Praktik kritik dengan model emansipatoris dalam kritik sastra Indoensia terdiri dari “Kajian Atas Novel Populer Indonesia oleh Jakob Sumardjo; Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajip Rosidi; Politik, Ideologi, dan Sastra Hibria oleh Sapardi Djoko Damono; Kegagalan kritik oleh Wiratmo Sukito dan Tentang Kewibawaan Kritik oleh Goenawan Mohamad. Akan tetapi author hanya akan membagi dua praktik kritik menurut Jakob Sumardjo dan Ajip Rosidi.
Kajian atas Novel Populer Indonesia
Buku Novel Populer Indonesia adalah Jakob Sumardjo terbit pada 1982. Buku ini disituasikan oleh kesejarahan sastra yang bertumpu pada pandangan modern. Sebuah pandangan yang memilah secara keras mengenai apa yang disebut dengan sastra dunia atau sastra kanon yang sangat berbeda dengan sastra lokal atau sastra pinggiran.
Novel populer berada pada posisi pinggiran, atau menurut bahasa Teew sebagai sastra kelas tiga karena kelas pertama diduduki oleh Balai Pustaka, kemudian penerbitan swasta yang berorientasi pada sastra kanon, dan sastra picisan dari situ, Teew berharap bahwa penelitian hanya diacukan kepada dan memilih objek sastra kanon sebab hanya itulah yang mengandung mutu baik.
Masalah yang terdapat dalam novel populer, yaitu sebuah novel yang luput dari pembicaraan karya sastra. Landasan pertama adalah bahwa novel populer bagaimana pun asumsi yang timbul atas hadirnya di masyarakat adalah tetap sebagai sebuah hasil karya sastra. Lepas dari mutunya baik atau tidak. Lebih dari itu penentuan mutu yang baik atau sebaliknya, Sumardjo lebih melihat sebagai sebuah perbincangan belaka.
Kedua, secara kuantitas, penerbitan novel populer jauh lebih besar dari pada novel serius. Jumlah penerbitan yang besar itu masih ditambah penentuan harga novel populer yang terpatok lebih tinggi dari pada novel serius. Di bagian awalnya, mempertimbangkan masalah harga, novel populer dua kali lebih mahal dari pada novel serius, tetapi permintaan yang ada di pasar jauh lebih tinggi novel populer daripada novel serius.
Landasan ketiga tentang pentingnya gagasan telaah novel populer adalah bahwa novel populer bisa dijadikan sebagai sumber utama dalam menyelidiki sebuah kebudayaan di suatu waktu dan tempat. Dengan merujuk pada nalar Rovlink, orang Belanda yang ahli sastra Indonesia, Sumardjo setuju bahwa sastra mestinya tidak hanya dipandang dari segi keindahannya belaka, tetapi juga semangat yang melandasi pencipta sastra waktu itu. Semangat, ketika dilihat berdasarkan konteksnya, sebagai sesuatu yang melandasi kehidupan sehari-hari pada penduduk kota besar. Atas dasar itu, maka sastra populer memiliki kedudukan penting dalam upaya menggambarkan detail kebudayaan, yang tidak bisa dimiliki oleh penelitian antropologi atau sosiologi perkotaan sekalipun.
Landasan keempat adalah langkanya dokumentasis sastra populer di tanah ait, padahal jumlah terbitannya amat melimpah. Satu-satunya pusat dokumentasi sastra yang bisa dirujuk saat itu, bahkan sampai saat ini, adalah PDS (Pusat Dokumentasi Sastra) HB Jassin, yakni menyimpan sekitar 400 novel populer yang bila dipilah-pilah jumlahnya menjadi 250 novel. Jadi dari 2.500 novel populer yang terbitnya hanya 10% yang bisa didokumentasikannya sampai-sampai dia berkomentar, “Jelas bahwa jumlah itu kurang memadai kalu diingat perkiraan adanya 2.500 judul novel populer di Indonesia sepanjang sejarahnya sejak akhir abad XIX.”
Atas dasar alasan itu Sumardji menyuguhkan kenyataan yang berbeda kepada para kritikus yang juga kanon tersebut. Objek novel populer yang dikajinya, 31 novel populer merupakan representasi dari novel populer yang terbit pada 1970-1980an. Objek tersebut setelah melakukan analisis satu persatu berdasarkan unsur-unsur struktur alur, tokoh, dan latar Sumardjo menggolong –golongkan menjadi dua aspek, yakni aspek dunia perempuan dan aspek dunia laki-laki. Isi masing-masing aspek dibagi menjadi dua lagi, yakni pandangan dewasa dan pandangan remaja dan laki-laki dewasa dan laki-laki remaja.
