Anak Semua Bangsa merupakan buku kedua dari tentralogi Pulau Buru. Novel pertama diawali Bumi Manusia. Kekalian mungkin sudah
tidak asing dengan Bumi Manusia yang
tahun lalu sempat pula menjadi perbincangan karena telah dijadikan film dengan
judul serupa; atau ada yang sudah baca novelnya?
Nah, Novel Anak
Semua Bangsa kali ini tetap menyorot lingkar kehidupan Minke setelah
berpisah dari Annelies–sang istri. Masih ingatkan kisah romansa dan lika-liku
keduanya?
“Lupa Thor, sudah lama bacanya”;
“Tahu sih nama tokohnya Thor, tapi enggak paham dengan
ceritanya karena bahasanya atau gaya berceritanya terlalu kaku” atau jawaban
kalian begini:
“Belum baca Thor, hehehe”.
It’s okay! Sebelum membahas Anak
Semua Bangsa, yuk flashback
mengenai Bumi Manusia!
Secara singkatnya Bumi
Manusia bercerita tentang Minke, dia berasal dari keluarga terpandang dan
merupakan siswa H.B.S. yang pandai sekali menulis menggunakan bahasa Belanda
dan sudah banyak diterbitkan di media cetak (tahulah yaaa zaman dulu belum ada
masyarakat pribumi yang bersekolah apalagi berkerabat dengan orang-orang Eropa
juga bisa bahasa Belanda).
Suatu ketika dia bertemu dengan Annelies seorang gadis
keturunan Eropa-Pribumi. Dia anak kedua dari Tuan Mallema dan Nyai Ontosoroh.
Lambat laun Minke dan Annelies merasa kalau keduanya saling tertarik dan
membutuhkan akhirnya mereka menikah.
Konflik ringan dari novel ini yaaa berkaitan bagaimana
cara Minke bisa menikah dengan Annelies. Sebab banyak masyarakat di masa itu
menilai istilah ‘Nyai’ dengan konotasi negatif (mungkin kalau istilah sekarang,
maaf wanita simpanan?). Usut punya usut nih, pernikahan Tuan Mallema dan Nyai
dulu diakibatkan oleh orang tua Nyai yang menjual anaknya ke Tuan Mallema.
Akhirnya menikah namun belum disahkan secara hukum. Nyai sempat meminta untuk
disahkan, tapi Tuan Mallema tidak menggubris; sebab dia masih memiliki keluarga
di Eropa dan istri sahnya yang belum diceraikan. Meski keturunan pribumi dan
mendapatkan perlakuan yang sedemikian itu, Nyai menjadi salah seorang wanita
yang tangguh. Bisa berbahasa belanda, gigih dan pandai bekerja. Kendati dicap
sebagai ‘Nyai’ tapi dia berhasil mengembangkan perusahan Tuan Mallema di
Wonokromo.
Hingga konflik utama pun terjadi setelah meninggalnya
Tuan Mallema. Emmm… kira-kira ada yang tahu, masalah apa yang akan bertubi-tubi
datang pada keluarga Nyai?
Pendapat author sih, konflik utama dari Bumi Manusia adalah masalah warisan
(yang pastinya dibumbui oleh ketidakadilan derajat Eropa dan pribumi). Keluarga
Tuan Mallema menyiapkan berbagai rencana untuk menjatuhkan Nyai. Ada
kemungkinan mereka murka dengan Nyai yang sukses di Wonokromo. Hingga saat
kematian Tuan Mallema yang mendadak itu, membuat masalah berbuntut panjang.
Keluarga Nyai dituntut atas kematian Tuan Mallema. Ada rumor yang menuding bila
ada keterkaitan dengan sang mantu Minke, yang dianggap menikah dengan Annelies
hanya untuk mengambil warisan. Ada juga yang mengatakan bila kematian Tuan
Mallema adalah rencana Nyai untuk menguasai perusahan, dan banyak rumor rumor
lainnya. Masalah ini bukan hanya menyita kesehatan fisik mereka, tapi juga
mental. Apalagi pengadilan saat itu lebih memihak keluarga Eropa.
