Lelah Menjadi Dewasa


Sudah dipenghujung tahun, tentu saja tidak bisa dipungkiri bila tahun ini merupakan tahun yang cukup berat untuk dilalui. Dulu, sebelum negara api menyerang pun masih bisa-bisanya manusia berkeluh kesah. Melakukan kegiatan dari pagi hingga sore, dan malamnya masih sempat-sempatnya untuk begadang – tak tahu waktu. 


“Ah! Aku ingin libur panjang,”


“Pokoknya akhir pekan besok, aku mau tidur seharian!” janjinya pada diri sendiri. 


Keadaan normal saat itu, kurasa tidak ada hal ternikmat selain memanjakan diri di atas kasur, kencan dengan gawai atau bercumbu dengan aroma khas buku baru. Sekarang? Sudah tidak perlu ditanya. Berkeluh kesah telah menjadi kebiasaan baru yang sebenarnya cukup menyebalkan.


Apalagi ketika tahu, bila waktu terus berlalu. Begitu pula tahun terus saja menambah usia tuanya dan  manusia tidak bisa memungkiri bila dengan waktu dia terus saja berlomba untuk menunjukkan siapa yang lebih baik dan terdepan. Sayang manusia terlalu perasa, sedangkan waktu selalu bersikap tak acuh pada segala. Akhirnya manusia hanya bisa menimbang, mencerna, merenungkan maksud yang diberikan oleh waktu, tetapi waktu terus saja berlari.


Ah! Aku yakin, semua pernah berada diposisi itu, atau kini sedang melaluinya? Manusia mengatakan itu proses menjadi DE-WA-SA. Entah, apa artinya menjadi dewasa bagi manusia. Jelasnya bagiku sungguh tidak menyenangkan–tidak selalu menyenangkan.


Akupun tahu bila manusia sebagai makhluk hidup yang ada di bumi ini akan terus berkembang; tumbuh. Namun yang tak pernah aku mengerti, mengapa dahulu ingin cepat-cepat menjadi dewasa? 


Seharusnya aku tak membayangkan banyak hal, atau menepis apa saja yang ada dipikiran. Akan tetapi ah! Mana bisa? Manusia itu perasa! 


Hingga sampai akhirnya dalam perjalanan itu aku tersesat, kadang-kadang tersandung dan tergelincir. Pernah pula dilempari perkataan tajam dari makluk spesies aneh di jalan. Apa aku hiraukan? Tentu saja aku tak peduli. 


Memang aku belum sampai ditujuan pemberhentianku. Namun perjalanan ini memberiku sedikit pemahaman untuk belajar dari waktu. Meski masih benci setengah mati karena ia masih saja berlari, mungkin itulah caranya menuntaskan perjalanan. Kurasa manusia dan waktu mempunyai masa jedanya masing-masing. Kemudian kini giliranku. Sayang, belum juga menemukan tempat untuk singgah sejenak.



...


Well, apakah teteman juga sedang memberikan jeda pada perjalanan yang tengah dilalui?

“Enggak perlu jeda-jeda-an Thor, tancap terus!” mungkin salah satu berkata demikian, atau

“Iya Thor, sembari ngecek perbekalan takut ada yang ketinggalan,”

Apapun jawaban teteman, semoga memberikan makna untuk menjadi dewasa itu sendiri. Meski kalau dipikir-pikir belum ada tempat persinggahan untuk seorang yang 'mengaku' dewasa, tapi mengakui ketidakmampuan pun bukanlah kesalahan. 

Post a Comment

0 Comments