PENDAHULUAN
Hampir setiap negara di dunia ini menghadapi fenomena kedwibahasaan dan diglosia sebagai suatu bentuk kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Definisi kedwibahasaan menurut Mackey (dalam Achmad, 2013) ialah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh seorang penutur sesuai dengan tingkatan kemampuan yang dimilikinya, sedangkan definisi diglosia menurut Ferguson (dalam Chaer, 2014) adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, dimana selain terdapat sejumlah dialek atau ragam utama dari satu bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
Penduduk di suatu negara pada umumnya terdiri atas berbagai golongan, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing. Akan tetapi beberapa penduduk dituntut untuk dapat menguasai dan menggunakan bahasa lain selain bahasa yang digunakannya setiap hari. Hal tersebut membuat pengguna bahasa “terpaksa” harus mempelajari suatu bahasa sebagai tuntutan masyarakat yang tinggal di lingkungan baru, sehingga pengguna bahasa tersebut tidak hanya menguasai satu bahasa saja.
Fenomena kedwibahasaan dan diglosia tidak dapat diabaikan dalam setiap usaha memahami perilaku berbahasa suatu masyarakat yang menguasai banyak bahasa, terbuka komunikasinya dengan masyarakat lain, mempunyai sejarah perkembangan masyarakat dan bangsanya sebagai suatu bangsa yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan mempunyai satu bahasa sebagai bahasa nasional. Kedwibahasaan dan diglosia ini telah menjadi sendi pergaulan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis membahas tentang kedwibahasaan dan diglosia, faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kedwibahasaan, serta hubungan yang terjadi antara kedwibahasaan dan diglosia.
KEDWIBAHASAAN
Pada umumnya sosiolinguistik mengkaji masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Kedwibahasaan selalu berkembang dan cenderung meluas. Kedwibahasaan dipakai untuk konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan menggunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana yang dikatakan oleh Nababan (dalam Warsiman, 2014:85), bahwa orang yang terbiasa menggunakan dua bahasa dalam berinteraksi dengan orang lain disebut bilingualisme, sedangkan kemampuan menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas.
Seseorang akan dikatakan bilingual, apabila penguasaan akan bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) derajatnya sama baiknya atau dengan kata lain tidak setengah-setengah yang nantinya justru akan menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia dibandingkan bahasa asing. Contoh penyimpangan dari pernyataan tersebut telah terjadi di sebagian masyarakat saat ini. Masyarakat merasa lebih hebat dan lebih bergengsi, jika dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam bahasa Indonesia, padahal kosakata asing yang digunakan tersebut telah ada pada kosakata bahasa Indonesia. Misalnya, beberapa masyarakat lebih suka menggunakan atau menambahkan beberapa kata seperti, di-pending, meeting, loundry, download, on the way, dan kata lain pada saat berinteraksi dengan orang lain.
Seorang penutur bilingual menggunakan bahasa tertentu, bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2), atau satu ragam bahasa tertentu digunakan pada saat menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur yang berhubungan dengan adanya ranah-ranah penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) juga digunakan bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan.
Kedwibahasaan bukan merupakan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara berganti-ganti. Setiap bahasa di dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika suatu bangsa, salah satu simbol jati diri adalah bahasa dan sastra Indonesia. Anggota suatu komunitas etnis di Indonesia juga memiliki simbol jati diri yakni bahasa dan sastra daerah.
Kedwibahasaan sebagai wujud dalam peristiwa kontak bahasa merupakan istilah yang pengertiannya bersifat nibsi atau relatif (Suwito, 1982:40). Hal ini disebabkan pengertian kedwibahasaan berubah-ubah dari masa ke masa. Perubahan tersebut dikarenakan sudut pandang atau dasar pengertian bahasa itu sendiri berbeda-beda, seperti halnya yang dikemukakan oleh beberapa ahli mengenai pengertian kedwibahasaan sebagai berikut.
Menurut Weinreich (dalam Syafyahya dkk, 2014:23), “Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian”. Blommfield (dalam Syafyahya dkk, 2014:23), berpendapat bahwa kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya merupakan kedwibahasaan. Selain itu, Mackey (dalam Rusyana, 1989) mendefinisikan kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang. Menurut Mackey, dalam membicarakan kedwibahasaan tecakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran atau alih kode, percampuran atau campur kode, interferensi, dan integrasi.
