Kaleng Khong Guan, Bukan Kaleng Biasa! (Review Buku Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo)

Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo akan menjadi ulasan buku puisi kedua di blog ini. Sebelumnya saya pernah mengulas buku sajak karya Tere Liye–Sungguh, Kau Boleh Pergi! Sudah pernah dibaca? 

Meskipun blog sudah dibuat cukup lama, isinya pun mengenai ulasan buku dan karya sastra. Namun mengapa baru mengulas dua buku puisi? 

Harap dimaklumi saja, setiap orang ‘kan mempunyai selera yang berbeda. *mulai cari pembelaan! Sebenarnya menafsirkan puisi enggak semudah itu Ferguso! Menginterpretasikan sebuah puisi ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Enggak seperti prosa yang tiap frasa, klausanya bisa direkam dan dilukis dengan mudah oleh kepala. Setidaknya itu menurut hemat saya sih, adakah yang bersependapat?

*kembali ke topik!

Teteman ada yang tahu enggak, siapa itu Joko Pinurbo? Kalau Sapardi Djoko Damono?

Bisa dikatakan Joko Pinurbo ini sebelas-dua belaslah dengan Sapardi Djoko Damono. Keduanya sama-sama seorang penyair. Bedanya Eyang Sapardi menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan terkesan mellow. Sebaliknya, Joko Pinurbo menggunakan bahasa sehari-hari yang terkesan absurd (dan dalam buku ini saya menemukan beberapa kata khas yang mengarah pada kata umpatan). 

Review Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo

Joko Pinurbo lahir pada 11 Mei 1962 di Sukabumi Jawa Barat. Penyair yang dikenal dengan sebutan Jokpin ini tekun menulis puisi sejak di bangku SMA loh! Tidak heran bila kini ia telah menerbitkan belasan buku puisi.

Dalam eksistensinya di dunia sastra, ia telah memperoleh berbagai penghargaan, seperti: Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001); Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014); South East Asia (SEA) Write Award (2014); dan lainnya. Bahkan nih, karya-karya dari Jokpin telah diterjemahkan dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, Mandarin dan sebagainya.

Lantas apakah Buku Perjamuan Khong Guan?

Perjamuan Khong Guan merupakan buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Buku ini dicetak dan diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 2020, dengan tebal ± 130 halaman. 



Dalam buku tersebut kurang lebih terdiri dari delapan puluh puisi dan dibagi menjadi empat bagian. Empat bagian itu disebut sebagai Kaleng Satu, Kaleng Dua, Kaleng Tiga, dan Kaleng Empat. Tiap kaleng sedikitnya kira-kira terdiri delapan belas puisi dan di Kaleng Empat pada bagian Perjamuan Khong Guan terdiri dari 22 puisi.

Kalau teteman cermati cover bukunya pastilah sudah enggak asing ‘kan dengan kaleng biskuit legendaris Khong Guan? Memangnya siapa sih yang enggak tahu biskuit kalengan itu?

Seperti yang teteman perkirakan, buku kumpulan puisi ini terinspirasi dari gambar (kisah) Khong Guan. Kalau enggak salah dulu sempat menjadi buah bibir di kalangan warganet, tentang keberadaan sang ayah mereka ‘kan? Nah dalam buku puisinya ini, Joko Pinurbo mencoba menjawab keberadaan sang ayah dengan cara yang cukup unik. 

Namanya juga penyair, pastinya Jokpin mempunyai gaya interpretasi dan imaji sendiri untuk menggambarkan ayah dalam Kaleng Khong Guan. Tahu enggak teteman, bagaimana cara Jokpin menginterpretasikan keberadaan ayah dalam puisinya?

Berikut saya tuliskan salah satu puisi dalam Kaleng Keempat.


Puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo


Di kaleng khong guan 

hidup yang keras dan getir 

terasa renyah seperti rengginang.


Berkerudung langit biru, 

ibu yang hatinya kokoh membelah 

dan memotong-motong bulan 

dan memberikannya 

kepada anak-anaknya yang ngowoh. 


Anak-anak gelisah 

sebab ayah mereka 

tak kunjung pulang. 

“Ayahmu dipinjam negera. 

Entah kapan akan dikembalikan,” si ibu menjelaskan. 


Lalu mereka selfi di depan 

meja makan: “Mari kita bahagia.”


Si ayah ternyata sedang ngumpet 

menghabiskan remukan rengginang.


Perjamuan Khong Guan (2020:102-103)


Bukan hanya membahas keberadaan ayah, tapi dengan jenaka sang penyair mencoba menafsirkan ‘pemaknaan’ peran Kaleng Khong Guan pada masyarakat. Salah satu contohnya bagaimana makna kaleng Khong Guan digunakan sebagai simbol kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. Di samping itu, juga sebagai tanda. Seperti yang telah kita ketahui, kalau sudah muncul iklan-iklan di televisi seperti iklan sajadah, sarung, iklan sirop artinya ramadan tidak lama lagi dirayakan. 

Selain itu, saya menemukan beberapa puisi yang mengandung ironi. Ya, sebuah ironi yang merefleksikan peradaban dan perkembangan teknologi masa kini. Dulu (ataupun bisa jadi juga menjadi masa kanak-kanak teteman), lebaran menjadi salah satu momen “mendekatkan diri” atau quality time bersama keluarga besar – bercengkerama dengan nenek, kakek, dan saudara lainnya.

Nyatanya kini kedekatan itu terhalang dengan adanya teknologi bernama gawai. Meski ada saja yang mengatakan teknologi itu serba bisa dan memudahkan dalam berbagai hal, komunikasi jarak jauh misalnya. Namun teknologi tidak bisa mendekatkan satu emosi dengan emosi lainnya. Ya, ini memang pendapat saya. Komunikasi bukan soal tulisan (chatting, japri, mengirim pesan), berbicara (menelepon), gestur (panggilan video), tapi komunikasi itu tentang menyatukan emosi melalui cengkerama satu jiwa dengan jiwa lainnya.

Btw Perjamuan Khong Guan cukup enak dinikmati. Buku ini merupakan karya Jokpin yang pertama saya baca, berhasil mengocok perut dan mengaduk-aduk perasaan (meski dengan keabsurdannya). Awalnya memang saya bertanya-tanya, puisinya kok beda yaa, unik dan mempunyai nyawa sendiri. Sehingga saya teringat dengan perkataan Raditya Dika. “Tidak ada yang benar di dalam seni, yang ada hanyalah apa yang paling membuat kamu nyaman dalam berkarya”. Mungkin memang seperti inilah, cara Jokpin berkarya. Toh, enggak ada yang salah dengan sastra. 


No comments:

Post a Comment