Hidup Sebagai Dirimu Sendiri (Review Buku Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? Karya Kim Sang Hyun)

Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?–menjadi pertanyaan yang cukup menyeramkan dan mengkhawatirkan. Belum pernah terpikir ada pertanyaan demikian. Sehingga ungkapan Kim Sang Hyun tersebut berhasil memunculkan berbagai tanya dalam diri, mengenai kematian atau jalan hidup seperti apa yang akan saya ambil mulai saat ini?


Review Buku Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? Karya Kim Sang Hyun


Identitas buku

Judul                : Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?

Pengarang       : Kim Sang Hyun

Penerbit          : Penerbit Haru

Cetakan           : VIII, Februari 2022

Tebal               : ±  164 hlm.

Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti? merupakan buku kumpulan catatan Kim Sang Hyun tentang pola pandangnya dalam menyikapi hidup. Dengan kata lain dapat diungkapkan sebagai upaya mencari kehidupan “yang bahagia” sesuai versinya.

Buku bergenre self improvment ini terdiri dari empat bab dengan tema yang berbeda. Tiap  babnya terdapat ± sembilan sampai tiga belas subbab catatan penulis yang nyaris pernah semua orang lalui. Sehingga membaca buku ini seolah mencari cara dalam menyelesaikan konflik dan mengubah cara pandang terhadap hidup, baik pada diri sendiri juga menyikapi orang sekitar.

You know-lah... enggak semua orang yang ada disekitar dengan sungguh mendukung apa yang kita lakukan, pun sebaliknya. Begitu pula seseorang dalam menyikapi masalah. Kadang kala ada yang bersikeras menganggap akan baik-baik saja bila tidak merespon tindak “pelaku”. Sehingga memilih melarikan diri atau diam seperti menjadi satu-satunya cara untuk bisa “terlihat” baik-baik saja.

Dalam tulisannya, Kim berpendapat bila seseorang dapat menggunakan hak-nya dalam membela diri. Jika pada saat itu merasa dirugikan. Toh! pada kenyataannya membela diri bukanlah sebuah dosa, right?

Dari sekian cara pandang Kim, ada satu catatan yang berkesan bagi saya berjudul “Apapun Kata Orang, Aku Harus Hidup Dengan Caraku Sendiri”.  Hidup dengan cara sendiri, bukan berarti hidup semena-mena ya? Hidup dengan caraku sendiri merupakan pilihan untuk tidak banyak dan terlalu memusingkan apa kata orang tentang hidup yang sedang dijalani.

Teteman sendiri tahulah atau mungkin sedang mengalaminya, dalam kehidupan sebagai makhluk bermasyarakat ada-ada saja sikap dari orang sekitar yang kadang terlalu mencampuri urusan orang lain. Ada saja orang yang ingin tahu apa saja yang kita lakukan, beli dan lainnya. Hingga kadang kala tidak menyadari batasan dirinya hanyalah orang lain untuk kita.

Berdasarkan kasus tersebut pun banyak reaksi yang akan timbul, misalkan saja mengikuti arahan orang lain untuk bisa dianggap dalam lingkar perteman dan lingkungan atau berpegang pada tekad walau akan dicap sebagai orang sombong dan tidak peduli sekitar.

Dari dua rekasi itu pun memiliki dampak yang berbeda kepada diri. Jika mengikuti yang pertama, ada kemungkinan bila tidak akan bahagia sebab sebatas ingin diakui oleh orang lain. Sedangkan pilihan kedua, saya kira akan menemukan bentuk bahagia (murni) sesuai dengan porsi yang dimiliki. Sebab mencari rasa bahagia adalah urusan individu (diri sendiri) bukan urusan orang lain, apalagi masyarakat umum.

Berkeinginan bahagia, menjadi apa dan hidup seperti bagaimana merupakan pilihan tiap individu.  Sebab diri sendirilah yang menentukan, yang menjalani dan yang menikmati.

Berupaya untuk bertekad menjadi diri sendiri tentu tidak mudah. Akan tetapi ingatlah ungkapan dari Kim Sang Hyun berikut, bahwasannya sosok dirimu saat ini, tidak dibuat berdasarkan pandangan, penilaian, ataupun kecurigaan orang lain. Kamu dibentuk dari rasa sakit dan air mata yang mengalir karena usaha kerasmu untuk tetap bertahan (2022:44).