DIGLOSIA
Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Maksud dari penjelasan ialah bahwa terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan non-formal atau tidak resmi. Contohnya di Indonesia terdapat perbedaan antara bahasa tulis dan bahasa lisan.
Diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (dalam Chaer, 2014) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara Arab, Swiss, dan Haiti. Di negara-negara tersebut terdapat dua ragam bahasa yang berbeda, masing-masing adalah Katharevusa dan Dhimtika di Yunani, Al-fusha dan Ad-dirij di Arab, Scriftsprache dan Schweizerdeutsch di Swiss, serta Francais dan Creole di Haiti. Pertama adalah ragam bahasa tinggi (T) yang dipakai dalam situasi resmi, sedangkan yang kedua adalah ragam bahasa rendah (R) yang dipakai dalam situasi sehari-hari atau tidak resmi. Ragam bahasa yang dipakai di dalam situasi resmi seperti, perkuliahan, sidang parlemen, dan khitbah di tempat-tempat ibadah dianggap sebagai bahasa yang bergengsi tinggi oleh masyarakat bahasa yang bersangkutan. Mengingat latar belakang sejarah ragam ini yang sudah sejak lama mengenal ragam tulis dan menikmati gengsi itu, ragam inilah yang dipakai sebagai bahasa sastra di kalangan para pemakainya. Definisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson (dalam Chaer, 2014) adalah sebagai berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di samping adanya dialek-dialek utama dari bahasa meliputi ragam-ragam baku setempat, mengenal suatu ragam yang ditinggikan, sangat berbeda, terkondisikan secara rapi (tata bahasanya lebih rumit), berasal dari waktu lampau atau berasal dari masyarakat bahasa lain, kemudian dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis, tetapi tidak dipakai di sektor apapun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.
Pengertian diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama, akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Hal yang perlu ditekankan adalah perbedaan fungsi kedua bahasa atau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata, diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa. Di samping perbedaan, ada juga persamaan antara keduanya, yaitu bahwa ragam-ragam bahasa itu mengisi alokasi fungsi masing-masing dan bahwa ragam tinggi hanya dipakai di dalam situasi resmi dan ragam rendah di dalam situasi yang tidak atau kurang resmi. Menurut Fishman (dalam Rokhman, 2013:21) diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyarakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa, dan tidak hanya terdapat dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi juga di dalam masyarakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras atau ragam-ragam jenis yang berbeda secara fungsional.
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEDWIBAHASAAN
Dasar sosiolinguistik ialah individu-individu dipandang sebagai anggota kelompok sosial (Bambang, 1995:396). Kelompok sosial tersebut memainkan berbagai peranan dan menunjukkan berbagai perilaku, termasuk perilaku bahasa. Perolehan bahasa selain bahasa asli menghasilkan kedwibahasaan. Ini terjadi karena dua bahasa yang berkontak sebagai penutur bahasa dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu terjadi karena pendukung masing-masing bahasa itu dapat menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk dengan alasan politik, sosial atau ekonomi, nasionalisme, faktor budaya dan pendidikan, faktor perkawinan, dan sebagainya (Komaruddin, 1989).
Perpindahan penduduk
Perpindahan penduduk secara kelompok mempunyai berbagai alasan, seperti keamanan, militer, ekonomi, pendidikan, politik, agama, dan bencana alam. Biasanya gerakan tersebut mengakibatkan kedwibahasaan sebagai hasil kontak antara penduduk yang baru dengan penduduk yang sudah lama berdiam di daerah tersebut.
Nasionalisme dan Sistem Politik
Sejak abad ke-19 identitas bahasa dan bangsa telah menjadi unsur penting di dalam perjuangan suatu kelompok sebagai bangsa. Semangat kebangsaan berpengaruh besar terhadap penentuan dan penyebaran bahasa nasional dan telah menancapkan tingkat kedwibahasaan tertentu pada banyak negara. Ada sejumlah penulis yang berpendapat bahwa setiap bangsa perlu memiliki satu bahasa nasional. Penduduk yang tidak mempunyai bahasa sendiri hanyalah setengah bangsa.
Suatu bangsa harus mempertahankan bahasanya dan ini merupakan perthana yang lebih penting daripada benteng. Sikap nasional terhadap bahasa sering mengantar kepada penyebaran bahasa nasional daripada penyebaran bahasa daerah dan ini menjurus kepada kedwibahasaan di kalangan penduduk, apabila kebijakan negara lebih moderat dan demokrat serta sistem politik dan perundang-undangan mendukung pengembangan wilayah secara utug dan berakar dari dalam maka kedwibahasaan akan bertahan sebagai kenyataan pemakai bahasa penduduk.
