Skip to main content

Arti Sebuah Pertemuan

"Ada satu bahagia yang tidak bisa dijelaskan oleh indra manusia," 

"Selamat ya Nia..." mengulurkan tangan sembari tersenyum. Aku sedikit mematung, batin mulai menggerutu; terharu. Eh, Sensei tahu namaku?

Ah! Maklum saja, di sekolah aku bukanlah siswa populer yang bisa dikenal para guru. Aku berpendapat demikian, sebab selama tiga tahun belajar di sini belum sekali pun dipanggil dengan nama yang benar selain kata "mbak". Oh, ada sih Guru Bahasa Indonesia yang entah mengapa hobi sekali menyebut namaku ditiap pembelajarannya. 

"Frasa dari kalimat itu apa Nia?" ; "Nia, berapa klausa pada contoh nomor sekian?"; "Tolong dicatat ya Nia, judul tugas paragraf teman-temanmu. Kalau ada yang sama suruh ganti." Tiap pembelajaran Bahasa Indonesia ada saja yang ditanyakan. 

Satu lagi, Guru Sastra Indonesia yang kalau enggak sengaja papasan selalu menyelipkan pertanyaan, "Nia, mana karyamu?" atau "Nia, bagaimana tadi ujian Sastra Indonesianya, bisa?" Selebihnya guru memanggilku karena membagikan buku tugas atau nilai hasil ujian.

Kukira begitu juga dengan Sensei. Selama belajar Bahasa Jepang, beliau tak berbeda dengan guru lainnya. Namun ketika Sensei menyapaku di depan ruang Wakil Kepala Sekolah kala itu, ada satu hal yang terbesit di kepala menyoal apakah perkiraanku selama ini salah? Bertemu dua kali dalam satu pekan selama tiga tahun, apa iya Sensei tak tahu namaku? Mungkin ingat wajah sih atau dilabeli sebagai anak Bahasa tanpa nama? 

Kenapa baru sekarang Sensei menyebut namaku? Padahal sudah tak banyak kesempatan yang kumiliki di sini? Jika Sensei saja sudah mengucapkan selamat, itu artinya  aku harus pergi, meninggalkan dan menautkan masa putih abu-abuku, lalu merambah ke antah-berantah. 

Akan tetapi mengapa harus saat itu?  Bukankah selama ini banyak kesempatan? Tapi kenapa disaat-saat seperti itu? Mengapa? 

Jika ditelisik lagi, sepertinya aku memang berhak diperlakukan demian. Toh, aku memang jarang bertukar pikiran, apalagi hanya sebatas basa-basi. 

Lantas, apakah aku tengah menyesali pemikiran dangkal tentang Sensei dan semuanya? 

Aku memang tidak tahu arti sebuah pertemuan. Namun dari pertemuan ada satu bahagia yang tidak bisa dijelaskan melalui indra manusia. Satu bahagia yang merupakan pemaknaan dan  kesempatan. Pemaknaanmu saat menyapa dan kesempatan untuk mengenalmu selama tiga tahun di sini. 

Terima kasih Sensei, dalam satu bahagia itu. Aku tak perlu lagi berdalih tentang siapa dirimu. Hanya satu yang kutahu; berpisah denganmu bukan lagi tentang kesedihan. Meski aku belum bisa memperlakukanmu dengan selayaknya. Kau orang baik, begitu mereka berkata. Jadi aku tak perlu khawatir, sebab kau memang orang baik; begitu pula dalam ingatanku.


*Sensei (bahasa Jepang) = guru

Comments