So, sampai kapan kamu akan hidup dengan  omongan orang lain? Hidup hanya sekali, tentukanlah pilihanmu untuk hidup sebagai dirimu sendiri.


Yang Tak Patah Arang (Review Novel Almond karya Sohn Won-Pyung)

Apa sih yang terlintas dalam benak Teteman ketika membaca kata “Almond” sebagai judul buku? 

Memangnya adakah hubungan dengan kacang almond atau sebatas pengibaratan saja? 

Btw kalau saya pribadi cukup penasaran sih! Selain muncul berbagai spekulasi tentang judul, melihat cover bukunya pun semakin membuat penasaran. Jadi apa sih relevansinya? 

Almond karya Sohn Won Pyung merupakan novel terjemahan asal Korea Selatan. Sohn Won Pyung selain sebagai penulis novel juga seorang sutradara film dan penulis skenario. Wanita lulusan Universitas Sogang ini telah memenangkan beberapa penghargaan loh! Salah satunya Penghargaan Changbi yang dia dapatkan dari Novel Almond.

Lagi-lagi novel terjemahan, haha. Adakah yang bertanya-tanya tentang hal ini? 

Entah, enggak bisa dijelaskan. Namun yang saya rasa buku-buku karya dari negara gingseng membuat saya tertarik, baik dari segi isi, pesan dan pola pikir orang-orangnya. 

Novel Almond karya Sohn Won-Pyung

Identitas buku

Judul Novel : Almond
Pengarang : Sohn Won-Pyung
Penerbit : PT Grasindo
Cetakan : I, 2019
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : ± + 376 hlm.

Secara singkat Almond karya Sohn Won-Pyung ini bercerita tentang seorang anak yang didiagnosis menderita alexitimia atau ketidakmampuan dalam mengungkap emosi. Dia tidak dapat merasakan dan membaca emosi orang lain sehingga membuatnya kebingungan dan kesulitan dalam merespon emosi.

Sang dokter mengatakan hal ini disebabkan karena almond atau amigdala dalam kepalanya berukuran kecil dan jaringan komunikasi antara sistem limbik otak dan lobus frontal tidak lancar. Akibatnya bila seseorang yang memiliki amigdala berukuran kecil tidak akan merasa takut. Hal inilah yang kerap kali membuat Seon Yoon Jae diejek dan dikucilkan oleh orang sekitar.

Dari penjelasan di atas, ada kemungkinan Teteman bertanya mengapa bisa demikian?

Sejujurnya penyakit yang dialami Yoon Jae diketahui cukup terlambat. Masalah ini baru diketahui ketika Yoon Jae berusia enam tahun, ketika dia tanpa ekspresi dan tidak merasa takut melihat orang mati terbunuh.

Begitu pun ketika dia SD yang tidak merasakan empati ketika temannya terluka akibat tersandung. Dalam kasus ini bisa dikatakan ibu Yoon Jae lalai dalam mengetahui tumbuh kembang anaknya. 

Hal tersebut diperkuat dengan isi buku perawatan anak yang menjelaskan bila bayi dapat tertawa tiga hari setelah dilahirkan, tapi Yoon Jae tidak demikian. Sejak dilahirkan dia tidak tertawa dan sang ibu mengira perkembangan Yoon Jae sedikit terlambat dari bayi pada umumnya. Hingga 100 hari sejak Yoon Jae lahir tidak ada yang berubah.

Mengetahui hal ini tentu sang ibu tidak diam saja. Dia telah memeriksakan Yoon Jae, tapi dokter anak di kompleks rumahnya mengatakan tidak ada masalah serius dan hanya berkata bila sang anak sedang dalam masa pertumbuhan yang sehat. Sebab dari hasil pemeriksaan kesehatan baik  berat, tinggi, juga perkembangan sikap Yoon Jae termasuk dalam rata-rata anak seusianya.

Hingga di usia empat tahun, Yoon Jae masih belum tertawa dan ibunya kembali membawanya ke dokter. Pada pemeriksaan kali ini dokter mendiaknosisnya mengalami alextimia.

Setelah pemeriksaan tersebut, ibu Yoon Jae sering memberinya kacang almond. Dalam kehidupan Yoon Jae kacang almond seolah menjadi kerabat dekatnya, bahkan dia telah memakan beragam jenis kacang almond dari berbagai negara. Tentu saja bukan karena Yoon Jae menyukainya, tapi ibu memberinya dengan dalih supaya kacang almond dalam kepalanya pun segera membesar. Namun nyatanya tahun berlalu dan tidak ada yang berubah.

