Nilai Religiusitas dalam Puisi Abdul Hadi-Tuhan Kita Begitu Dekat

1.      Abdul M.W - Tuhan, Kita Begitu Dekat

Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti kain dengan kapas
Aku kapas dalam kainmu
Tuhan
Kita begitu dekat
Seperti angin dengan arahnya
Kita begitu dekat
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu
Abdul Hadi WM adalah seorang sastrawan, budawayan dan ahli filsafat Indonesia. Ia dikenal melalui karya-karyanya yang bernafaskan sufistik, penelitian-penelitiannya dalam bidang kesusastraan Melayu Nusantara dan pandangan-pandangannya tentang Islam dan pluralisme. 
Hadi merupakan keturunan dari saudagar Tionghoa yang hijrah dan menetap di Sumenep. Ayahnya, K. Abu Muthar, adalah seorang saudagar dan guru bahasa Jerman. Sementara ibunya, R. A. Martiya adalah putri keraton Solo. Anak sulung dari empat bersaudara ini sudah mengenal bacaan berat dari pemikir-pemikir seperti Plato, Sokrates, Imam Ghazali, Rabindranath Tagore, dan Muhammad Iqbal sejak ia kecil. 
Dalam puisinya yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” menyatakan bahwa ia dekat dengan Tuhan. Salah satu kutipannya pada larik ketiga dan keempat.

Sebagai api dengan panas
Aku panas dalam apimu

Pada bait di atas menunjukkan hubungan perbandingan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Dengan begitu dapat diartikan bahwa manusia adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan dari Tuhan sebagai pemilik kehidupan.

Dari kedua larik di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasannya puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi ini termasuk ke dalam sastra profetik yang sufistik, yaki ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlak, membangun dhahir dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.

Nilai Religiusitas dalam Puisi Ainun Najib-Ikrar

1.      Ainun Najib - Ikrar

Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu
Kuambil siakp, total dan tuntas
Maka getaranku
Adalah getaran-Mu
Lenyap segala dimensi
Baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia
Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
Tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu
Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
Menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
Tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku
Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara.  Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Dalam pertemuan-pertemuan sosial tersebut ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Dalam salah satu karya puisinya, yang berjudul “Ikrar” mempunyai makna bahwa semua yang terjadi di dunia ini semata-mata karena Sang Pencipta. Apa yang dianggap milik kita, sebenarnya semua itu hanya titipan semata, dan tentunya semua kembali milik Tuhan. Bahkan perasaan dalam emosi juga bukan milik kita. Dan kembalilah kepada Tuhan untuk mengatasi pikiran dan emosi. Dengan saling mendekatkan diri dalam menggapai kebahagiaan. Namun jangan menjauhkan diri dari Tuhan supaya tidak menyebabkan noda yang berarti hal yang tidak baik.
Dalam puisi di atas dapat dikatakan adalah proses manusia dalam beribadah terhadap Tuhan. Hal-hal demikian tentu dapat kita temui di kehidupan sehari-hari, dengan begitu dapat disimpulkan kalau puisi “Ikrar” karya Ainun Najib ini termasuk dalam sastra profetik yang transendental.