Skip to main content

Jejak Setapak: Tamu Semesta

 

Untukmu, kausa rasa Tamu Semesta.

Sebuah catatan ini kutulis untuk mengabadikan bagaimana hebatnya dirimu. Sebab bisa jadi, keberadaanmu hingga kini merupakan salah satu alasan mengapa lingkungan terasa ASRI. Meski pengaruhnya belum terasa, tapi percayalah ada aku di sini yang akan tetap menemani. Sekaligus sebagai saksi bisunya.


Kau menyadarinya ‘kan, ritual pagimu saat membuka jendela? Kau selalu disambut oksigen yang begitu sejuk, diiringi senandung burung-burung di angkasa atau sebatas memandang dedauan dan reranting basah yang ditinggalkan embun tadi malam. Kau menyadarinya ‘kan, bila saat itu senyummu begitu hangat dan mengembang?

Apalagi ketika kau menatap berbagai pohon yang lengkap dengan hiasan buahnya. Bukan hanya senyum dan tetes peluh, tapi waktu yang kau sisihkan untuk merawat mereka merupakan bahagia yang maha dahsyat. Walaupun sebatas mengamati bulir-bulir yang kemudian tumbuh berkecambah hingga muncul satu dua helai daun, dan kini menjadi pohon yang meregenerasi. Kau tak pernah terlihat kecewa. Seberapapun hasil panen yang didapat, kau dekap selalu dengan rasa syukur. Sebab merawat mereka bukan soal nilai ekonomi, tapi tentang keserasian alam.

Gambar Serai oleh Titik Literasi


Menyoal tentang keserasian alam, aku jadi teringat pada obrolan kita dahulu. Lebih tepatnya debat kusir mengenai siapa yang pantas menyukai warna hijau. Aku yang tak ingin mengalah, selalu mengatakan bahwa akulah yang paling pantas menyukai warna hijau. Akan tetapi, pernyataanmu tak bisa lagi kusanggah. 

“Kamu jangan terlalu percaya diri. Bisa saja nanti dimasamu, tak lagi mengenali warna hijau, tak tahu pohon cemara, pohon mangga, bahkan rumput liar ini.” ujarmu sembari menunjuk rumput liar yang melambai. “Apakah kamu tidak mendengar, kini sudah banyak tersiar kabar dari penjuru timur sampai barat. Semua tentang bencana akibat kerusakan alam.” 

Gambar Pohon oleh Titik Literasi


Sembari menatap bebungaan warna-warni, kau kembali melanjutkan. “Sejujurnya aku khawatir tentang keberadaan hutan dan bumi yang kupijak ini. Masa peradaban sudah dimulai dan hutan-hutan itu lambat laun sudah tersingkir dari habitatnya.” Aku hanya tercenung mendengarmu. Kekhawatiranku pun bermunculan, lantas bagaimana dimasaku 50 tahun kemudian?

“Kamu sendiri pasti tahu, bumi dan seisinya hanya sebagai tempat singgah yang diberikan Tuhan untuk seluruh makhluk terutama manusia. Bukankah manusia harusnya sadar bila mereka hanyalah tamu?” kini mimik mukamu mulai tersirat kesal. 

“Bukankah sebagai tamu harus menjaga apapun yang dimiliki tuan rumah-Nya? Setidaknya sekali dalam persinggahan ini, manusia bisa menghadiahi bingkisan (sebuah pohon untuk kehidupan makhluk lainnya). Jikapun tidak begitu, bertindak saja seperti tamu pada umumnya. Dengan tidak merusak apapun yang dimiliki sang tuan rumah. Apakah tidak bisa? Aku rasa meski hidupmu hanya sebatas persinggahan di bumi, hidup akan terasa lebih bermakna jika saling selaras bukan?”

Itulah salah satu sisi lain dari kau. Seorang tamu bernama manusia yang kini menetap di bumi. Meskipun aku malu mengakuinya, kau memang berbeda. Aku yakin darimu akan muncul harapan untuk masa yang akan datang. Kini bukan hanya aku, tapi mereka – para makhluk hidup hijau; turut seiring denganmu.

“Kau akan tetap melestarikannya bukan, bahkan untuk 50 tahun yang akan datang? Untukku?” ungkapku sembari mengekorimu yang tengah mencabuti rumput liar di area halaman rumah. Namun kau tak menjawab. “Kau tak melupakan peribahasa setapak jangan lalu, setapak jangan surut?” lagi-lagi kau hanya bergeming. “Kau tak akan menyerah begitu saja ‘kan?”

Jikalau kau ingat obrolan kita saat itu, aku berharap kau menjawab pertanyaanku dan semoga kau masih mengakrabi alam semesta ini ya? semoga. 


Salam hangat untukmu.


Dari Aku; Tamu Semesta

Untuk Bumiku, Hutanku dan Keserasian Alam Sehat Lestari.


Lumajang, 22 April 2021


Comments