Kenangan Di Lorong Rumah


Siapa manusia paling menjengkelkan di dunia ini, yang hobinya suka marah, jail, manja, cuek tapi peduli, baik juga perhatian? Tentunya bukan aku melainkan kita.

Aku seorang anak bungsu dan memiliki dua orang kakak yang terpaut usia cukup jauh. Kakak pertama biasa kupanggil Mbak Dian beda sepuluh tahun dan Mas Halim beda sembilan tahun. Mungkin kalian pikir enak ya jadi aku  memiliki kakak cewek dan cowok sekaligus? Pasti pun kalian mengira masa kanak-kanakku dipenuhi rasa gelak tawa bersama. Ya ... mungkin saja, sayangnya aku tak terlalu ingat. Yang kupahami ketika kelas 2 SD Mbak dan Mas sudah SMA bahkan sudah jarang di rumah karena sekolah di luar kota. Begitupun setelah kelas 8 SMP, kakak-kakakku sudah sibuk untuk menata masa depannya, ada yang memilih bekerja dan melanjutkan studinya.

Jangan kira karena usia terpaut cukup jauh itu, tidak ada percek-cokan di antara kami. Ah! Hal itu mustahil tidak terjadi. Kami tetaplah kakak beradik, insting untuk jail-menjaili, saling ejek, kecewa, marah sana-sini, tetap menjadi hal lumrah. Aku pun tidak memungkiri bila kehadiran Mbak dan Mas merupakan sumbu dari berbagai kekesalan di rumah. Dua manusia itu merupakan makluk penggangguku ketika belajar. Orang-orang yang selalu berhasil membuat mood-ku yang gembira seketika menjadi buruk. Rasanya aku seperti bahan pelampiasan saja. Kadang aku marah dan selalu menyalahkan keadaan sebagai anak bungsu. Meski adakalanya aku merasa tidak memiliki kekurangan apapun. Anak bungsu sepertiku memiliki jutaan perhatian yang berlimpah. Mungkin itulah arti perspektif orang-orang yang selalu menganggap bahwa anak bungsu itu manja. Bukannya mau membela diri, tetapi aku tidak setuju dengan pernyataan seperti itu. Toh, aku bahkan mungkin manusia yang bernasib sama tak pernah ingin diperlakukan demikian.

Ketika aku SMA, Mbak dan Mas sudah memiliki keluarga baru. Kupikir itulah awal berakhirnya seorang anak bungsu dalam keluarga. Anggota keluarga yang tercatat dalam kartu kelurga lambat laun menghilang satu persatu, hanya menyisakan namaku dan kedua orang tua. Saat itulah keadaanku serasa jungkir balik.  Suasana rumah yang kadang pecah oleh kejailan Mbak dan Mas, kini hanya menyisakan sunyi. Tidak ada lagi seseorang yang suka marah-marah enggak jelas seperti Mbak Dian maupun makhluk menyebalkan diseluruh semesta seperti Mas Halim. Ya, kedua makluk itu sekarang sibuk dengan urusan masing-masing.

Kini kami sudah lama dipisah oleh jarak. Apalagi ketika tahun terus bertambah, rasanya ... sudah tidak ada tempat hanya untuk menyeduh teh bersama, membicarakan hal ini dan itu, atau bercerita mengenai masa lalu. Akan tetapi, aku sangat bersyukur memiliki mereka. Aku tahu bila jarak tidak menghalangi kami untuk memahami satu sama lain. Kami tetaplah kakak beradik, bukan? Insting memiliki, peduli, juga saling mengisi kekosongan, bukankah sudah lama pula kami diajarkan demikian? Perjalanan, jarak, dan jauh pun merupakan makanan yang sudah sering kami rasakan.

Akan tetapi perjalan Mbak dan Mas kali ini bukan untuk kembali ke rumah lama kami, mereka telah menempati rumah bahkan berbaur dengan keadaan serba baru. Yaaa ... tidak masalah, meski perjalanan Mbak dan Mas menyisakan rongga kenangan di lorong rumah yang kini kutempati. 


No comments:

Post a Comment