Semua pasti mempunyai kenangan sendiri tentang hujan. Ingatan yang paling melekat adalah saat masa kanak-kanak yang tak pernah takut omelan, apalagi marahnya ibu di rumah ketika pulang sudah dalam keadaan basah kuyup. Ya, hujan dan ibu adalah sepasang ingatan yang tak pernah lepas dari masa lalu. Cerewet memang, namun itu salah satu modus ibu betapa dia begitu mengkhawatirkan sang buah hatinya.
Masa itu, di masa-masa yang telah lalu. Aku–ketika itu hanyalah seorang anak yang hanya ingin menikmati waktu bermainnya dengan hujan. Aku yang seketika tak dapat berkata-kata, saat ibu berkata ‘jangan’ akibat kondisi kesehatan yang tak pernah bisa stabil. Aku–seorang anak yang memiliki imun sangat lemah dari teman-teman sebayanya, hanya bisa memandang keceriaan dari balik jendela.
Kenapa harus begini? Aku yang juga ingin berkumpul bersama teman-teman, berlari ke sana kemari, saling menertawakan hal konyol. Akan tetapi, aku tak pernah memikirkan alasannya, dan hanya bisa menyalahkan ibu dengan segala keegoisannya. Aku selalu menyalahkan segala perkataan ibu.
Lantas kini, aku menyadari. Keceriaanku pada masa kanak-kanak tak ada artinya bila waktu merenggut segalanya. Apalah artinya tersenyum di balik luka? Apalah maksud sesal yang begitu datang terlambat?
Seharusnya aku bersyukur, kala itu mendapat kesempatan untuk bersama, bersitatap, bercerita, bercanda, dan berbagai hal lainnya bersamanya. Tetapi nyatanya, aku menyia-nyiakan segala kesempatan yang diberi dan selalu saja menyalahkan ibu.
Ketika waktu menjemputnya, aku malah menyalahkan waktu. Aku tidak menyadari, bahwa yang paling pantas disalahkan adalah keegoisanku saat menyalahkan banyak hal. Yang lebih patut disalahkan adalah aku. Tidak lain adalah aku. Aku tidak pernah menyadari, sampai Dia benar-benar membawa ibu pergi bersama.
Bu, maafkan aku yang terlalu bodoh untuk mengerti kasih sayangmu. Aku yang selalu membuatmu sakit hati dan khawatir, kini sungguh menyesal. Aku yang sering mengabaikan dan tidak pernah berhenti membuatmu marah, kini sangat bersalah. Maafkan aku Bu, maafkan anak yang begitu pandir ini.
Lantas kini biarlah hujan membawa kenangan dari masa lalu. Aku berterus terang dan memang pantas menerima penghukumannya. Bu, aku mengaku salah.
No comments:
Post a Comment