“Bagaimana jika ayah menolak?” batinku mulai menggerutu.
“Sudahlah letakkan saja di sini, lalu kembali ke kamar. Beres” ungkap pikiran.
“Lebih baik menunggu ayah, Bil”
“Ayah sibuk, emangnya kamu mau nunggu berjam-jam sambil mondar-mandir di sini?” sergah pikiran.
Lagi-lagi pikiran dan hati saling menyerang. Apa mereka tak kasihan menjadikan ragaku sebagai tempat pelampiasan jiwa mereka? Bila tenang-tenang saja sih enggak masalah. Namun jika mulai adu argumen seperti sekarang, aku sebagai cangkang harus bagaimana?
Jika dipikir-pikir pendapat pikiran bagus juga. Apa yang akan kukatakan pada ayah saat datang? Aduh! Bukankah akan semakin rumit jika ayah bertanya macam-macam? Akhirnya tanpa persetujuan hati, kuputuskan meletakkan benda itu di sana.
Sayang, entah bagaimana benda itu pagi ini kembali berada di meja belajar kamarku, berjalankah ia? Jelas-jelas kemarin kuletakkan di meja kerja ayah, lantas mengapa benda satu eksemplar ada di sini? Apakah ayah membencinya atau sudah dibacanya? Ah! Bagaimana aku menghadap ayah nanti?
“Tuh ‘kan, aku bilang apa? Kamu lupa Bil, ayah itu enggak akan sembarangan colak-colek barang milik orajng lain. Kamu enggak dengerin sih” ucap batin mulai menyudutkanku.
Bagaimana aku bisa lupa? Mungkin bagi sebagian orang menjaga privasi bukanlah hal yang begitu penting. Namun bagi ayah, memberikan privasi merupakan salah satu sikap kepeduliannya menghargai orang lain. Lantas apa yang bisa kuperbuat?
“Berikan baik-baik pada ayah–bicarakan secara langsung.” tutur batin meyakinkanku, sedangkan pikiran sudah mulai bergeming enggan bersuara. Bila dia mempunyai ekspresi, aku yakin kini wajahnya berkerut dan ditekuk.
Tidak mungkin berhenti begini saja, bukan? Sudah kupersiapkan dengan matang bahkan jauh-jauh hari. Bagi orang lain mungkin ini bukan masalah besar, tapi sebagai orang sepertiku hal ini merupakan medan perang paling rumit dan berbahaya.
“Maju Bil, bicara dengan ayah” batin kembali menyemangati.
Jika ayah menolak lagi? Keduanya tak menanggapi. Aku yakin di alam lain mereka saling pandang dan menertawakan sisi aneh ini.
“No coment” ungkap pikiran yang semakin membuatku gusar.
Nyatanya mediasi dengan hati dan pikiran tak menemukan titik temu. Berbicara bersama malah membuat kepala pening. Bukan hanya itu, rasanya jantungku benar-benar akan meledak. Aku kalap dengan diri sendiri. Namun bila tidak sekarang, akankah tahun depan?
“Yakin tidak akan menyesal? Manusia tidak tahu tentang takdir Tuhan loh” ungkapnya renyah.
Aku kalang kabut mendengarnya. Entah siapa yang tiba-tiba masuk dalam percakapan kami, tapi peryataannya berhasil menggenggam keberanianku untuk mengambil langkah. Ya, kini kuputuskan meletakkannya di meja kerja ayah–lagi.
Comments
Post a Comment