Contoh Kritik Film “5 cm”

Judul Film       : 5 cm
Sutradara         : Rizal Mantovani
            Rizal Mantovani adalah seorang sutradara Indonesia. Lahir di Jakarta, 12 Agustus 1967. Dia dikenal karena menyutradarai beberapa video klip, dan film layar lebar. Dia berdarah Minangkabau, seorang putra pasangan Mohammad Saleh dan Widji Andarini.
         Dia juga pernah menulis skenario bersama Jose dan  Adi Nugroho yang  berjudul “Jelangkung.” Film berdurasi 102 menit ini diburu penonton dan menjadi film nasional pertama yang menembus pertunjukan sampai 13 kali putar di Pondok Indah Mall.
            Genta adalah seorang pemuda yang percaya dengan impiannya. Seorang yang pekerja keras, juga sangat peduli pada lingkungannya. Genta bisa mengubah persahabatannya dengan tidak biasa. Yang biasanya hanya nongkrong di halaman belakang rumah Arial, diganti dengan sebuah petualangan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
            Film “5cm” membawa pulang empat penghargaan di Festival Film Bandung (FFB) 2013 yang digelar di Lapangan Gasibu Bandung, Sabtu 15 Juni 2013. Kategori penghargaan yang diraih pun begitu bergengsi, yaitu Film Terpuji, Sutradara Terpuji, Penata Editing Terpuji dan Penata Kamera Terpuji.
            Cerita ini berawal dari persahabatan yang hampir menginjak sepuluh tahun. Dan tanpa satu akhir pekan pun mereka lewati untuk berkumpul bersama. Dari kelima sahabat itu yang pertama adalah Arial, dia bertubuh besar, keren, baik, bila bertemu dengan perempuan dia selalu gugup, karena dia belum pernah berpacaran, dan kebiasaannya kalau makan harus tersedia kecap. Kedua Ian, dari kelima persahabatan ini, hanya Ian yang belum menyelesaikan skripsinya. Alasannya dia suka bermain game, tiap hari makan mi instan, dan yang terakhir suka nonton film porno. Ketiga Riani, teman paling cantik di tongkrongan persahabatan ini. Saat ada yang makan indomie, dia pasti akan meminta kuahnya. Keempat Genta, seorang manusia dengan impiannya. Dia percaya dengan kerja keras, karena akan ada saatnya mimpinya menjadi kenyataan. Banyak wanita yang mendekati Genta, tapi hanya ada satu orang yang ada di hatinya. Dan yang terakhir Zafran, manusia yang paling percaya dengan kekuatan impiannya, manusia yang penuh cinta, dia juga orang humanis, idealis, pengejar mimpi. Dan menurut Zafran, puisi, musik adalah keindahan.
            Di tengah gemerlapnya Kota Jakarta, kelima sahabat itu terlihat baru saja keluar dari  kedai selesai makan malam bersama. Mereka langsung masuk ke sebuah mobil berwarna hitam yang tengah terparkir di depan kedai mereka makan. Dan tak lama kemudian, mobil itu melaju ke tempat biasa mereka berkumpul, di mana lagi kalau bukan rumah Arial.
            Halaman belakang rumah Arial adalah tempat biasa mereka mengobrol yang ditemani singkong keju. Dan kebiasaan Zafran yang sambil memetik gitar matanya terus memandangi jendela kamar Arinda–adik Arial yang lampunya sudah tak bercahaya. Ketika Arial melihat mata Zafran yang penuh harap itu, dia berkata kalau sekarang Arinda pasti sudah tidur. Namun Zafran berdalih bahwa belum tentu Arinda tidur meskipun kamarnya sudah gelap, dia yakin pasti Arinda dapat mendengar suara petikan dari gitarnya.
            Suasana menjadi hening sejenak, sebelum Genta bersuara. Genta bilang mempunyai mimpi, mimpinya adalah mereka akan tetap bersahabat dan akan masih berkumpul meski sudah berkeluarga. Dan sejurus kemudian, dia membenarkan posisi tempat duduknya sembari menatap keempat temannya saat dia mengusulkan kepada mereka, untuk tidak bertemu dalam beberapa bulan. Usulan itu langsung dibantah Riani, namun Zafran, Arial apalagi Ian setuju dengan usulan itu. Alasan Ian adalah dia ingin menyelesaikan skripsinya, sedangkan sisanya–mereka ingin mengejar mimpi yang belum selesai, dan mencari mimpi-mimpi yang lain. Setelah mendengarkan alasan dari teman-temannya, akhirnya Riani juga setuju. Dan dalam tiga bulan ke depan, mereka tidak boleh berkomunikasi lewat apa pun sampai tanggal 14 Agustus.
