Pertemuan Hujan dan Biola Mayra (Review Novel Ombrofobia karya Ang Setiawan)


Enggak tahu kenapa, hujan itu sering kali disandingkan dengan ingatan, kenangan dan tetek bengek-nya. Bukannya yang sok melankolis sih, hanya saja kehadiran hujan sering kali membuat banyak hal terlintas di kepala. Seolah-olah tuh, hujan membawa berbagai inspirasi, kekalian pernah merasa begitu juga enggak sih?
Ambrofobia
sumber: Guepedia.com

Ketika kehadiran hujan membawa inspirasi dan membuat psikis menjadi sedikit tenang wajarlah yaaa, namun bagaimana bila hujan menjadi salah satu sebab seseorang mengalami fobia?

“Memangnya ada Thor yang fobia pada hujan?”

Selama ini author belum pernah tahu sih secara fakta ada kasus tentang ketakutan berlebihan pada hujan. Akan tetapi setelah baca tentang fobia tidak menuntut kemungkinan bila di belahan negara lain ada yang mengalami hal tersebut. Bisa jadi orang-orang di sekitar kalian, atau malah kekalian sendiri?

Ngobrol masalah fobia nih, ada salah satu novel fiksi karya Anggoro Nur Setiawan yang bercerita tentang fobia berjudul Ombrofobia. Apa itu ombrofobia? Ombrofobia merupakan istilah fobia terhadap hujan. Secara singkatnya nih, novel ini menceritakan seorang gadis berusia 16 tahun bernama Mayra yang mengalami ombrofobia. Jadi, waktu itu ayahnya ingin mengantar Mayra les biola menggunakan sepeda motor namun karena hujan sangat deras si ayah tidak tahu bila ada jalan berlubang hingga membuat biola Mayra terlempar ke parit. Sebagai seorang ayah tentu enggak akan membiarkan anaknya dong yang akan mengambil biola yang terlempar itu? Ketika mencoba mengambil biola terjadilah kecelakaan, si ayah tidak was-was dan terseret arus parit yang saat itu cukup deras dan mengakibatkannya meninggal.

Dari peristiwa itu membuat si Mayra seperti menyalahkan diri terlebih menyalahkan hujan yang membuat ayahnya meninggal. Bahkan bukan hanya menyalahkan, kehadiran hujan malah membuat Mayra memiliki perasaan trauma atau ketakutan berlebihan. Hujan membuat kenangan pahit Mayra menyumbul satu persatu sehingga perasaan bersalah yang dideritanya semakin menumpuk. Suatu ketika dia mendapatkan pesan singkat misterius yang setidaknya membuat luka Mayra sedikit mengering. Siapakah pengirim pesan misterius itu? Lantas dapatkah Mayra kembali menjalani kehidupannya tanpa membenci atau takut kepada hujan?

Well, begitulah kisah Ombrofobia. Ada beberapa catatan author mengenai novel ini, pertama keunggulan: enggak perlu dipungkiri sih sebagai penulis Anggoro cukup piawai dalam mengolah ide ceritanya. Topik tentang hujan memang sudah umum, namun cara mengolah ide hujan menjadi ombrofobia ini yang cukup menarik. Kedua kekurangan: dalam novel ini terdapat kesalahan (error) pada kata depan, kata ulang; pengulangan pendeskripsian suasana dan tokoh. Akan tetapi sebagai penulis pemula ada kekurangan itu wajarlah yaaa... meski begitu enggak ada masalah kok, ceritanya masih bisa dinikmati.

Kemudian apa sih yang bisa author petik dari novel ini? Sebagai manusia kita ibarat miniatur yang tidak bisa memilih berbuat atau bergerak semaunya. Sebagai miniatur kita hanyalah objek–benda yang digunakan untuk menyeimbangkan latar, alur Si Pencipta.  Bukankah sebagai objek alangkah baiknya bila kita berupaya bisa menerima keadaan? Dengan menerima kita akan menyadari bahwa dalam dunia ini ada Sang Pengatur Yang Maha Tahu tentang apa dan hal terbaik apa yang bisa dijalani. Hal terpenting dari menerima adalah tanpa sengaja kita  belajar untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan.



No comments:

Post a Comment