“Katanya
kita harus melek literasi tapi kenapa harga buku itu kok mahal ya Mas? Bukannya
semakin harga murah maka semakin banyak yang beli dan tentunya semakin banyak
pula yang akan baca? Atau karena biaya produksi dan hal-hal sebagainya?”
Siang itu tanpa ba-bi-bu aku langsung melontarkan berbagai pertanyaan kepada Mas yang sedang asyik memilah buku koleksiku di kamar. Pandangannya dengan khidmat tertuju pada salah satu penulis asal Belitong yang karyanya sangat kental dengan tema pendidikan. Ya, siapa lagi kalau bukan Pak Cik.
Aku yang saat itu belum
menerima jawaban hanya bisa bergeming sembari memperhatikan Mas yang mulai
menghampiriku dengan sebuah buku di genggamannya. Satu dua detik belum
memberikan jawaban. Padahal, Mas sudah duduk dan mencoba membaca dengan nyaman.
Bukannya mau bersikap egois, hanya saja saat itu kepalaku tiba-tiba penuh
dengan pertanyaan tentang fenomena literasi yang cukup memprihatinkan di tengah
pandemi kali ini.
Mungkin dari Teteman ada yang tahu mengenai fenomena itu? Beberapa bulan terakhir marak adanya pembajakan buku di media sosial. Syukurlah, ternyata banyak juga
yang berupaya menghentikan oknum-oknum tersebut, ada yang berusaha memberitahu
si penerbit bahkan sang penulis. You know-lah...
salah satu penulis yang menjadi korban adalah Bang Tere. Sampai-sampai nih Bang
Tere menulis novel yang sisinya berkaitan dengan bajak membajak tersebut (saya belum selesai baca, tapi kekalian
bisa baca novelnya di google play book judulnya “Selamat Tinggal”).
Beberapa
detik kemudian, Mas yang semula hanya fokus pada buku dipegangnya kini mulai
beralih menatapku. Seseorang yang tidak banyak bicara tapi selalu menyebalkan
itu mulai memasang aba-aba. Aku pikir Mas akan menjawab panjang lebar seperti
pertanyaanku yang mungkin membutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menulis
jawabannya. Akan tetapi Mas berbeda. Dia hanya butuh satu kalimat yang
membuatku langsung terpaku.
“Harga buku
mahal bukan karena biaya produksi tapi yang membuat buku mahal itu idenya.”
Aku yang awalnya mengira pembajakan akibat nilai jual buku, kini hanya tercengang mendengar jawaban tersebut. Ternyata aku berpikiran terlalu sempit dan mengira masalah pembajakan akan bisa diatasi dengan memotong nilai jualnya saja. Aku sedang amnesiakah?
Bukankah selama ini aku tahu bila proses menulis itu tidak semudah membalikkan telapak tangan? Bisa menerbitkan sebuah buku saja itu anugerah; perlu melintasi jalan yang tentunya enggak lurus dan semulus jalan tol (eh, jalan tol saja masih ada yang berkelok-kelok ‘kan?).
Jangankan buku, nulis
begini saja susahnya minta ampun. Eh tiba-tiba ada yang seenaknya melipatgandakan atau ‘copas’ tanpa merasa bersalah sekalipun. Bukan hanya itu, pengaruh perkembangan
teknologi kadang enggak sebaik yang dikira. Bahkan kutipan, atau kata-kata
mutiara saja bisa diaku ‘milik sendiri(oknum)’ tanpa mencantumkan penulis atau
sumbernya. Yaa.... beginilah sisi hitam putih dunia.
Setelah ngobrol
ngalor-ngidul mengenai masalah buku,
tiba-tiba Mas berdiri sembari menyebut-nyebut tokoh kenamaan Indonesia yakni Gus Dur.
Memangnya apa hubungannya dengan beliau? Namun aku menyidik dan merasa mulai
ada yang tidak beres.
Sembari membolak-balikkan buku Mas berkata, “Hanya orang bodoh yang mau meminjamkan bukunya dan hanya orang gila yang mau mengembalikan buku yang sudah dipinjam.”
“Awas saja
yaaa kalau buku itu enggak dikembalikan!” tuturku langsung naik pitam.
Mas hanya tertawa. Huh! Menyebalkan!
No comments:
Post a Comment