masak nantinya?
Mereka melingkar dan mengutarakan pendapatnya
masing-masing, mengingat ini seperti konferensi meja bundar saja. Tak sampai
satu jam, akhirnya mereka menghasilkan sebuah kesepakatan yaitu memasak mi
instan dan merebus telur.
Dipertemuan berikutnya mereka kembali mencari ide apa
yang akan mereka masak? Ada yang berpendapat memasak kangkung, nasi goreng, dan
kerang. Dari sekitar lima orang lebih itu, akhirnya memilih kerang. Tentu saja
kerang bukan perkara mudah. Tidak seperti mi instan yang selalu ada di toko
atau warung-warung setempat, tapi mereka harus mencarinya dulu di sungai.
“Aku dulu mencari kerang di sungai ini,” tutur Alfi
sembari menunjuk dengan jari telunjuknya. Aliran sungainya tidak terlalu deras,
jernih lagi. Heemm... pasti airnya dingin, terlebih di sini pepohonannya amat
rindang. Namun aku tidak melihat sebiji kerang pun di sungai ini, gerutu Ulfa
dalam hati. Dengan perlahan Alfi turun ke dasar sungai sembari membawa
setangkai kayu yang tak kutahu namanya. Kami hanya menontonnya dan berpikir
sebenarnya apa yang akan dilakukan? Alfi lalu membungkuk dan membelah aliran
sungai hingga ke dasar tanah sehingga membuat air sungai mengeruh. Kami masih
diam, berpikir tidak tahu apa maksudnya.
Namun setelah air sungai kembali jernih, saat itulah aku
dan teman-teman melihat sekumpulan kerang berwarna kuning kecoklatan. Ya, dan
di situlah aku mengerti kalau kerang-kerang itu bersembunyi di balik tanah.
“Apa kalian akan diam menonton saja? Ayo
kemari” komentarnya kepada kami yang memandangnya takjub. Namun beberapa detik
setelahnya kami dengan serempak menyingsingkan celana dan menjatuhkan diri ke
dalam air sungai yang sudah kami prediksi sebelumnya–dingin. Rasanya sungguh
segar, dan kami sesekali membasuh muka sembari memunguti kerang yang kami cari.
Memang yang satu ini butuh perjuangan. Kami memang sudah
mendapat setengah keranjang kerang segar. Setelah tenaga kami terkuras, salah
satu teman memutuskan untuk kembali ke rumah-rumahan dan menyimpan
kerang-kerang itu di bak dengan penuh air. Kami tidak mungkin langsung
memprosesnya, karena tanpa terasa saking asyiknya bermain di sungai, mentari
sudah berada di sepenenggal langit.
“Kerangnya kita rebus besok saja, dan setelah itu
langsung kita goreng.” Tutur Alfi yang terlihat sangat berpengalaman di dunia
permainan ini. Dia menatap lekat-lekat teman-temannya yang perlahan
menganggukkan kepalanya ringan.
“Tapi, kita bumbui apa kerang itu? masa digoreng saja,
mana ada rasanya?” komentar Nur yang disetujui semuanya.
“Emm ... yang sederhana sajalah. Dibumbui kecap juga
mantap,” dan lagi-lagi Alfi yang paling berpengaruh di kegiatan ini. Padahal
kan dia anak cowok, meski tidak satu-satunya dia anak cowok di sini tapi
pengetahuannya tentang memasak yang membuat Ulfa iri. Mungkin bukan Ulfa saja,
tapi teman-teman cewek lainnya.
“Kalau begitu, kita kumpulkan uang untuk membeli bahan
yang kita butuhkan untuk besok. Atau kita bagi saja, siapa-siapa yang membawa
bahan-bahannya?” kali ini Ulfa ikut menimpali.
“Setuju.
Itu terkesan tidak memberatkan.” Semuanya mengangguk.
Keesokkan
harinya, kami mulai beraksi dengan sepanci kerang bersama kepulan panas yang
membumbung dengan bau gurihnya. Cangkang-cangkang kerang itu dengan perlahan
mulai membuka bak bunga mawar yang mekar. Air yang awalnya penuh, kini terkikis
dan meresap menandakan kerang yang kami rebus sudah siap untuk diproses ketahap
selanjutnya.