Ya, keluarga Nyai kalah. boleh jadi kapan saja Nyai
terusir dari perusahaan yang sudah dikelolanya dari nol. Selain mengusut
kematian, dan warisan tuntutan pengadilan mempertanyakan keabsahan perkawinan
Minke dan Annelies yang dianggap tidak sah secara hukum kala itu. Tentu saja
itu hanya akal-akalan beberapa oknum agar dari pihak Nyai tidak sedikitpun
mendapatkan warisan. Namun Nyai sebagai pribumi tidak bisa berbuat apa-apa,
apalagi Minke sang suami meski dia bersekolah di H.B.S. tidak dapat berbuat
banyak. Satu peristiwa tersedihnya adalah keputusan pengadilan yang
mengharuskan Annelies pergi ke Eropa karena dianggap masih ada garis keturunan dari
Tuan Mallema. Akan tetapi yaa, author tidak tahu kenapa mereka perlu membawa
Annelies, toh secara hukum keluarga pihak Eropa sudah menang. Kemungkinan
tujuannya mereka ingin memisahkannya dengan Minke juga sang ibu, kali ya?
Lantas bagaimanakah kelanjutan dari Bumi Manusia? Berikut nih kelanjutannya
di Novel Anak Semua Bangsa.
Emm, sumpah sih baru beberapa lembar sudah dibuat
patah hati. Cukup berat dan sedikit enggak tega ingin menulis sinopsisnya.
Well, di akhir cerita Bumi
Manusia Annelies di kirim ke Eropa saat itu dalam keadaan tidak baik-baik
saja, secara fisik, mental, batin. Begitu pula dengan keadaan Nyai dan Minke
yang mencoba untuk tetap kuat. Nah, setelah keputusan pengadilan itu, Nyai dan
Minke tidak diperkenankan keluar rumah apalagi untuk mengantar kepergian
Annelies ke pelabuhan. Nyai dan Minke benar-benar dijaga ketat, beruntung dapat
meminta seseorang untuk mengawasi Annelies dalam kapal dan tujuan pelayaran
yang sama. Dalam perjalanan ke Eropa seorang utusan selalu berkirim surat
dengan Nyai dan Minke mengenai keadaan Annelies, tapi sayang bukan kabar
gembira melainkan kondisi Annelies yang semakin memburuk. Kabar pahitnya lagi
saat tiba di Eropa Annelies meninggal tanpa mendapatkan pemakaman yang layak.
Mendengar kabar itu Nyai dan Minke cukup terpukul,
tapi dalam keseharian mereka bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Kabar
tersebut tidak disiarkan secara luas, bahkan kepada para pekerja Nyai di rumah.
Tidak perlu ditanya bagaimana murungnya Minke yang mencoba melupakan istrinya,
hingga suatu ketika Nyai mengajak Minke berlibur mencari suasana baru dan
berupaya untuk meninggalkan pekerjaannya. Nyai mengajak Minke ke tempat Sastro
Kassier di Tulangga. Selama berada di Tulangga Minke menemukan banyak inspirasi
untuk tulisannya.
Salah satu tulisannya tentang anak Sastro Kassier yang
memiliki pengalaman seperti Nyai. Surati yang dijual oleh ayahnya karena dia
tidak sanggup menggaji karyawan pabrik akibat intrik (kecurangan) para
penguasa. Meski saat itu Surati menerima tawaran ayahnya, namun dia melawan
dengan cara sendiri. Dia pergi ke daerah selatan (yang saat itu sedang terkena
wabah cacar) berniat membawa penyakit itu kepada penguasa yang membelinya. Lalu
apa kejadian berikutnya? Penguasa itu tertular penyakit yang dibawa Surati dan
meninggal. Setelah itu ayahnya membawa Surati pulang dan syukurlah dia selamat
meski rupanya tidak secantik dahulu.
