“Jangan lari!” ujarnya sesekali. Dia terlihat lelah, lusuh setelah kuajak berkeliling pemukiman di tengah hari. Jangan ditanya; terik, asap, debu dan keringat yang bercucuran menjadi satu-satunya riasan kala itu. Namun aku tak peduli–dia akan tetap cantik dengan satu usapan saja.
“Apa?” tuturnya sedikit mengernyit melihat uluran tanganku. “Tidak ada gunanya” tepisnya lalu beranjak mendahuluiku.
“Setidaknya kau terima Rum.” Namun dia tak mengindahkanku dan malah melebarkan langkah kakinya. “Sebagai permintaan maafku!” ucapan itu berhasil membuatnya berhenti meski tanpa bertatapan. Dari lima langkah jaraknya berdiri, mulai terdengar suara lirih dan tubuh Rum mulai terguncang. Dia tak peduli kepada orang-orang yang menatapnya heran, apa lagi padaku yang tak tahu harus berbuat apa? Sebab aku tak ingin kisah ini terulang seperti tiga bulan yang lalu.
“Sejak kapan kau peduli?”
“Apa begini ucapan rindumu Rum?” dia mulai tak acuh dan membelakangiku. Sejujurnya ini adalah pertemuan pertama setelah dua tahun lalu. “Bila terus begini kapan kita bisa bicara?” bujukku sembari menghampirinya menatap ke arah daun jendela. “Rum?” dia tetap bergeming. Tak ada tanda-tanda dia akan menyambutku kembali.
Hampir satu jam aku berada di ruang pengap itu tanpa membuahkan hasil apapun. Rum masih saja tak mengacuhkan aku. Namun beberapa kali perawat mengingatkan untuk segera meninggalkan tempat ini. Jam jenguk sudah berakhir.
“Aku pergi Rum,” sembari meletakkan sekotak benda kesayangannya di meja.
“Jangan kembali.”
“Aku akan datang esok” ucapku sebelum menghilang dari balik pintu.
Keesokan harinya aku tak lagi menemukan Rum di kamarnya. Dia benar-benar memutuskan menghindar dari berbagai hal tentangku. Bahkan sekotak benda kesayangannya yang kubawa kemarin masih berada di tempat yang sama. Sesenti pun tak bergeser dan tak tersentuh.
Hampir satu jam aku menunggu, tapi Rum belum kembali. Aku memutuskan mencarinya di sekitar bangsal dan taman, tapi tetap saja nihil. Bertanya kepada para perawat juga percuma. Entah apa yang dikatakan Rum kepada perawat-perawat itu hingga mereka benar-benar tutup mulut.
“Kamu tak ingin menemuinya, Rum?” seseorang paruh baya berjas putih bertanya lembut. Dari lantai tiga Rum hanya menatap keluar dari bingkai jendela, mengamati punggung laki-laki yang kian menjauh dari tempatnya berdiri.
“Untuk apa ayah?” jawabnya tanpa beralih sedikit pun dari tempatnya berdiri. “Rum, bukan lagi sepatu miliknya” lanjut Rum sembari menarik kelambu, lalu berbalik arah dan duduk di sebelah sang ayah.
Tak banyak yang bisa Rum bicarakan bersama ayahnya. Mereka lebih sering bergeming menatap sekotak benda yang dibawa perawat dari kamarnya. Barang kemarin lusa pemberian laki-laki itu yang kini bertambah secarik kertas bertuliskan; “Esok, kusempatkan untuk datang.”
0 Comments