Penggolongan itu sendiri diragukan, dikatakan bahwa perbedaan gender dengan mengatakan kasar bagi lelaki dan lembut bagi wanita, sensual bagi lelaki dan sopan bagi wanita. Akan tetapi siapakah yang membaca teks tersebut? jawabannya adalah Jakob Sumardjo yang laki-laki itu memandang cerita secara niscaya dengan cara pandang laki-laki. Disini perlu dipertanyakan, bagaimana menurut pendapat perempuan tentang cerita yang ditulis oleh perempuan itu sendiri atau oleh laki-laki? Bias gender tidak bisa dihindari karena apa yang ditarik oleh fakta gender adalah nilai yang masih bisa diperdebatkan. Teori yang disangka bisa memecahkan persoalannya sendiri, justru membelitnya dengan masalah lain.
Anehnya reduksi cerita terhadap pribadi penyair ini sekaligus dijadikan pijakan oleh Sumardjo dalam menentukan kualitas. Menurutnya, novel populer dengan kualitas paling baik adalah Ashadi Siregar dengan Kugapai Cintamu dan Terminal Cinta Terakhir. Urutan kedua disapai Marga T dengan Di Ujung Sebuah Dunia dan Marianne Kattopo dengan Raumanen. Urutan ketiga dicapai oleh Eddy D Iskadar dengan Cowok Komersil, Yudhistira dengan Arjuna Mencari Cinta dan Dingdong dan teguh Esha dengan Ali Topan Kesandung.
Bila dihubungkan dengan penggolongan berdasarkan gender di atas, maka kualitas novel populer terbaik adalah novel dari pandangan remaja karena Ashadi dimasukkan dalam pandangan lelaki remaja, baru kemudian remaja. Teori hubungan tersebutvtentu saja tidak dengan serta-merta melakukan putusan bahwa novel populer yang baik tentu yang mengambil sudut pandang lelaki remaja, padahal simpulan yang mesti diambil adalah demikian. Dari paparan diatas, tampak bahwa Jakob Sumardjo kurang konsisten di dalam mengemukakan pandangannya untuk melakukan catatan kritis terhadap pandangan kritik sastra yang selama ini dianggap kanon.
Lepas dari kelemahan kerangka teoretisnya, Jakob telah berusaha (1) menggali sebuah bukti empiris yang selama ini diabaikan, menarik ke permukaan wacana kritik sastra Indonesia, dan dengan begitu telah berhasil masuk ke dalam perbincangan sastra Indonesia; sehingga (2) dengan menyuguhkan objek yang berbeda, Jakob memperlihatkan bahwa kritik sastra yang dominan adalah sebuah kritik yang memiliki justrifikasi tertentu, yang memiliki orientasi tertentu pula karena penentuan sebuah objek kemudian muncul pernyataan yang tergantung pada sebuah kepentingan-kepentingan.
Kajian Atas Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir?
Buku Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? oleh Ajib Rosidi merupakan kumpulan 17 esai yang tersebar dalam berbagai bentuk publikasi. Salah satu esai digunakan Ajib sebagai judul bukunya, yakni Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? Sebagai penonjolan bahwa dalam gagasan esai tersebut dapat dikatakan paling penting dari esai lainnya.
Esai ini ditulis berdasarkan pendapat yang telah diyakini sejak lama. Pendapat yang telah terkait dengan kelahiran kesusastraan Indonesia yang dikemukakan oleh Teeuw, Zuber Usman, dan B Simorangkir-Simanjuntak, mengemukakan menurut pembacaan Rosidi bahwa kesusastraan Indonesia lahir bersamaan dengan lahirnya sastra Melayu. Atas dasar, bahasa Melayu merupakan akar dari bahasa Indonesia dan dengan begitu kesusastraan Melayu merupakan identitas yang melekat dalam kesusastraan Indonesia.
Rosidi memandang sastra Indonesia melalui kategori identitas. Menurutnya, dalam peristiwa kesusastraan di Nusantara terdapat dua identitas kebangsaan, yakni kebangsaan Melayu dan kebangsaan Indonesia. Satu hal yang pasti, sekaligus dijadikan sebagai pernyataan yang dipegang oleh Ajip Rosidi bahwa identitas Melayu lebih dahulu mencuap dari pada identitas ke Indonesiaan. Masalah yang diangkat adalah “lebih dulu dari ....” artinya bahwa perlu adanya waktu, atau lebih tepatnya tahun, sedangkan yang bukan Indonesia dan lahir sebelumnya itu, adalah identitas kemelayuan.
