[Cerpen]: Ketupat dan Seribu Tenda (sudah diterbitkan dalam Antalogi Cerpen Kemenyan Keramat

"Ayolah Mas, sekarang saja” bujuknya sembari mengekori kakaknya ke sana kemari. Sementara itu, seseorang yang dipanggilnya mas hanya berkata singkat–besok. Mendengar jawaban itu tentu saja membuat  kecewa, namun tanpa ba-bi-bu akhirnya dia kembali mengintip siluet kendaraan yang lalu lalang dari bingkai jendela. Sebab bagaimana pun macam cara dia merengek ke kakak laki-lakinya itu hanya akan berujung percuma. Bukankah sudah dari dulu dia mengecapnya sebagai kakak paling keras kepala di seluruh dunia?

“Masmu ke mana Nduk?” tanya tiba-tiba seorang wanita paruh baya, sedangkan gadis itu menggeleng dan menjawab sekenanya, karena tidak bisa dipungkiri, kalau gadis itu memang tidak tahu di mana kakaknya berada. Sembari membenarkan posisi duduk, dia baru teringat kalau orang yang tadi ditanya itu membawa kopiah. Sebelum wanita paruh baya kembali ke dapur, dia berpesan supaya kakak nanti membantu ibu dan bapak di dapur. Gadis itu langsung bertanya untuk membantu apa? Namun hanya mendapat senyum lembut saja.

Mengintip keramaian ternyata bisa membosankan. Dia bosan karena hanya duduk dan berteman sunyi. Dia bosan karena terus dihantui penasaran dan akhirnya, dia kembali memilih mengekori kakaknya, bergabung bersama ibu dan bapak.




Ini terlalu rumit dari soal matematika dan angka-angkanya. Bagaimana bisa manusia membuat sesuatu serumit ini? Pikirnya. Ternyata dia masih telaten, meski sudah tidak bisa dihitung berapa kali harus mengulang dan sesekali mencuri pandang pada ibu, bapak, dan kakaknya.

“Kenapa sih Bu, janur ini tidak bisa dikompromi?” gerutunya kesal, sembari meletakkan sekenanya. 

“Sepertinya Nita tidak berbakat membuat ketupat semacam ini,” lanjutnya.

 “Sabar toh Nduk, dulu ibu juga begitu. Coba lihat sekarang, ibu bisa kan?”

Ya, begitulah jawaban ibu. Selalu saja seperti itu jawabannya, setiap kali gadisnya mengeluh ketika Hari Raya Ketupat tiba. Semenjak tiga tahun lalu, awal dia masuk sekolah menengah pertama, Hari Raya Ketupat seolah menjadi momok yang mengerikan.

“Jangan murung begitu toh, genduk kan masih bisa bantu ibu untuk memasaknya besok,” begitulah ibu, yang selalu bisa menenangkan lewat kalimat sederhananya. Meski kadangkala, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tentang dari manakah asal hati selembut itu?

Hampir lima jam gadis itu bermain tungku dan kayu bakar. Tugasnya memang terlihat sederhana, namun menjaga bara api tak sesederhana yang dilihat. Lengah sedikit, api akan mati dan membubungkan asap yang akan membuat mata pedih. Mungkin ini menjadi salah satu bakatnya, bukan bagaimana cara dia menganyam janur menjadi ketupat.

Akan tetapi rasa lelah terbayarkan, ketupat yang bergelantungan di dekat meja makan dan lodeh yang masih mengepul terlihat begitu nikmat. Apalagi ditambah dengan sebuah kabar gembira dari kakak. Sampai-sampai dia lupa bagaimana cara kemarin merengek. Ah, sudahlah! Yang penting kakaknya menepati janji.

“Kenapa banyak sekali toh Bu? Memangnya siapa yang mau makan sebanyak ini?” gerutu gadis itu sembari memasukkan ketupat ke dalam tas anyaman. Ibu lama tidak berkomentar, dan hanya tersenyum renyah.

“Ya ibu, bapak, mas, dan kamu toh Nduk,” ucapnya sambil menutup rantang. “Ayo, kamu yang bawa ketupatnya” lanjut ibu segera beranjak karena bapak dan kakaknya sudah lama menunggu.

Jika kalian menyusuri jalan lintas selatan, sebelah timur Desa Selok Anyar dan sebelah barat Pantai Paseban, maka kalian akan menemukan sebuah desa yang pesisir pantainya dipenuhi tenda.  Desa itu Wotgalih, salah satu desa pesisir di Lumajang yang dikenal dengan pasir besi murni dan destinasi ombak pantainya. Sedangkan tenda-tenda itu bukan didirikan oleh anak pramuka yang sedang berkemah, melainkan pemuda tanggung warga sekitar, bahkan ada yang dari desa tetangga yang ingin menikmati pesona pantai disepanjang hari raya. Tentu ini menjadi salah satu hal menarik, karena pemandangan tenda-tenda itu hanya berdiri setahun sekali. Biasanya tiga hari setelah Hari Raya Idul Fitri sampai berakhirnya Hari Raya Ketupat.

“Kakakku pernah berkata, tempat ini mempunyai makna tersendiri.” Gerutu gadis itu sembari beriringan di atas pasir dan berteman keramaian. “Tempat ini ramai karena menjadi salah satu tempat pariwisata, namun bagi penduduk setempat, pantai ini sudah menjadi rumah. Kenapa demikian? Meski di tengah remang dan keramaian, kakak bertemu dengan teman SD-nya yang sudah bertahun-tahun berpisah. Bertukar sapa dengan sanak saudara yang belum bertemu waktu hari raya. Kemudian aku bertemu beberapa guru SMP yang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk berlibur juga. Tentu saja tak luput dengan teman-temanku, batang tubuhnya hilir mudik dengan warna kulitnya tak lagi sawo matang.”

“Kebiasaan di hari ketujuh bulan Syawal ini, kadang menimbulkan pertanyaan tersendiri. Bagaimana asal-asul berdirinya tenda-tenda itu, dan tak surut pengunjung disetiap tahunnya, menjadi sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Akan tetapi aku meyakini satu hal, bahwasannya kebiasaan ini sudah ada sebelum aku mengenal dunia.”

“Ayo, sini Nduk” perintah malaikat tak bersayap itu membuyarkan pikiran gadis yang tengah duduk di samping perapian.

“Genduk boleh tambah Bu?” tuturnya malu-malu. Sedangkan wanita paruh baya itu kembali tersenyum, sembari membelah ketupat dan mengangguk dengan hangat.

Hanya saja ada satu pertanyaan yang selalu terlupakan, hati gadis itu kembali tak bergeming. Betapa nikmatnya menghamparkan tikar di tepi pantai  dan menikmati ketupat lodeh beratap langit yang remang-remang? Sampai-sampai tidak tahu saat ombak datang.
-oOo-




No comments:

Post a Comment