Pepatah Mengatakan Akan Indah Pada Waktunya, Benarkah Demikian?

Ada berbagai macam sifat dan bentuk keinginan kita sebagai manusia. Beratus, berjuta dan beribu kemauan yang kadang bisa melebihi batas kapasitas kemampuan. Kalau saja bisa memahami diri, jiwa dan raga yang berupa tubuh itu mungkin akan berkata, ‘Sudahlah... cari jalan lain, aku sudah tidak kuat mendapat perlakuan ini darimu’; “Mungkin ini bukan keahlianmu’,  meski tidak berterus terang mengucapkan kata menyerah, kalimat-kalimat itu merupakan penembak jitu yang bisa saja membuat seseorang langsung patah arang.

Lantas benarkah kata pepatah bila sesuatu akan indah pada waktunya?

Kisah ini mungkin sebagian cuplikan panjang dari salah satu makhluk yang katanya bernama manusia. Apakah dia sedang mengada-ngada? Tengah bergelutkah dia dengan dunia yang selalu kejam itu?

“Ngomong apa sih Thor? Enggak usah s-o-k deh! Kalau mau nulis ya nulis aja, kalau mau cerita ya cerita aja, panjang benar prolognya! Tapi eh, itu gambar apa Thor?”


Buku Catatan Nostalgia karya Ika H (Hikmatul Ika Fajaryanti)

Seperti yang kekalian lihat, gambar tersebut merupakan cover buku Catatan Nostalgia yang terbit pada Desember tahun lalu. Catatan Nostalgia merupakan buku kumpulan puisi pertama author yang berhasil diterbitkan secara indie tapi melalui proses seleksi.

“Thor, bukannya penerbit indie itu enggak ada seleksi ya?”

Benar. Akan tetapi saat itu pihak penerbit sedang mencari naskah yang akan diterbitkan secara gratis dengan beberapa fasilitasnya dan pihak penulis hanya dikenakan biaya cetak saja. Ingat yaaa... semua tergantung kebijakan dari tiap penerbit. Kekalian tahu sendirilah, sekarang tuh sudah banyak penerbit dan tentunya memiliki ketentuan dan kebijakan masing-masing.

“Tapi hubungannya dengan pepatah itu, apa?”                

Keinginan + sabar+ menulis + sabar + menulis + .... (tak terhingga)= karya

Teteman percaya enggak dengan rumus yang ditulis tersebut?

Wait!... ini hanya berdasarkan pengalaman yaaa... intinya bagi author menulis itu benar-benar melatih sabar yang sesungguhnya. Dari pengalaman menulis sebuah novel pertama (pokoknya nih, novel pertama itu banyak dramanya... sudah menerima banyak penolakan, tata bahasa yang yaaah kalau dibuat tugas Bahasa Indonesia pasti sudah dapat nilai dibawah kkm, hehehe) yang kini menjadi buku kedua dan berhasil pula diterbitkan melalui jalur indie, membuat author menyadari bahwa menulis itu perlu waktu; waktu riset, waktu menulis, waktu menunggu kepastian atau jawaban penerbit, dan paling menguras batin adalah waktu merevisi. (kekalian pernah merasa enggak sih, waktu merevisi adalah bagian terberat dan rasanya ingin menyerah saja?)

Enggak ada yang salah dengan usaha!

Mungkin pernyataan itu terdengar klise, tapi ada juga kok keinginan yang berhasil diwujudkan. Dunia ini punya porsinya masing-masing. Bila teteman mempunyai minat di bidang literasi, salah satu cotohnya ingin sekali mempunyai buku sendiri kini sudah banyak pula caranya. Menerbitkan buku enggak harus ke penerbit mayor kok, untuk langkah awal penerbit indie bisa menjadi salah satu alternatifnya. Kekalian bisa ikut event dan seminar daring yang kini juga mulai menjamur di media sosial. Ingatlah bila pasti ada jalan menuju roma (eh, kalimatnya siapa itu ya?).

Hal terpenting dari semua itu niat. Man Jadda wa Jada sajalah!

Toh, keinginan author saat memutuskan mencintai bidang ini bukan untuk jadi orang terkenal. Selama di dunia kepenulisan tekad author hanya satu; setidaknya sekali dalam seumur hidup bisa menerbitkan buku sendiri. Yaaaa... sesederhana itu, tapi jalannya cukup berliku meski enggak sedrama buku kedua (selain drama entah karena author yang kurang teliti sehingga ada peristiwa tidak menyenangkan terjadi. yaaa... namanya saja media sosial. Next time kisahnya ya?)

Jadi, benarkah bila akan ada sesuatu yang indah pada waktunya?

Selama seseorang menulis, bukannya dia sudah bisa disebut sebagai penulis?

Menulis artikel ini salah satunya? hehehe

 


No comments:

Post a Comment