Menggunakan teori kritis, Ajib menyusun pernyataan yang benar melalui falsifikasi terhadap pernyataan sebelumnya. Ajib mengoreksi gagasan Umar Junus yang mengidentifikasi kebangsaan Indonesia melalui tulisan “istilah dan masa waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’ dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (tahun 1, no. 3, tahun 1960, hlm. 245-260). Dalam tulisan itu, Umar Junus menegaskan bahwa identitas kebangsaan Indonesia akan ada jika bahasa Indonesia ada. Dengan begitu, perlu dicari tahun kelahiran bahasa Indonesia. Dengan melihat peristiwa kebangsaan pada 1928, yakni Sumpah Pemuda, maka Umar Junus menetapkan bahawa bahasa Indonesia resmi lahir setelah 1928. Jadi kesusastraan Indonesia lahir setelah 1928, dengan merujuk pada terbitnya majalah Pujangga Baru sebagai patokan kesusastraan Indonesia lahir. Sebelum 1928, kesusastraan Indonesia belum lahir. Bagaimana nasib kesusastraan Indonesia yang dilahirkan Balai Pustaka? Melalui Ajib Rosidi, Umar Junus berkata, “Terbitan Balai Pustaka bertentangan dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia”. Antara 1933 dan 1928 terdapat sela waktu, bagaimana dengan sela waktu tersebut? Umar Junus melihat bahwa karya individu dan disebut sebagai angkatan pra-Pujangga Baru. (Rohman, 2014:166)
Premis-premis Junus oleh Rosidi dijadikan titik pemikirannya. Rosidi setuju, bahwa kesusastraan lahir setelah bahasa lahir. Sehingga, untuk menentukan kesusastraan Indonesia perlu penentuan bahasa Indonesia. Umar Junus menyebutkan bahwa bahasa Indonesia resmi lahir 1928, yakni peristiwa Sumpah Pemuda, Ajip Rosidi mempertanyakan hal tersebut. Kalau memang bahasa Indonesia resmi lahir pada tahun tersebut, tentu saja bahasa Indonesia sebelumnya sudah ada, tinggal meresmikannya saja.
Peresmian pengakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan memang baru dilakukan pada Sumpah tanggal 28 Oktober 1928 di Jakarta. Tapi sebelum kita mengakui sesuatu, apa yang kita akui itu harus sudah terlebih dahulu ada. Apabila pada tanggal 1928 para pemuda Indonesia (masa itu) mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuannya, maka tentulah bahasa Indonesia sudah ada sejak sebelumnya. Maka persoalan kita sekarang: kapankah sesungguhnya bahasa Indonesia mulai ada? (Rosidi, 1988:3-4)
Kata sesungguhnya oleh Ajib Rosidi memberi informasi bahwa ia ingin mencari secara empiris asal-muasal bahasa Indonesia. Pencarian data secara empiris ini dilandasi oleh kategori-kategori yang ditetapkan, bahwa “anak lebih dahulu daripada bapak. “sumpah pemuda lebih dahulu daripada kenyataan bahasa Indonesia yang ada.” (Rohman, 2014:167)
Kategori semangat, isi dan jiwa Indonesia itu ditemukan pada 20 Mei 1908 sebagai hari lahirnya pergerakan kebangsaan yang disebut sebagai Boedi Oetomo. Tetapi hari itu melambangkan gerakan politik bukan pergerakan kesastraan. Peristiwa yang condong kepada kesusastraan adalah tahun 1920 dan 1921, tahun mirip berdirinya Balai Pustaka, terbit majalah Jong Sumatera, sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan lainnya.
Puisi lirik bertemakan cinta tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang tidak bisa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu. Begitu pula bentuknya, soneta, sembilan seuntai, tujuh-seuntai dan lain-lain yang tidak seperti lazim kita jumpai dalam khazanh kesusastraan Melayu. Memang dalam hal bentuk, pembebasan itu tidak mutlak sifatnya, karena alun irama pantun dan syair masih banyak kita rasa-rasakan. (Rosidi, 1988:6)
Kutipan tersebut sekaligus sebagai penjelasan terhadap gagasan tentang lahirnya karya sastra dengan semangat keindonesiaan. Adapaun kesusastraan yang berbahasa Melayu, tetapi tidak masuk kategori keIndonesiaan melainkan Ajip menyamakan hasil karya tersebut sebagai sastra daerah yang ada di Indonesia.
No comments:
Post a Comment