1997
Tahun pertama aku bernapas di bumi dan menjadi seorang putri paling kecil dalam sebuah keluarga sederhana.
1998-2008
Masa-masa disaat kata ‘bermain’ adalah dunia paling menyenangkan. Ketika itu aku tak kenal panas, hujan, gemuruh, petir, lelah, mendung, keringat, apalagi omelan ibu. Pulang sekolah sudah biasa lupa makan dan langsung pergi keluyuran entah kemana.
2009
Tahun tersulit yang pernah kulalui. Tahun yang mengakrabiku hingga bersahabat dengan kata sabar dan ikhlas. Sebuah tahun yang memberiku pengalaman paling berat untuk mengenang kata patah, pilu, hilang, berpisah dan merelakan.
2010-2011
Masa tidak mempunyai tujuan hidup. Saat itu kehidupan terasa sangat datar. Raga ada, namun jiwa kosong. Hidup hanya sebatas tempat untuk tidur, dan bangun hanya untuk memastikan bahwa aku masih bernyawa.
2012
Di tahun itu ada sedikit tekad untuk mengatur hidup–lagi. Ibarat sebuah biji yang tengah memecahkan cangkang untuk tumbuh, terus hidup dan berkembang. Begitulah tekad itu membawaku bergerak.
2013
Pertama kalinya belajar prioritas, kemauan, harapan, dan memecahkan masalah sendiri. 30% mendengarkan saran keluarga dan 70% mencerna keputusan sendiri. Untuk pertama kalinya pula memutuskan untuk merantau dan bercengkerama dengan lingkungan dan orang-orang baru.
2014-2015
Tahun yang telah menyadarkan aku untuk berkata, ‘It’s me’. Sebuah masa untuk lebih mengenali diri sendiri, bisa dibilang tahun ‘duniaku’. Di tahun itu, aku sedang fokus dan sangat asyik menekuni hobi dan hal-hal yang kusukai. Masa dimana aku ingin menjadi apa, seperti apa, dan ingin bagaimana di kemudian hari.
2016
Tahun penuh syukur. Meski pernah dua bulan tidak pulang untuk persiapan UN, tetapi harapan, mimpi, cita-cita dan anak pinaknya, beransur-ansur menjadi kenyataan. Hal yang pernah kupikir sebuah kemustahilan muncul dan menjadi keajaiban.
2017-2018
Belajar hidup sendiri. Meski sebelumnya sudah pernah merantau, namun di tahun-tahun itu aku belajar menjadi aku yang sesungguhnya. Aku ya aku dengan segudang urusan itu.
2019
Tahun banyak perenungan. Hingga kadang stres mulai bermunculan. Apalagi terlintas kalimat, “Apa aku bisa?” menjadi sebuah pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran.
2020
Sedang menanti kabar baik.
Nyatanya sebagai tokoh, aku tidak bisa memilih ending yang kuinginkan. Namun terima kasih aku, sampai detik ini kau masih bersedia untuk bertahan.
No comments:
Post a Comment