Mengamati usahanya yang belum membuahkan hasil, membuat ibu tertekan dan merasa bersalah. Sebab dimasa kehamilannya ibu pernah diam-diam merokok dan minum alkohol. Entah, apakah itu berpengaruh dan mengakibatkan hal tersebut. 

Kendati demikian ibu belum menyerah, dengan harapan terakhir dia mengajarkan Yoon Jae bagaimana caranya berinteraksi dengan orang lain. Contohnya memberi tahu Yoon Jae kalau ada orang tertawa dia ikut terseyum, dsb.

Sampai pada akhirnya, Yoon Jae mengalami peristiwa pahit. Saat dia, ibu dan neneknya merayakan hari ulang tahun di luar, ibu dan nenek diserang oleh orang asing dengan membabi buta. Nenek meninggal dan ibu mengalami koma. Sejak peristiwa itu Yoon Jae tinggal sendirian. Dia bertahan hidup dari tatapan aneh orang-orang. Sebab tanpa nenek dan ibunya tidak ada lagi yang bisa memahami keadaannya.

Sama halnya dengan harapan ibu pada kesembuhannya, begitupun Yoon Jae tidak menyerah pada ibu yang koma. Dengan telaten Yoon Jae menjenguk dan merawat sang ibu. Yoon Jae memilih hidup seperti biasanya, pergi ke sekolah dan menjaga toko buku ibu.

Kalau dipikir-pikir, dia tidak benar-benar hidup sendiri. Dalam dunia ini masih banyak orang baik, begitu pun dengan tetangga tempat tinggal baru Yoon Jae. Dia mempunyai teman setia, walaupun dengan perilaku yang selalu membuat onar. Kemudian, dia pun memiliki pujaan hati yang membuat hari-harinya terasa lebih bermakna.

Loh bagaimana bisa, bukannya Yoon Jae tidak bisa merasakan emosi?

Prof. Shim–sang tetangga mengatakan walaupun Yoon Jae dilahirkan dengan amigdala yang kecil, dia harus tetap berusaha dengan menciptakan perasaan palsu. Sehingga dengan sendirinya otaknya akan menganggap bahwa itu merupakan perasaan sebenarnya. Hal tersebut bertujuan merangsang amigdala atau merangsang keaktifannya.

Ngomong-ngomong sepertinya usaha itu berhasil. Saya kira Yoon Jae mulai merasakan emosi, tapi dia masih belum yakin dengan perasaannya. Selain itu, dewasa saya pengalaman hidupnya juga berpengaruh pada tumbuh kembangnya yang kini telah menjadi remaja SMA. Hidup sendiri dengan berbagai masalah, tidak mungkin hanya berpikir begitu-begitu saja ‘kan?

Apalagi waktu itu, dia seperti mempunyai keterikatan dengan Gon. Dia mencoba menolong Gon yang ingin bergabung dengan preman dan ingin meminta maaf padanya. Bahkan dia berusaha menjadi tameng Gon ketika salah satu preman ingin menusuk Gon.

Kemudian satu adegan yang membuat saya berpikir bila Yoon Jae mulai sembuh, ketika dia menatap ibunya yang tersenyum di kursi roda. Yoon Jae pada saat itu tanpa sadar menitihkan air mata. Bukan hanya itu, dia bahkan tertawa.

Well begitulah kisah dari Novel Almond. Bagi saya novel ini berhasil mengaduk-aduk emosi. Geregetan terhadap sikap orang-orang terhadap Yoon Jae dan terharu pada kedekatannya dengan ibu, nenek, Prof. Shim dan Gon. 

Saya benar-benar lega ketika Yoon Jae kembali bertemu dengan sang ibu setelah koma lebih dari sembilan bulan. Mereka bisa berkengkerama dengan mengikat emosi untuk pertama kalinya.

Saya jadi bertanya-tanya, jika saya menjadi Yoon Jae apakah bisa bertahan ditengah “keriuhan” orang-orang itu? 

Dari perjuangan Yoon Jae dan ibu, saya jadi ingat salah satu kalimat ajaib yang selalu saya tekankan pada diri. Kalimat ini saya kutip dari salah satu drama Korea To The Beautiful You yakni “Hanya saat kau tidak menyerah, maka keajaiban akan terjadi.” Sungguh, benar saja kekuatan ibu menjadi energi untuk Yoon Jae.