Satu bulan kemudian
            Seperti keinginan Ian sebelumnya, dia sedang giat-giatnya mengerjakan skripsi. Ian langsung menemui Pak Sukanto Legowo setelah menyelesaikan bab dua selama empat hari. Ternyata Pak Sukanto tak banyak berkomentar, dia langsung menyuruh Ian untuk mencari data dan membuat kuisioner penelitian, karena menurut Pak Sukanto ini bagian yang paling berat.
            Ternyata benar kata Pak Sukanto, direksi kantor yang mau diteliti Ian tiba-tiba tidak mengizinkan kuisionernya, padahal sudah hampir terisi semua. Ian hanya bisa pasrah saat bertemu dengan Pak Sukanto keesokan harinya. Syukurlah, Pak Sukanto memberi saran untuk meneliti perusahaan yang tak jauh dari kampusnya. Namun sayangnya, lagi-lagi Ian gagal. Perusahaan itu sama sekali tidak mengisi kuisionernya dan hanya terkatung selama seminggu di dalam kolong meja resepsionis. Kali ini Ian sangat putus asa, hampir saja dia memencet nomor ponsel Genta dan Zafran untuk meminta bantuan, dan sampai-sampai dia tidak menghiraukan seseorang yang meminta bantuan kepadanya. Dengan perasaan yang masih sama, akhirnya Ian memutuskan membantu orang itu yang ternyata seorang HRD yang juga sedang mencari penelitian tentang SDM seperti Ian. Walhasil, keduanya pun saling bekerja sama.
            Lain cerita dari Zafran dan Arial yang masih berusaha mengejar mimpinya. Zafran berusaha mendekati Arinda yang masih bersikap datar, sedangkan  Arial berusaha mendekati Indi yang sering mengajaknya kenalan tiap di tempat fitness. Sedangkan Genta dan Riani, keduanya sibuk dengan pekerjaan di perusahaan.
            14 Agustus telah tiba, mereka bertemu di Stasiun Pasar Senin pukul dua siang. Di tengah kegembiraan mereka di kereta, dengan sengaja Ian menjatuhkan sepucuk kertas yang berisi surat sidang skripsinya yang dia dapat dari Pak Kanto setelah bertemu HRD waktu lalu. Dengan gembira, mereka mengucapkan selamat kepada Ian, saking senangnya sampai-sampai Arial menghamburkan makanan ringan ke arah Ian, dan anggota baru mereka–Arinda hanya tersenyum melihat kebahagiaannya.
            Setelah sehari semalam berada dalam kereta, dan sehari mereka menaiki jip. Akhirnya mereka sampai di Ranu Pane pada malam hari. Mereka mendirikan tenda di sekitar Ranu Pane, dan keesokan harinya mereka telah siap mendaki puncak tertinggi di Jawa, Mahameru.
            Seperti yang dialami para pendaki pada umumnya, mereka mengalami banyak rintangan. Dengan jalan setapak yang tidak selalu mulus, membuat tungkai kaki kanan Zafran berdarah. Mereka juga kehabisan perbekalan, pendakian yang semakin mendekati Puncak Mahameru pun membuat mereka kesulitan bernapas. Ketika mereka kembali mendaki pada jam dua malam setelah mengisi energi di Arcopodo, tiba-tiba Arial menggigil yang membuat semua sahabatnya panik tak terkecuali Arinda, adiknya. Namun, karena semangat dan kekuatan persahabatan mereka, mereka berhasil mendaki, dengan memandang terbitnya matahari 17 Agustus, juga mengibarkan sang merah putih di Puncak Mahameru.
            Film “5cm” bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, mengajarkan kepada kita untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi. Dalam kutipan filmnya saat mereka berusaha mendaki Puncak Mahameru, meski harus mempertaruhkan nyawa untuk mengibarkan bendera merah putih di puncak tertingi di Jawa.
            Saat mereka dalam perjalanan menuju Malang, ketika itu Ian sengaja menjatuhkan sepucuk kertas yang berisi surat sidang skripsinya, yang membuat mereka mengucapkan selamat kepada Ian, namun saking senangnya membuat Arial menghamburkan makanan ringan ke arah Ian. Tetapi seharusnya, meluapkan rasa senang tidak harus menghamburkan makanan, tapi mengucapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
            Selain “5cm”, Assalamualaikum Beijing saat ini juga sudah menjadi tema film yang digemari. Film ini bercerita tentang kesabaran, keyakinan, ketulusan juga kesetiaan.


