The Crucible atau Silenced merupakan film Korea Selatan yang diadaptasi dari sebuah novel karya Gong Ji Young. Film yang memiliki judul sama dengan novel ini, disutradai oleh Hwang Dong Hyuk dan diproduksi pada 2011. Ada hal menarik dari film The Crucible selain diperankan oleh aktor dan aktris ternama, film ini diangkat dari kisah nyata yang terjadi tahun 2000-an dari salah satu sekolah di Korea Selatan bernama Gwangju Inhwa School.
Gwangju Inhwa School sebenarnya sekolah apa sih? Kemudian kasus apa yang menyebabkan peristiwa itu ditulis oleh pengarang kenamaan Korea Selatan seperti Gong Ji Young?
Gwangju Inhwa School adalah sekolah khusus bagi siswa
yang mengalami gangguan pendengaran atau tuna rungu (mungkin kalau di Indonesia seperti sekolah luar biasa kali ya?)
yang didirikan pada tahun 1961. Dari beberapa sumber yang saya baca nih,
sekolah ini operasinya sudah diberhentikan sejak tahun 2011 (setelah dua bulan film dirilis).
Lantas apa sih yang terjadi di Gwangju Inhwa School sehingga dikemas dalam sebuah film?
The Cruscible diawali sebuah cerita kedatangan seorang
guru baru bernama Kang In Ho (yang diperankan oleh Gong Yoo) ke Gwangju Inhwa
School sebagai Guru Seni. Di awal mengajar In Ho mengamati beberapa siswa yang
sedikit berbeda dari yang lain.
Beberapa siswa seolah takut dan tak segan menghindar saat
In Ho berupaya mendekat. Mendapat perlakuan seperti itu akhirnya dia bertanya
ke salah satu guru dan mendapat jawaban bila mereka memang berbeda dari siswa
yang lain (maksudnya bila sekolah Inhwa
merupakan sekolah untuk siswa yang berkebutuhan khusus), tentu In Ho sudah
tahu kondisi tersebut, tapi bukan itu yang dimaksudnya.
Ada perasaan aneh yang In Ho rasakan terhadap mereka yang
berupaya menjaga jarak bahkan cenderung seperti mengalami trauma. Disebabkan
pertanyaan masih tak menemukan jawaban, akhirnya Guru In Ho membaca rekam
identitas siswa di kelasnya.
Ketika mencoba mengamati para siswa dan tempat barunya
bekerja, Guru In Ho menemukan hal-hal mengganjal lainnya seperti mendengar
teriakan siswa di kamar mandi dan melihat siswa yang tanpa takut duduk merenung
di jendela kamar asrama yang cukup tinggi. Usut punya usut, keanehan-keanehan
itu akhirnya menemukan titik temu ketika Guru In Ho menyaksikan seorang
penanggung jawab asrama yang menghukum salah satu siswanya dengan mencelupkan
kepala ke mesin cuci.
Dari peristiwa ini mulai terkuaklah masalah apa saja yang
terjadi, salah satu contohnya bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh
beberapa guru terhadap siswa. Bukan hanya itu, yang paling miris dan
memprihatinkan adalah kepala sekolah menjadi salah satu oknum yang melakukan
tindakan asusila tersebut.
Akhirnya Guru In Ho memutuskan meminta bantuan seorang
aktivis hak asasi manusia yang dikenalnya untuk melaporkan ke kementerian pendidikan
bahkan kepolisian, tapi semua menolak dengan alasan bila bukti yang dibawa
masih kurang. Bahkan salah seorang polisi mengatakan kepala sekolah tidak akan
melakukan perbuatan asusila tersebut karena dikenal sebagai orang yang cukup
religius dan dermawan.
Saat upayanya dalam memerangi ketidakkeadilan menemukan
jalan buntu, salah satu reporter membantu untuk menayangkan dan menyebarluarkan
video kesaksian siswa yang menjadi korban kejahatan tersebut. Tentu video itu
menimbulkan banyak protes dan meminta pelaku untuk ditindak sesusai hukum yang
berlaku.
Akan tetapi hukuman para oknum tidak sesuai dengan
harapan, pengadilan hanya memberikan hukuman kurang dari satu tahun dan ada
okum yang dibebaskan karena batas kejahatan mereka telah berakhir (saya enggak terlalu ngerti hukum sih, mohon
dimaklumi).
Hal itu langsung menuai berbagai protes, dan menyulut
kemarahan masyarakat bahkan salah seorang siswa memilih untuk balas dendam
akibat hukuman yang tidak masuk akal tersebut , alasan lainnya karena dia tidak bisa bersaksi karena keluarganya sudah
disuap (mirisnya lagi memang para korban
adalah siswa kurang mampu dan yatim piatu).
Aksi siswa itu dilakukan dengan berupaya menyakiti pelaku
dan ironisnya siswa tersebut juga mendapatkan akibat karena tertabrak kereta
api. Namun dari ekspresinya saat itu, saya merasa bahwa dia bermaksud membela
diri dan belum terima atas kematian adiknya yang juga bunuh diri di rel kereta
api akibat perbuatan pelaku (fyi, adiknya
juga pernah jadi korban dong, sedih banget). Dari ekspresinya sebelum
melakukan aksi nekad itu, seolah-olah dia bilang “enggak apa-apa aku meninggal yang penting dia (pelaku) juga meninggal
meski hukum enggak adil”.
Memang Guru In Ho saat itu tidak bisa berbuat banyak
untuk memerangi ketidakadilan yang dialami siswanya. Namun dari kisah ini
banyak yang mengkritik hukum kasus tersebut sehingga dilakukan penyelidikan
ulang.
Well, memang sih diawal kisah keadilan hanya memihak kepada
yang memiliki kuasa. Akan tetapi perlu diingat kembali bila setiap kekuasaan
itu memiliki hukum vertikal, masih ada kekuasaan di atas kekuasaan. Lantas
hukum vertikal itulah yang sering dilupakan atau sengaja dilupakan oleh
manusia.
Dari kisah Gwanju Inhwa School ini enggak ada yang bisa saya
katakan kecuali marah, miris, prihatin, kejam untuk para oknum. Akan tetapi
saya juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Guru In Ho dan pihak terkait
yang sudah memerangi hal tersebut. Semoga menjadi pembelajaran untuk dunia
kependidikan selanjutnya.
No comments:
Post a Comment