Pendidikan dan Kebudayaan
Billingual sebagai akibat dari pendidikan dan kebudayaan bukanlah hal yang baru. Lahirlah ungkapan bahwa menjadi terdidik atau cendekiawan berarti menjadi dwibahasawan. (Mackey dalam Komaruddin, 1989). Contohnya pada zaman sekarang apbila seorang sarjana untuk sekolah ke jenjang di atasnya maka ia harus mampu berbahasa Inggris. Hal ini akan membuat orang tersebut akan menguasai dua bahasa atau lebih. Jika orang tersebut mempunyai bahasa daerah misalnya bahasa Jawa, kemudian bahasa Indonesa, dan bahasa Inggris. Inilah yang menyebakan bahwa pendidikan maupun kebudayaan sebagai salah satu faktor kedwibahasaan itu lahir.
HUBUNGAN KEDWIBAHASAAN DAN DIGLOSIA
Hubungan antara kedwibahasaan dan diglosia menurut Dittmar (dalam Alwasilah, 1985:145) sebagai berikut:
Diglosia dan bilingualisme
Di dalam masyarakat yang dikarakterisasikan sebagai masyarakat yang bilingualisme dan diglosia, hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa tinggi dan bahasa rendah. Kedua ragam atau bahasa tersebut akan digunakan menurut fungsinya masing-masing dan tidak dapat dipertukarkan. Misalnya, pada penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Bahasa Indonesia digunakan dalam pergaulan pendidikan dan bahasa Jawa digunakan di lingkungan keluarga.
Diglosia tanpa bilingualisme
Di dalam masyarakat yang diglosia tetapi tanpa bilingualisme terdapat dua kelompok penutur. Kelompok pertama yang biasanya lebih kecil, merupakan kelompok hanya bicara dalam bahasa tinggi. sedangkan kelompok kedua yang biasanya lebih besar, tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat, hanya berbicara bahasa rendah. Situasi diglosia tanpa bilingualisme contohnya pada masyarakat Jawa yang tinggal di dalam dan luar keraton.
Bilingualisme tanpa diglosia
Dalam masyarakat yang bilingualis tetapi tidak diglosis terdapat sejumlah individu yang bilingual, namun mereka tidak membatasi penggunaan bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain pula. Jadi, mereka dapat menggunakan bahasa yang manapun untuk situasi dan tujuan apapun.
Misalnya Asep yang berasal dari Banjarnegara yang sudah hidup di Semarang selama 7 tahun. Di kontrakannya dulu terdapat 7 mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara yang menggunakan bahasa Banyumasan atau Ngapak dan 3 mahasiswa lainnya berasal dari Kudus dan Jepara. Mereka menggunakan bahasa campuran dalam lingkungan kontrakannya tanpa memandang siapa dan dari mana asal setiap penghuni kos.
Tanpa bilingualisme dan diglosia
Masyarakat yang tidak diglosia dan tidak bilingual tentunya hanya ada satu bahasa dan tanpa variasi serta dapat digunakan untuk segala tujuan. Keadaan in hanya mungkin ada dalam masyarakat primitif atau terpencil, yang dewasa ini tentunya sukar ditemukan. Masyarakat yang tidak diglosia dan bilingual ini akan mencair apabila telah bersentuhan dengan masyarakat lain (Chaer, 2014:102-104).
PENUTUP
Kedwibahasaan adalah kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Kedwibahasaan dipakai untuk konsepsi yang berkaitan tetapi berbeda, yakni kemampuan menggunakan dua bahasa dan kebiasaan memakai dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Diglosia adalah suatu situasi bahasa di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau bahasa-bahasa yang ada di masyarakat terdapat perbedaan antara ragam formal atau resmi dan tidak resmi atau non-formal. Faktor-faktor penyebab terjadinya kedwibahasaan yaitu, perpindahan penduduk, nasionalisme dan sistem politik, serta pendidikan dan kebudayaan. Kemudian Dittmar (dalam Alwasilah, 1985:145) mengungkapkan terdapat empat hubungan kedwibahasaan dengan diglosia, yakni diglosia dan bilingualisme; diglosia tanpa bilingualisme; bilingualisme tanpa diglosia; dan tanpa bilingualisme dan diglosia.
Comments
Post a Comment