“Dialah pembunuh. Kehadirannya penuh kontra namun pro
selalu saja menggandeng para penguasa. Apa kau merasa, jika hari demi hari
semakin terasa pilu? Bagaimana jadinya, bila jerit tawa itu tak terlihat lagi?”
hatinya tak bergeming, sembari menatap lekat bingkai jendela bus kota.
Ini bukan pertama kalinya, aku menapaki jalan yang
membelah tanaman palawija. Sudah berkali-kali
dan tak luput mendapat sapaan ramah dari para petani. Mungkin karena
sebagai pemuda tanggung dan berpendidikan, aku menjadi salah satu harapan.
Mereka suka berbicara dan bertanya banyak hal. Namun aku
selalu tergugu-gugu, ketika sebuah pertanyaan menjurus kepada Si Pembunuh itu.
“Tidak ada perubahan. Sepekan pemandangan dan suasanya
persis sama. Apakah begini akibat kedatangan Si Pembunuh itu? Seolah-olah desa
teramat sepi, begitu mencekam. Aku tidak melihat lagi bagaimana keponakan yang
biasanya bermain ayunan di bawah pohon mangga, atau teriakan anak-anak ketika
bermain petak umpat di lapangan depan rumah.”
“Begitu khidmatnya kamu Gus?” Aku begitu tersentak
mendapatkan sapaan ibu yang menemukanku tengah merenung di beranda rumah. Belum
pernah aku mendapatkan sapaan seperti itu. “Sedang mikir opo toh Gus? Dari tadi
ibu perhatikan dari dalam, kamu kok serius sekali lihat lapangan di depan?”
lanjut ibu sembari menyuguhkan aku secangkir kopi.
“Ndak kenapa-kenapa kok Bu, Agus cuma merasa ada yang
berbeda saja keadaan di desa ini. Tambah sepi,” mendengar jawabanku ibu
tersenyum. Kemudian beliau duduk di bangku rotan.
“Sudah berapa lama kamu merantau Le? Sudah lama toh?”
Ibu benar, cukup lama aku meninggalkan desa ini. Namun
begitu cepatkah perubahan zaman meluluhlantakkan semuanya? Bahkan di desa
terpecil ini?
Lumajang, 14 April 2018.
No comments:
Post a Comment