Melangkah di Juli yang Deras


Bulan Juli dan kisahnya–adalah cerita paling komplit yang pernah kuingat dalam hidup. Bukan karena sudah berlalu, tapi ada berbagai hal yang berhasil membawa diri ini melangkah menjadi manusia yang ‘cukup’ berarti. 

Kupikir, sudah waktunya untuk menghela napas. Setidaknya sekali untuk mengucapkan syukur yang tiada terkira. Meskipun belum sepenuhnya pulih, aku menemukan satu titik terang yang paling berkilauan. Bahwa Tuhan itu nyata dan ada.

Melangkah di Juli yang Deras

Bukan, bukannya aku bermaksud tidak menyakini-Nya. Hanya saja, adakalanya aku mempertanyakan keberadaan Tuhan. Adakalanya bergelut dan menyusuri untuk meyakinkan diri yang masih plin-plan. Sebab sebagai manusia; masih saja merasa congkak terhadap Tuhan, padahal apalah dayaku tanpa-Nya? 

Bulan Juli dan kisahnya yang terbungkus rapi walau rumit ini, aku belajar dan bercermin darinya. Dari beberapa waktu yang terlewati, aku baru menyadari banyak hal yang mesti disyukuri. Seperti cuplikan tawa, rentetan sakit, helaan lelah dan dekapan takut. Namun satu hal yang paling membekas; sebuah penerimaan menjadi apa adanya sebagai manusia.

Bodohnya, aku sempat ragu pada diri sendiri. Sempat termakan persepsi yang selalu memojokkan diri. Padahal semua itu hanyalah asumsi. Tidak ada esensi yang melatarbelakangi mengapa berpikiran demikian. Namun ada kemungkinan akibat sudah penat dengan keadaan dunia yang tidak lagi sehat. Tentu saja, aku tidak akan menyalahkan keadaan. Ini hanyalah salah pahamanku dalam membaca situasi dan ketidakmampuan mengakrabinya. Ada kemungkinan aku masih perlu beradaptasi.

Adakalanya pula aku perlu melepaskan. Jika kuingat kembali, banyak hal yang tak perlu bersamaku dalam hidup ini. Seperti halnya ingatan yang seharusnya memang hanya mejadi sebatas kenangan saja. Tidak perlu diotak-atik, biarkan dia menjadi bingkisan antik yang terpatri di tempat asalnya. Dari awal sampai ingatan itu berhenti berputar, biarkan dia tetap hidup. Sebab ingatan, hanya bisa abadi dan terkenang di sana.

Lantas jikapun berkenan, aku tahu bila perlu menerima apa-apa yang ada dan datang. Ya, sebatas menerima bukan malah berniat melupakan. Jika begitu, bukankah sia-sia saja? Aku pernah mendengar entah dari siapa; bila mencoba melupakan maka akan semakin mengingatnya. Jikakalau begitu, bisa jadi menerima adalah satu-satunya obat untuk berdamai dengan segala. 

Setelah itu, bukankah aku bisa kembali membuka kesempatan bagi hal lainnya? Bila urusanku dengan yang sudah lalu selesai, ada langkah yang perlu kuambil untuk perjalanan selanjutnya. Sejujurnya aku tak sungguh-sungguh meminta untuk pulih. Sebab sudahlah, masih banyak hal yang perlu kupahami dari berbagai luka yang belum sembuh ini. Aku pun tak sekadar ingin pulih, sepertinya menyadarkan diri sendiri lebih utama daripada menyalahkan keadaan dari masa lalu.

Dari bulan Juli dan kisahnya–aku berterima kasih, terlebih kepada Tuhan. Aku mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah Kau berikan.


Post a Comment

0 Comments