Selain itu Minke mencoba mengenali masyarakat pribumi,
dari kondisi ekonomi, kebiasaan dan berbagai aspek lainnya. Lagi-lagi dia
menemukan berbagai macam ketidakadilan yang terjadi di tanah air sendiri.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak pabrik kepada petani yang kian tergusur. Petani
yang awalnya memiliki berhektar-hektar tanah, tanpa disadari digerus oleh oknum
tidak bertanggung jawab. Para petani itu kehilangan haknya dan semakin tak
memiliki arah nasib. Bahkan tak tanggung-tanggung kekerasan menjadi jalan akhir
dan awal kesepakatan bagi petani dan penguasa.
Melihat satu fakta itu membuat Minke tergugah dan
berupaya membantu petani untuk mengembalikan hak-hak mereka. Namun dia belum
sadar bila kekuasaan itu mempunyai antek
untuk membereskan pengahambat jalan mereka. Misalkan saja media yang menolak
menerbitkan tulisan Minke (notabene saat itu Minke lebih subjektif kepada
petani), pihak penerbitan mengatakan Minke tidak mempunyai bukti kuat mengenai
masalah ini.Minke yang sudah terlanjur marah langsung merobek naskahnya dan
merasa bersalah karena dia tidak bias membantu para petani yang sudah
ditemuinya tersebut.
Sebenarnya sudah beberapa kali para sahabat Minke dan
Nyai mencoba membujuk Minke menulis dalam bahasa Melayu. Mereka berpendapat
tidak ada gunanya baginya menulis artikel untuk orang-orang Eropa. Sebagai
seorang pribumi yang terpelajar, amat besar harapan bangsa ini pada Minke. Misalnya
masalah ketidakadilan yang kian menjamur ini. Lantas kini dia menyadari bahwa
selama ini meski dia termasuk seorang yang terpelajar, dia buta pada masalah
masyarakat sekitar.
Suatu ketika Nyai mendapat kabar bila Tuan Mallema
(Kakak Tiri Annelies) ingin berkunjung ke rumah. Banyak perspektif yang
bermunculan di kepala Nyai. Bisa saja, kedatangan Kakak Tiri itu untuk mengusir
Nyai atau ingin melihat kemalangan Nyai lainnya? Namun Nyai tidak menyerah
begitu saja, dia membuat perlawanan bersama orang-orang rumah juga sahabat
Minke.
Dalam pertemuan itu semua berbicara – membentuk protes
dan perlawanan tentang apa yang telah terjadi. Nyai, Minke, dan semua orang di
sana mencurahkan semua isi kepala dan batin mereka. Kakak tiri Annelies tak bisa
berkata-kata ketika orang-orang menyudutkannya sebagai pembuat berbagai masalah
di rumah Nyai dan pembunuh Annelies. Meski tidak dengan kekuasaan, Nyai melawan
dengan berbicara. Pertemuan itu membuat semua warga tahu, bila Annelies–kembang
desa di sana telah meninggal dan dibunuh oleh seseorang yang datang ke rumah
Nyai (kakak tiri).
Well, apa pesan yang bisa diambil dari novel ini? Jangan menganggap
bahwa diri kita tahu segalanya. Rendah hatilah dan terus belajar dari siapa
saja, di mana, kapan, apa saja. Derajat bukan satu-satunya kekuasaan, selama
kita masih bisa berpikir kitalah yang memiliki kekuasan itu sendiri; tentu saja
dengan cara yang bijak.
Ada satu hal yang membuat author terharu dari Novel Anak Semua Bangsa ini, yakni
ketika pandangan Minke terhadap pribumi mulai berubah. Saat muncul rasa
nasionalis Minke kepada bumi pertiwi. Seolah-olah tuh, zaman dulu sulit sekali
yaa yakin dan mencoba membuat bangsa ini menjadi lebih baik (dari kerja paksa,
ketimpangan sosial yang cukup lekat, dll); sulit tidak gengsi pada kehidupan serba
Eropa dan mengakui darah pribumi itu sendiri.
Sekian review kali ini, mungkin lain waktu lanjut review
novel tentralogi Pulau Buru selanjutnya.
No comments:
Post a Comment