Belajar Teguh dari Hati Poniem (Review Novel Merantau ke Deli karya Hamka)

Salah satu fungsi dari sebuah karya sastra khususnya novel adalah sebagai hiburan juga media penyampai pesan implisit yang ditulis oleh pengarangnya. Tak ayal, kadang novel bisa mengubah seseorang baik secara emosi maupun intelek.

Review Novel Merantau ke Deli karya Hamka


Nah, kali ini saya akan mengulas salah satu karya dari penulis fenomenal dalam dunia sastra. Kalau teteman pernah membaca novel maupun nonton film yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck pasti tahulah siapa yang dimaksud kali ini?

Prof. DR. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau nama populernya Hamka merupakan seorang ulama dan sastrawan Indonesia.  Beliau lahir 17 Februari 1908  dan berkarir sebagai wartawan, pengajar juga seorang penulis. Merantau ke Deli merupakan salah satu karya yang ditulis sebelum perang dunia kedua. Karya ini dimuat rutin di Majalah Pedoman Masyarakat pada pertengahan tahun 1939 sampai awal tahun 1940 dan diterbitkan oleh Penerbit Cerdas Medan pada tahun 1941.

Namanya sebuah karya sastra pasti tidak jauh dari pengalaman, lingkar kehidupan, atau imajinasi brilian sang penulis. Seperti halnya Merantau ke Deli, Hamka mendapat inspirasi dari mengamati kehidupan pedagang kecil, kuli kontrak ketika kepulangannya dari Mekah dan berbulan-bulan menjadi guru agama di satu pasar kecil di Deli.

Merantau ke Deli bercerita tentang seorang lelaki bernama Leman (orang Minangkabau) pekerjaannya adalah seorang pedagang kelontong yang menikah dengan wanita bernama Poniem (orang Jawa) bekerja sebagai kuli kontrak perkebunan di Deli. Bisa dikatakan nih, bila pernikahan mereka merupakan percampuran dua budaya–Minang dan Jawa.

Setelah menikah, Poniem berhenti bekerja dan ikut suaminya (dia sudah hidup sebatang kara). Hari-hari mereka bahagia, bahkan kebutuhan mereka tergolong berkecukupan. Usaha mereka membuka toko kain cukup berhasil.  

Akan tetapi ketika Leman membawa istri ke kampung kelahirannya, dia mendapatkan kritik dari keluarga. Kebudayaan Minang mengharuskan laki-laki Minang menikah dengan gadis dari kampung sendiri. Bergejolaklah batin juga pikiran Leman. Tentu saja dia tidak ingin membagi hatinya, apalagi selama ini Poniem sudah sangat berbakti. Poniem jugalah yang sangat telaten mengurus toko bersama pegawainya yang setia (Suyono).

Suatu ketika satu masalah muncul. Adanya keluarga tidak terasa lengkap tanpa kehadiran seorang anak. Beberapa tahun setelah menikah belum ada tanda-tanda bahwa Leman akan menjadi seorang ayah. Satu alasan tersebut juga membuat Poniem pasrah. Apalagi hasutan demi hasutan sanak saudara untuk menikahkan Leman dengan gadis kampung sendiri membuat pikirannya berkecamuk. Hingga disuatu ketika, ternyata Leman memutuskan menikah untuk kedua kalinya.

Istri mudanya dibawa ke rantau, dia bernama Mariatun gadis pilihan keluarga. Tentu saja, keberadaan Mariatun telah mengubah sedikitnya kondisi dalam keluarga itu. Awalnya Poniem merasa wajar sebagai orang baru dia tentu masih beradapatasi. Akan tetapi perlakukannya kepada Poniem seperti dianggapnya sebagai (maaf) babu di rumah. Pekerjaan rumah, masak, menyiapkan keperluan lain, semua dilakukan Poniem. Mariatun hanya memilih menjaga toko dan hal-hal ringan lainnya. Kadang Mariatun menjelek-jelekkan Poniem dan tak jarang juga mengaku bila dia yang menyiapkan makanan untuk Leman.

Hingga di suatu ketika muncullah percekcokan antara Poniem dan Mariatun. Jika dipilih siapa yang salah, tentu teteman bisa menilai. Tetapi yang lebih menjengkelkan Leman lebih memilih Mariatun. Lantas membuat Leman tidak bisa menjadi nahkoda dan mengatur dua kapal secara bersamaan–Poniem memutuskan pergi.

Setelah peristiwa itu, Leman bukan hanya kehilangan Poniem namun lambat laun usaha toko kainnya semakin merosot dan bangkrut. Bahkan rumah yang ditempatinya kini dijual dan pindah ke petak rumah kecil yang disewanya bersama dua orang lain. Kini Leman kembali berdagang barang kelontong seperti pertama kali dia datang ke Deli. Leman mengalami nasib jungkir balik, hingga menyadari bahwa selama ini yang pandai dan telaten mengurus toko tak lain Poniem dan pegawainya–Suyono. Poniem telah memiliki banyak jasa pada hidup Leman.

Lantas bagaimanakah dengan Poniem setelah memutuskan cerai?

Poniem membangun usaha baru bersama Suyono (saat Poniem pergi waktu itu, Suyono juga memilih pergi. Dia merasa senasib dengan Poniem karena sama-sama berasal dari Jawa). Mereka mengurus segala hal berdua, jatuh bangun dari nol. Hingga suatu ketika mereka menikah dan cukup dianggap sebagai keluarga yang berhasil. Suyono dan Poniem memutuskan untuk kembali dan membeli tanah di Deli, karena harga di sana masih tergolong cukup murah. Ternyata rumah yang mereka beli adalah rumah yang dulu pernah ditinggali Poniem dan Leman.

Mengetahui bahwa yang membeli rumahnya adalah Suyono–mantan pegawainya dulu, membuat Leman rendah diri. Dia kagum melihat Suyono sukses. Bahkan dia beberapa kali minta maaf dan menyesal setelah tahu bahwa Suyono telah beristri dan istrinya tersebut tak lain mantan istrinya dahulu. Poniem tentu berhak mendapatkan kata maaf dari Leman meski dia sudah memaafkan kejadian di masa lalunya. Kini, dia sudah berbahagia dengan Suyono dan Maryam–putri angkatnya.

Novel ini ini cukup membuat perasaan campur aduk. Apalagi si tokoh Leman yang dengan teganya berbuat seperti itu, labil dan mudah sekali terpengaruh oleh pembicaraan sanak keluarganya dan istri mudanya. Meski begitu, bener-bener salut dengan tokoh Poniem yang tahan banting. Sudah sabar menghadapi mantan suami yang (maaf) tidak tahu terima kasih itu. Pak Hamka benar-benar brilian mengemas ceritanya. Yaaa meski bahasanya yang khas jaman dahulu namun buku ini wajib dibaca teteman yang suka sastra. Bahasanya enggak sejelimet itu sih, masih bisa dipahami meski butuh waktu untuk diproses oleh otak. 

Eh, tapi enggak tahu yaaa novel ini masih diproduksi atau enggak. Beberapa kali ke toko buku yang berbeda, sudah tidak melihat di rak ada Merantau ke Deli. Habis atau tidak diproduksi lagi? (karena saat author enggak sengaja ke toko buku, Merantau ke Deli hanya tinggal satu eksemplar ini doang!) Kalau habis wajar sih... ini novel bagus, tapi kalau enggak diproduksi laaagiii...? cukup disayangkan. Saya kira, kita butuh novel berbobot seperti ini–sebuah novel yang penuh dengan sarat makna kehidupan.


No comments:

Post a Comment