Contoh Paragraf Analogi “ Orang tua dengan Rumah”

Orang tua dapat diibaratkan dengan sebuah rumah. Rumah adalah tempat kita bernaung dari teriknya mentari dan hujan. Sedangkan orang tua adalah pelindung anak-anaknya dari badai kehidupan. Rumah yang dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh akan menciptakan kedamaian, begitu pula dengan orang tua yang bijaksana akan membuat kita merasakan ketenangan. Jadi, orang tua yang bijaksana sama halnya dengan rumah dengan tiang-tiang yang kokoh.


Resensi Novel Aku Sadar, Aku Gila karya Bahril hidayat Lubis


Identitas Buku :

Judul Novel                 : Aku Sadar, Aku Gila

Pengarang                   : Bahril Hidayat Lubis

Penerbit                       : Zikrul Hakim

Cetakan                       : I, Mei 2007

Tempat Terbit              : Jakarta Timur

Tebal                           : 160



Kepengarangan:

Penulis bernama lengkap Bahril Hidayat Lubis. Lahir dan dibesarkan di Pekanbaru, Riau pada 5 Mei 1979. Ia pun telah menamatkan studi S1 di jurusan Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Penulis aktif di dunia menulis dan akademik. Ia pernah meraih Peringkat Terbaik I Lomba Menulis Artikel Islam Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh L-Data Jakarta (2002), Terbaik I Mahasiswa Berprestasi dalam Psikologi UII Award Bidang Publikasi dan Komunikasi (2002), dan penghargaan lainnya. Penulis juga pernah menjadi konselor anak jalanan perempuan yang rentan (2001-2002) pada salah satu LSM di Yogyakarta.

Pada tahun 2001 menulis buku tentang Dialektika Psikologi dan Pandangan Islam yang diterbitkan tahun 2002 oleh UNRI Press. Di awal 2006, ia menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Saatnya “Aku” Tak Lagi Ada diterbitkan oleh Alenia, Yogyakarta. Kemudian Penerbit Fahima Yogyakarta menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Cinta di Atas Cinta pada April 2006.

Penulis juga aktif di keanggotaan Asosiasi Psikologi Islam (API) sebagai Anggota Biasa ( 2003-sekarang) yang berpusat di Yogyakarta dan pernah mengajar di Fakultas Psikologi UIN Suska Pekanbaru (2004-2005). Pada September 2005, ia merumuskan dan mempresentasikan Teknik Terapi Identifikasi di Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami di Yogyakarta, sebuah pendekatan psikoterapi yang disusun berdasarkan pengalamannya dalam menundukkan keganasan psikosis.

 

 Sinopsis:

Bahril Hidayat adalah seorang yang terbilang pintar, disaat dia berusia 12 tahun, dia berhasil mendapatkan NEM tertinggi bahkan ia menjadi juara umum waktu kelas enam di SDN 011 Pekanbaru, Riau 1991.

Waktu semakin berputar, dan Bahril kini tengah duduk di bangku SMA. Memang Allah telah menganugerahkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara baik dan mapan kepada Bahril. Tetapi penyebabnya hanya satu , dia menyalah gunakan narkoba dan minuman keras pada masa remajanya.

Semua itu berawal dari kebiasaannya yang menghirup bensin dan lem selama SD hingga SMP, yang membuat kenakalannya semakin meningkat. dia mulai mengenal minuman keras, dan masa SMA adalah masa kejayaan menurutnya.

Setelah lulus SMA, berangkatlah dia ke Yogyakarta. Dua malam Bahril menginap di hotel, akhirnya dia menemukan satu rumah kos yang berjarak 500 meter dari kampus Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Namun, kebiasaan Bahril masih belum dia tinggalkan, malahan sekarang lebih parah lagi. Rumah kos-kosan yang sering disebut green house karena bercat hijau ini, ternyata berpenghuni Mahasiswa yang sudah mengenal narkoba, tak ayal ini juga mempengaruhinya. Selain Bahril mengonsumsi narkoba, dia juga sering bermain judi hingga memiliki hutang tujuh juta rupiah kepada teman satu kosnya. Dan tanpa disadari, kebiasaannya ini sampai ke telinga orang tuanya. Tak mau pikir panjang lagi, orang tuanya langsung menarik Bahril kembali ke Riau.

