Sekolah adalah sebuah lembaga yang berupaya membangun pola pikir anak
menjadi lebih baik dan terarah. Sebuah tempat belajar yang bersifat formal
dengan beragam sarana dan prasarana sebagai penyalur pengetahuan. Sebagai
tempat orang-orang terdidik dan cendekia, akan tetapi mengapa diskriminasi
masih merajalela?
Salahkah pola pikir guru? Atau begitu ‘biadab’ dan bebalkah siswa sehingga
diperlakukan sedemikian rupa?
‘Jangan sok tahu, baru dua bulan
magang saja jadi sok keminter’
Mungkin akan ada yang berkomentar demikian. Memang, tahu apa saya tentang
pendidikan? Tahu apa saya tentang kondisi sekolah? Tahu apa saya dengan
keadaaan siswa? Sungguh, saya bukan orang yang paham mengenai semua itu.
Lantas, mengapa berlagak seperti orang yang sudah bertahun-tahun mengajar atau
berkecimpung di dunia pendidikan? Mengapa berlagak sebagai guru padahal masih
amatiran dan abal-abal?
Mungkin ini hanya opini terhadap situasi siswa. Bisa pula luapan yang mulai
menjadi keresahan saya selama ini. Tentang sebuah pendidikan yang mendidik, mengayomi
siswa tanpa pandang bulu–dan begitulah seharusnya bukan?
Namun, mengapa diskriminasi masih bermunculan di tempat suci ini?
Siswa X : “Ada guru IPS Bu?” celetuk salah satu siswa, ketika saya berjalan
menuju
perpustakaan sekolah.
Saya : “Coba kamu lihat di tempat guru piket sepertinya tadi ada
Guru PPL IPS,
atau kamu bisa cari ke aula atas”
Siswa X : “Malu Bu, Ibu saja yang masuk kelas saya”
Saya : “Kok bisa, saya bukan Guru IPS. Kamu kelas berapa?”
Siswa X : “Masak Bu Guru sudah
lupa? Padahal dulu Ibu kan pernah masuk kelas saya”
protesnya yang membuat saya protes pula dalam
hati, Memangnya saya bisa
menghafal nama
seluruh siswa dan kelasnya selama beberapa minggu di sini?
Saya : “Ya sudah, ayo ikut saya ke perpus siapa tahu ada salah satu
Guru IPS di sana.”
tutur saya berupaya melapangkan hatinya.
Saat itu mungkin bukan hari
keberuntungan Siswa X. Dengan niat untuk mencari Guru IPS, dia mulai
menumpahkan unek-uneknya selama menjadi siswa, mulai bercerita tentang kondisi
dan bagaimana teman-temannya di kelas. Semua tetek bengek, bahkan bagaimana perlakuan guru terhadap kelasnya,
dengan leluasa dia ceritakan kepada saya dan teman PPL yang ada.
“Ah! Jadi begini”
satu kalimat ambigu yang saya rasakan setelah terjun sebagai pendidik yang
masih amatiran. Mendengarkan cerita suka rela dari salah satu siswa, membuat
kenangan saya muncul dari beberapa tahun sebelumnya. Meski bukan cerita
menyenangkan, tapi itu sebuah hadiah terindah yang pernah saya dapatkan.
Teman PPL : “Katanya memang kelas mereka itu super, Bu dan bla...
bla... bla...”
Mendengarkan obrolan itu membuat
saya tertawa dalam hati. Bukan karena saya meremehkan anak-anak, tapi saya
sungguh tidak setuju dengan kata ‘katanya’
yang diucapkan.
Ya! Saya tidak perlu gundah
apalagi memusingkan kata ‘katanya’. Saya kadang merasa beruntung tidak perlu
merepotkan apa yang orang lain bicarakan tentang saya. Bukannya tidak bisa
menerima kritikkan dari orang lain, saya hanya memilah mana yang memang pantas
dan baik dilakukan. Begitu pula pemecahan dalam kasus ini.
Seperti dalam percakapan saya
dengan Siswa X, bahwa saya pernah masuk kelas mereka. It’s fine. Mereka siswa dan saya sebagai guru piket pada saat itu. Hal
yang mencengangkan adalah, kelas mereka normal tidak seperti yang diceritakan
oleh sumber ‘katanya-katanya’. Mereka
mendengarkan apa yang saya katakan, melakukan apa yang saya arahkan, adab juga
baik. Tidak ada hal aneh yang terjadi selama dua jam mata pelajaran yang saya
isi waktu itu. Akan tetapi entah karena mereka masih takut kepada saya (takut kepada orang baru yang hadir di
hari-hari mereka) atau memang seperti itu keadaannya, saya belum menemukan
alasan yang pasti. Namun yang terpenting, anak-anak itu jauh dari yang mereka
bicarakan sebelumnya.
Siswa X : “Tapi kan enggak semuanya begitu Bu” ucapnya sembari membela diri
bahwa dia
dan teman-temannya tidak seperti yang
diceritakan.
Ya! Itu juga menjadi pembelaan
pribadi waktu sekolah dulu. ‘enggak semuanya begitu’ adalah sebuah frasa yang
tidak pernah menemukan titik temu. Saya bisa merasakan yang Siswa X rasakan
ketika bercerita. Saya bisa memaklumi pembelaannya, ketidakadilannya, dan
prasangka-prasangka buruk yang dialaminya. Memang, tidak semua guru berpikiran
demikian, namun tidak sedikit guru yang menunjukkan hal demikian.
Kalau pun saya boleh menilai,
kelas mereka adalah kelas yang berkesan setelah seharian penuh saya mengisi
tiga kelas pada hari yang sama. Kelas yang membuat saya berpikir ‘ternyata
mereka siswa yang baik’ meski ada catatan dan itu sungguh lumrah terjadi. Pasti
kekawan yang berada diposisi saya waktu itu, atau yang sudah berpengalaman akan
setuju bila tiap kelas pasti ada seorang anak yang berbeda dari teman-temannya
dan membutuhkan perhatian lebih dari yang lain.
Bukankah itu normal? Toh mereka
siswa (anak-anak) yang masih suka
bermain. Siswa yang masih berupaya mencari jati diri, siswa yang mempunyai
dunia sendiri dan perlu banyak perhatian. It’s
normal!
Saya memang tidak suka
diskriminasi, namun saya tahu sebagai manusia yang tidak sempurna dan banyak
salah pasti tanpa sengaja ataupun tidak, pasti pernah melakukannya. Dan
mungkin, tulisan ini pula menjadi salah satu media diskriminasi saya terhadap ‘pelaku’
yang membuat anak-anak hebat berpikir tentang prasangka-prasangka yang seperti itu.
(emm bisa jadi pembelaan juga sih).
Diskriminasi sebuah kata yang
terdiri dari lima suku kata, mempunyai dampak yang dasyat kepada siswa. Salah
satu dampaknya terhadap psikologi siswa, yakni siswa akan selalu merasa
dikucilkan, rendah diri, tidak percaya diri kepada kemampuan sendiri ataupun di
hadapan umum. Mereka akan selalu berpikir terbelakang dari teman-temannya.
Bukankah lebih berbahaya bila
mereka tidak percaya kepada kemampuannya sendiri? Lantas, bagaimana mereka akan
terus bercita-cita dan berangan tinggi? Jika bukan dari guru, siapa lagi? Jika
bukan dari sekolah, kemana lagi mereka menanggalkan impian tersebut?
Seharusnya mereka bisa
menadapatkan perlakuan yang sama bukan?
Ah! Mudah saja ngomong sok seperti saya saat ini. Mudah saja
mengatur ini itu. Iya, saya memang sok
tahu. Sok segalanya! Saya tidak
bermaksud menggurui kekawan dan semuanya. Ini hanya sebagai pengingat pribadi.
Hal-hal ini juga sebagai perenungan pribadi, kadang seseorang yang terlihat
baik-baik saja adalah yang benar-benar membutuhkan kehadiran kita. Bahwa, yang
kita dengar dan lihat tidak semuanya sama dan pasti mempunyai sisi yang
berbeda.
Jikalau saat itu anak-anak sudah
keterlaluan, atau ‘macam-macam sudah’ yang lain dalam pembelajaran Anda, memang
dari kacamata guru mereka salah. Lantas bagaimana bila dipandang dari kacamata
siswa? Tentu saja mempunyai sisi yang berbeda. Pasti mereka mempunyai alasan
untuk melakukan hal-hal tersebut bukan?
Sebagai salah satu pengalaman
saya tentang masa lalu yang tidak mengenakkan itu, mereka bukannya tidak ingin
menghormati, ataupun tidak menghargai Anda sebagai guru. Hanya saja, mereka
takut, karena Anda sudah melabeli
bahwa mereka ini sudah begini dan begitu.
Ah! Seandainya saat itu bisa
kembali terulang....
Karena sejatinya mereka ingin
berkata, “Jangan tinggalkan saya Bu, bantu saya, genggam saya supaya menjadi
siswa yang lebih baik lagi.”
No comments:
Post a Comment