Alfi
langsung mengangkat panci dan meniriskan kerang-kerang itu lalu menungkannya ke
sebuah panci baru yang sudah dipenuhi air. Dia beranggapan bahwa dengan merendam kerang-kerang yang
tengah mengepul itu ke dalam air akan menetralkan suhunya. Dan ternyata, itu
memang benar. Setelah sekiranya kerang-kerang itu mendingin, kami berkumpul
membentuk lingkaran dan ramai-ramai memisahkan daging kerang dengan
cangkangnya.
Kami sempat tidak mempercayai sebuah keadaan dengan
kerang-kerang yang terbilang tak sedikit ini apakah bisa segera menyelesaikan?
Terlebih meski sudah memisahkan cangkang dengan dagingnya, kami masih belum
bisa menyantapnya. Tentu masih harus berlari lagi ke tahap selanjutnya. Memang
menyebalkan. Tapi sembari melakukannya, kami seraya bercerita bahkan bercanda
yang membuat lupa waktu, dan membuat kegiatan yang dilakukan lebih cepat
selesai dari yang dibayangkan sebelumnya.
“Aku akan menyiapkan wajannya,” tutur Ulfa sembari
beranjak dari lingkaran yang mereka ciptakan.
“Hei teman! Kita membutuhkan kayu bakar, ini tidak cukup
untuk menggoreng kerangnya,” salah satu teman kami berteriak dari tungku
setelah memeriksa bahan kelengkapan lainnya. Mendengar teriakkan itu, beberapa
teman menyegerakan diri mencari ranting-ranting di sekitar kebun salak sebelah
barat yang berada tepat di bawah pohon bayur.
Setelah semua siap, kami kembali mengerumuni wajan yang
tengah menopang di atas tungku dengan api yang menyala-nyala. Sambil menunggu
kerang yang digoreng, ada yang hanya duduk-duduk sambil bercerita, bermain
ranting-ranting atau memainkan bunga bayur dengan mengibaskan ke atas seperti kicir
angin. Itu adalah kegiatan menunggu yang paling menyenangkan.
“Ayo berkumpul teman-teman!” teriakkan Alfi yang membuat
semua yang sedang asyik bermain sendiri menyerbu Alfi yang tengah membawa
sepiring kerang goreng hangat.
Semua hanya tercengang, dan diam beberapa saat. Kenapa
begitu? Tentu saja kami heran dengan kerang yang hanya sepiring ini. Bukankah
awalnya kami mendapatkan kerang segar setengah panci besar, dan setelah matang
hanya menjadi sepiring itu pun sudah ada taburan kecapnya? Ahh ... tahu begitu
mungkin kami akan mencarinya lebih banyak lagi. Tapi sudahlah, tidak perlu
menyesal. Saat ini bukan waktunya untuk menyesal, tapi waktu untuk menyantap
kerang goreng kecap ala kami.
Selamat makan! Iiitttsss tunggu!!! Sebelum menyantap
kerang goreng kecap itu, kami merasa kasihan kepada Maria yang harus pulang
terlebih dahulu sebelum mencicipi sekalipun masakan ini. Tidak ada yang tahu
alasannya, tapi sepertinya dia harus ikut dengan ibunya yang entah mau ke mana.
Sudah
sejauh ini, dia malah pergi begitu saja.
Ting!ting!
ting! ting! Yes. Akhirnya hal
yang ditunggu-tunggu pun terjadi. Bel pulang telah berdenting, Ulfa dan
teman-temannya terkesiap dan segera menyiapkan diri untuk segera pulang. Namun
Ulfa kembali tersenyum saat mengingat kenangan masa kecilnya itu. Sambil
berjalan beriringan dengan siswa lainnya tak terasa hatinya tak bergeming,
“Meski pada saat itu aku merasa kecewa, tapi di situlah aku tahu arti sebuah
kebersamaan.”
No comments:
Post a Comment