Beberapa hari kemudian, akhirnya Bahril mendapatkan kesempatan kedua dari orang tuanya. Keesokan harinya, berangkatlah lagi dia ke Yogyakarta. Namun dia kembali melakukan kesalahan besar, dia kembali ke lingkungan yang lama. Di lain sisi hati kecilnya berkata bahwa dia harus berubah, dengan berpegang pada tekadnya, dia menelepon Haekal temannya dan meminta izin untuk pindah dari green house dan ingin tinggal bersamanya. Dan syukurlah, Haekal memberinya izin untuk tinggal bersama. Tapi meskipun Bahril tinggal bersama Haekal, dia masih mengonsumsi bir. Memang dia sudah berhenti berjudi dan meminum alkohol berkadar tinggi, tapi bir tetaplah minuman yang memabukkan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Haekal tentu mengetahui hal itu, dia hanya bisa bersabar dan selalu menasihatinya dengan mengajaknya ke pengajian-pengajian.

Perkembangan Bahril semakin pesat. Bahkan Bahril sempat mendengar isu bahwa di kalangan dosen dia mendapat gelar “Mahasiswa Ajaib”. Nilai-nilainya yang dulu turun, kini sedikitdemi sedikit meningkat. Bahkan dia berhasil memenangkan lomba menulis artikel Islami, dan satu lagi-dia terpilih menjadi Pemenang Mahasiswa Teladan di Bidang Publikasi dan Psikologi UII Award 2002.

Setelah semua itu berlalu, ternyata nasib baik tak selalu berpihak pada Bahril. Dia dihadapkan pada suatu masalah yang pelik, dia sering bermimpi aneh dan membuat tenggorokkannya begitu terasa kering. Dan untuk menghadapi masalah ini, Bahril kembali memasuki dunia alkohol yang menjadi pelariannya.

Hari-hari terus berlanjut, waktu itu Bahril terlihat bersusah payah berjalan ke kamar mandi, tapi tubuhnya langsung terjerembab di lantai dengan kepala yang berdenyut dan membuatnya muntah-muntah. Dia memanggil temannya Sahar untuk segera membantunya, saat Sahar mengetahui kondisi Bahril yang lemah itu, dia langsung membawanya ke rumah sakit.

Empat hari kemudian, datanglah orang tua Bahril dari Riau setelah mendapat kabar Bahril sedang sakit. Saat menemui dokter yang merawatnya, kedua orang tua Bahril terkejut saat dokter itu mengatakan bahwa penyakit Bahril di luar wilayah kemampuan medisnya, dokter itu menyarankan agar membawa Bahril ke psikiater, karena selama tiga hari Bahril dirawat di rumah sakit, dia selalu mengigau, berteriak, bahkan dia berkata telah melihat hal yang bukan-bukan. Malam kedua dia dirawat di rumah sakit, perawat melaporkan bahwa dia mengamuk dan marah-marah, namun jika ditanya dia mengaku tidak ingat. Sedangkan setelah dia dibawa ke psikiater, Bahril divonis mengalami masalah kejiwaan berat. Dan pada pertengahan bulan September 2002, Bahril mengalami halusinasinya yang pertama. Halusinasi itu berupa suara perintah untuk bunuh diri, dan hal ini berlangsung kurang lebih satu tahun.

Di salah satu hari Jumat bulan Juni 2004, Bahril mengikuti salat fardu Jumat di Masjid Al-Muqarrabin. Saat salat Jumat tiba, Bahril berdiri dan salat pada saf pertama di sebelah kanan imam. Tibalah pada bacaan rakaat pertama, imam membaca surat Ar-rahman. Namun entah mengapa, sampai pada ayat ke-13, Bahril merasa ada sesuatu yang memukul dadanya sangat keras. Bahril terkejut dan gemetar, begitu pula pada ayat ke-18 dan 21. Bahril menangis dan bertambah gemetar sehebat-hebatnya, karena dia merasa pertanyaan itu ditujukan padanya. Hanya badan yang melaksanakan gerakkan salat, namun hatinya tak mampu membaca bacaan salat.

Allahu Akbar. Setelah peristiwa itu, kesadaran beragama Bahril pun beransur-ansur pulih, begitu pula dengan kesadaran mental dan psikologinya.

Buku ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja dan dewasa. Namun ada beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah, sehingga sedikit menyulitkan pembaca untuk menafsirkan cerita. Di dalam buku ini penulis berusaha mengajak pembaca agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Dan juga, penulis mengajak kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya.