Akibat Hujan Semalam


----

"Aku tidak ingin mengutukmu. Sudahlah jika kau ingin pergi, pergilah yang jauh!"

Selalu terdiam, setelah menyupah serapahi sendiri. Bukan! Aku tidak sedang berbicara denganmu, apalagi dengan dia yang sudah membawa lari kenangan itu.

Aku berbicara padaku, dan aku menjadi lawan bicaraku. Bukan kau yang mendengarku, tapi aku yang mendengar sendiri.

Di saat senyap, aku mengusik ketenangan tiada henti. Seperti berjalan di gurun tandus, aku berjalan bukan denganmu namun sendiri. Bahkan aku tertawa bukan bersamamu tetapi sendiri.

Jika kau ingin pergi, pergilah yang jauh. Karena aku akan pergi sendiri.

----

LMJ.3.8.18

Ketika Tere Liye Meremaja part 1 (Review Novel Ceros dan Batozar karya Tere Liye)



Ceros dan Batazor –adalah novel seri ke-4,5 dari Novel Bumi, Bulan, Bintang, dan Matahari. Novel bergenre remaja ini bercerita tentang petuangan tiga sahabat di dunia paralel. Kisah petualang Raib–seorang putri dari klan bulan, Seli dari klan matahri dan Ali–Si jenius dari klan bumi.

Review Ceroz dan Batozar karya Tere Liye

Untuk review kali ini akan menjadi dua bagian yaaa.. pertama review Ceros dan kedua review Batozar. Karena dalam buku ceritanya juga dipisah meskipun setiap cerita saling berkaitan. Okay!

Berbeda dari novel-novel sebelumnya, kisah petualangan ketiga sahabat ini, tidak di klan bulan, bintang atau matahari, melainkan mereka berpetualang di tempat selama ini dibesarkan yakni di klan bumi.

Kisah Ceros–berawal dari study tour sekolah ke salah satu situs kuno peninggalan bersejarah. Sebuah bangunan yang didirikan pada awal-awal masehi sekitar dua ribu tahun yang lalu. Saat melakukan study tour–Ali yang memang tidak menyukai sejarah dia lebih tertarik dengan penemuan barunya dan memilih berpisah dengan rombongan teman-temannya. Raib dan Seli yang mengetahui Ali sedang memisahkan diri, langsung menghampiri Ali yang sedang memperhatikan sensor yang dibuatnya untuk menangkap aktivitas dunia paralel. Sensor itu berdesing kencang berskala 10, itu artinya kekuatannya dua kali hebat dari Tamus atau Robot Z dari klan matahari.

Ketiga sahabat itu tentu saja mulai dirundung rasa penasaran dan khawatir. Bagaimana mungkin di klan bumi ada aktivitas dunia paralel? Bukannya Av melarang keras adanya aktivitas tersebut, kecuali ada kondisi terdesak? Namun anehnya, mengapa sensor itu mengarah pada bangunan setengah bola dan berada jauh di bawah lapisan bumi sana? Mereka juga khawatir bahwa sensor kuat itu berasal dari si Tanpa Mahkota yang berhasil bebas dari penjara Bayangan di Bawah Bayangan. Mereka khawatir tiba-tiba si Tanpa Mahkota muncul dan menyerang di tengah keramaian dan ditonton turis juga ribuan orang. Sehingga tak perlu berpikir dua kali, Ali–si anak jenius dengan rasa ingin tahunya yang besar langsung mengajak kedua sahabatnya untuk melihat secara jelas, apa yang sebenarnya ada di dalam bangunan setengah bola itu.

Ternyata di dalam bangunan setengah bola itu merupakan tempat yang menajubkan. Saat itu mereka tiba diwaktu senja. Sebuah sunset paling menajubkan di dunia paralel. Akan tetapi, kekaguman itu tidak bertahan lama. Setelah matahari benar-benar tenggelam. Muncullah dua ekor badak raksasa (lebih tepatnya manusia berkepala badak) yang berupaya menyerang ILY– kapsul perak yang sudah menemani ketiga sahabat itu berpetualang. Kedua badak itu bukan badak biasa, melainkan mereka bisa menguasai semua teknik pertarung dunia paralel, seperti teleportasi, pukulan berdentum, teknik kinetik, sambaran petir, dan yang lebih mengejutkan lagi mereka mempunyai tongkat perak mirip milik Faar dalam versi yang lebih kuat dan besar.

Dengan kekuatan yang dimiliki oleh dua badak raksasa itu, tentu saja mereka kualahan. Bukan hanya itu, mereka sudah putus asa tinggal menunggu nasib saja nanti bagaimana. Namun beruntungnya, di detik-detik terakhir badak akan menyerang matahari muncul  dan membuat badak itu lenyap entah karena apa.

Setelah waktu berselang, datanglah dua pemuda dan memberikan pertolongan kepada Raib, Seli dan Ali. Kedua pemuda itu berasal dari Klan Aldebaran dan sudah mengunci diri di dalam perut bumi selama beberapa abad. Siapa dinyana, ternyata kedua pemuda itu adalah ceroz atau badak raksasa yang menjelma di malam hari akibat benda pusaka mereka diambil oleh si Tanpa Mahkota pada abad lalu. Itulah mengapa, Raib dan kawan-kawan bisa masuk ke dalam perut bumi namun tidak bisa kembali. Kedua pemuda itu sudah mengunci wilayah itu, supaya ketika menjelma menjadi badak raksasa mereka tidak keluar dan membinasakan warga bumi.

Ada satu hal yang mengharukan dalam cerita ceroz ini, yakni ketika Ali berupaya memberikan sarung tangan kepada kedua pemuda itu. Sarung tangan sakti yang diberikan Av adalah benda milik mereka berdua, dan dengan kedua sarung tangan itu mereka bisa mengontrol diri agar tidak menjadi badak raksasa yang buas. Akan tetapi, apabila Ali mengembalikan sarung tangan itu Ali lah yang harus tinggal di dalam perut bumi. Karena tanpa sarung tangan itu, Ali tidak bisa keluar begitu pun bila sarung tangan Raib dan Seli berpindah tangan.

Saat itu Ali memutuskan untuk memberikan kedua sarung tangan kepada dua pemuda itu, dan menyuruh Raib dan Seli kembali ke permukaan bumi. Mendengar hal itu, tentu Raib dan Seli menolak. Mereka sudah pergi bersama dan seharusnya pulang pun bersama. Namun di detik-detik terakhir mereka, kedua pemuda itu memilih untuk memberikan sarung tangan itu kepada Ali, membiarkan mereka pulang ke permukaan dengan selamat.

Sampai Kapan Diskriminasi di Sekolah Terus Berlangsung?

Sekolah adalah sebuah lembaga yang berupaya membangun pola pikir anak menjadi lebih baik dan terarah. Sebuah tempat belajar yang bersifat formal dengan beragam sarana dan prasarana sebagai penyalur pengetahuan. Sebagai tempat orang-orang terdidik dan cendekia, akan tetapi mengapa diskriminasi masih merajalela?

Salahkah pola pikir guru? Atau begitu ‘biadab’ dan bebalkah siswa sehingga diperlakukan sedemikian rupa?

‘Jangan sok tahu, baru dua bulan magang saja jadi sok keminter’

Mungkin akan ada yang berkomentar demikian. Memang, tahu apa saya tentang pendidikan? Tahu apa saya tentang kondisi sekolah? Tahu apa saya dengan keadaaan siswa? Sungguh, saya bukan orang yang paham mengenai semua itu. Lantas, mengapa berlagak seperti orang yang sudah bertahun-tahun mengajar atau berkecimpung di dunia pendidikan? Mengapa berlagak sebagai guru padahal masih amatiran dan abal-abal?

Mungkin ini hanya opini terhadap situasi siswa. Bisa pula luapan yang mulai menjadi keresahan saya selama ini. Tentang sebuah pendidikan yang mendidik, mengayomi siswa tanpa pandang bulu–dan begitulah seharusnya bukan?

Namun, mengapa diskriminasi masih bermunculan di tempat suci ini?

Siswa X : “Ada guru IPS Bu?” celetuk salah satu siswa, ketika saya berjalan menuju
                  perpustakaan sekolah.
Saya       : “Coba kamu lihat di tempat guru piket sepertinya tadi ada Guru PPL IPS,
                  atau kamu bisa cari ke aula atas”
Siswa X : “Malu Bu, Ibu saja yang masuk kelas saya”
Saya       : “Kok bisa, saya bukan Guru IPS. Kamu kelas berapa?”
Siswa X : “Masak Bu Guru sudah lupa? Padahal dulu Ibu kan pernah masuk kelas saya”
   protesnya yang membuat saya protes pula dalam hati, Memangnya saya bisa
   menghafal nama seluruh siswa dan kelasnya selama beberapa minggu di sini?
Saya       : “Ya sudah, ayo ikut saya ke perpus siapa tahu ada salah satu Guru IPS di sana.”
    tutur saya berupaya melapangkan hatinya.

Saat itu mungkin bukan hari keberuntungan Siswa X. Dengan niat untuk mencari Guru IPS, dia mulai menumpahkan unek-uneknya selama menjadi siswa, mulai bercerita tentang kondisi dan bagaimana teman-temannya di kelas. Semua tetek bengek, bahkan bagaimana perlakuan guru terhadap kelasnya, dengan leluasa dia ceritakan kepada saya dan teman PPL yang ada.

“Ah! Jadi begini” satu kalimat ambigu yang saya rasakan setelah terjun sebagai pendidik yang masih amatiran. Mendengarkan cerita suka rela dari salah satu siswa, membuat kenangan saya muncul dari beberapa tahun sebelumnya. Meski bukan cerita menyenangkan, tapi itu sebuah hadiah terindah yang pernah saya dapatkan.

Teman PPL  : “Katanya memang kelas mereka itu super, Bu dan bla... bla... bla...”

Mendengarkan obrolan itu membuat saya tertawa dalam hati. Bukan karena saya meremehkan anak-anak, tapi saya sungguh tidak setuju dengan kata ‘katanya’ yang diucapkan.

Ya! Saya tidak perlu gundah apalagi memusingkan kata ‘katanya’. Saya kadang merasa beruntung tidak perlu merepotkan apa yang orang lain bicarakan tentang saya. Bukannya tidak bisa menerima kritikkan dari orang lain, saya hanya memilah mana yang memang pantas dan baik dilakukan. Begitu pula pemecahan dalam kasus ini.

Seperti dalam percakapan saya dengan Siswa X, bahwa saya pernah masuk kelas mereka. It’s fine. Mereka siswa dan saya sebagai guru piket pada saat itu. Hal yang mencengangkan adalah, kelas mereka normal tidak seperti yang diceritakan oleh sumber ‘katanya-katanya’. Mereka mendengarkan apa yang saya katakan, melakukan apa yang saya arahkan, adab juga baik. Tidak ada hal aneh yang terjadi selama dua jam mata pelajaran yang saya isi waktu itu. Akan tetapi entah karena mereka masih takut kepada saya (takut kepada orang baru yang hadir di hari-hari mereka) atau memang seperti itu keadaannya, saya belum menemukan alasan yang pasti. Namun yang terpenting, anak-anak itu jauh dari yang mereka bicarakan sebelumnya.

Siswa X : “Tapi kan enggak semuanya begitu Bu” ucapnya sembari membela diri bahwa dia
    dan teman-temannya tidak seperti yang diceritakan.

Ya! Itu juga menjadi pembelaan pribadi waktu sekolah dulu. ‘enggak semuanya begitu’ adalah sebuah frasa yang tidak pernah menemukan titik temu. Saya bisa merasakan yang Siswa X rasakan ketika bercerita. Saya bisa memaklumi pembelaannya, ketidakadilannya, dan prasangka-prasangka buruk yang dialaminya. Memang, tidak semua guru berpikiran demikian, namun tidak sedikit guru yang menunjukkan hal demikian.

Kalau pun saya boleh menilai, kelas mereka adalah kelas yang berkesan setelah seharian penuh saya mengisi tiga kelas pada hari yang sama. Kelas yang membuat saya berpikir ‘ternyata mereka siswa yang baik’ meski ada catatan dan itu sungguh lumrah terjadi. Pasti kekawan yang berada diposisi saya waktu itu, atau yang sudah berpengalaman akan setuju bila tiap kelas pasti ada seorang anak yang berbeda dari teman-temannya dan membutuhkan perhatian lebih dari yang lain.

Bukankah itu normal? Toh mereka siswa (anak-anak) yang masih suka bermain. Siswa yang masih berupaya mencari jati diri, siswa yang mempunyai dunia sendiri dan perlu banyak perhatian. It’s normal!

Saya memang tidak suka diskriminasi, namun saya tahu sebagai manusia yang tidak sempurna dan banyak salah pasti tanpa sengaja ataupun tidak, pasti pernah melakukannya. Dan mungkin, tulisan ini pula menjadi salah satu media diskriminasi saya terhadap ‘pelaku’ yang membuat anak-anak hebat berpikir tentang prasangka-prasangka yang seperti itu. (emm bisa jadi pembelaan juga sih).

Diskriminasi sebuah kata yang terdiri dari lima suku kata, mempunyai dampak yang dasyat kepada siswa. Salah satu dampaknya terhadap psikologi siswa, yakni siswa akan selalu merasa dikucilkan, rendah diri, tidak percaya diri kepada kemampuan sendiri ataupun di hadapan umum. Mereka akan selalu berpikir terbelakang dari teman-temannya.

Bukankah lebih berbahaya bila mereka tidak percaya kepada kemampuannya sendiri? Lantas, bagaimana mereka akan terus bercita-cita dan berangan tinggi? Jika bukan dari guru, siapa lagi? Jika bukan dari sekolah, kemana lagi mereka menanggalkan impian tersebut?

Seharusnya mereka bisa menadapatkan perlakuan yang sama bukan?

Ah! Mudah saja ngomong sok seperti saya saat ini. Mudah saja mengatur ini itu. Iya, saya memang sok tahu. Sok segalanya! Saya tidak bermaksud menggurui kekawan dan semuanya. Ini hanya sebagai pengingat pribadi. Hal-hal ini juga sebagai perenungan pribadi, kadang seseorang yang terlihat baik-baik saja adalah yang benar-benar membutuhkan kehadiran kita. Bahwa, yang kita dengar dan lihat tidak semuanya sama dan pasti mempunyai sisi yang berbeda.

Jikalau saat itu anak-anak sudah keterlaluan, atau ‘macam-macam sudah’ yang lain dalam pembelajaran Anda, memang dari kacamata guru mereka salah. Lantas bagaimana bila dipandang dari kacamata siswa? Tentu saja mempunyai sisi yang berbeda. Pasti mereka mempunyai alasan untuk melakukan hal-hal tersebut bukan?

Sebagai salah satu pengalaman saya tentang masa lalu yang tidak mengenakkan itu, mereka bukannya tidak ingin menghormati, ataupun tidak menghargai Anda sebagai guru. Hanya saja, mereka takut, karena Anda sudah melabeli bahwa mereka ini sudah begini dan begitu.

Ah! Seandainya saat itu bisa kembali terulang....

Karena sejatinya mereka ingin berkata, “Jangan tinggalkan saya Bu, bantu saya, genggam saya supaya menjadi siswa yang lebih baik lagi.”


Tidak Salah Bila Kamu Berbeda! Film Inspiratif The Innocent Witness

Sudah lama ingin sekali membagi salah satu kisah inspiratif dari Film The Innocent Witness. Baru bisa menulis setelah dua bulan ada tugas negara yang tidak bisa ditinggalkan. Kali ini mencoba menyempatkan diri untuk mengulasnya. Eh! Memaksa diri untuk menulis, hehe.

Sebelumnya, mungkin muncul pertanyaan seperti ini, kenapa harus film Korea dan selalu Korea? Pemilik blog ini seorang penggemar Korea ‘kah? Kenapa tidak review film Indonesia atau Barat?


Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidaklah salah. Hanya saja, bukan karena saya tidak suka atau tidak mencintai apalagi tidak menghargai film-film dalam negeri. Akan tetapi, saya kagum kepada orang-orang Korea, mereka bisa mengemas cerita dengan begitu menarik. Mereka bisa mengembangkan cerita dengan tema yang sama akan tetapi dengan alur yang epik.

Sebagai salah satu penikmat cerita fiksi, baik buku maupun film saya sangat menghargai itu. Siapa tahu, bisa mencuri ilmunya dalam menuliskan cerita fiksi, bagaimana mengembangkan alur, tema atau setting, pendalaman karakter dalam tokoh, dan sebagainya. Bukankah kita harus belajar untuk menjadi baik dari yang terbaik? (Ah, sedang ngomong apa? *sambil tepok jidat)

Okay, kembali ke topik!

Innocent Witness – film yang dirilis pada 13 Februari 2019 ini, bercerita tentang seorang pengacara bernama Soon Ho yang tengah menangani kasus pembunuhan seorang lelaki tua penderita depresi. Dalam lokasi kejadian ditemukan pula seorang pembantu perempuan yang dituduh telah membunuh lelaki tersebut.

 

Dalam menangani kasusnya, Soon Ho mendapatkan saksi kunci seorang gadis SMA yang kebetulan bertempat tinggal tidak jauh dari lokasi kejadian. Menariknya, gadis itu menderita autis sehingga sedikit diragukan validannya dalam beberapa kali persidangan.

 

Ngomong-ngomong apa itu autis?

 

Penjelasan singkat tetang autisme adalah gangguan perkembangan otak yang memengaruhi kemampuan penderita dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Di samping itu, autisme juga menyebabkan gangguan perilaku dan membatasi minat penderitanya.

Autisme sekarang disebut sebagai gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD). Hal ini karena gejala dan tingkat keparahannya bervariasi pada tiap penderita. Nah, seseorang dengan sindrom autisme sangat sensitif sehingga ia mungkin akan sangat terganggu, bahkan tersakiti oleh suara, sentuhan, bau, atau pemandangan yang tampak normal bagi orang lain.

Kemudian dalam kasus ini, Ji Hoo mempunyai gejala yang sensitif pada suara. Dia bisa mendengar dengan jelas suara yang diucapkan seseorang dari jauh maupun diucapkan secara pelan. Dari riwayatnya tersebut, bagi Ji Hoo suara anjing yang menggonggong begitu memekakkan pendengarannya. Bukan hanya itu dia dapat menghitung ucapan perkata seseorang.

Soon Ho yang bertugas sebagai pengacara pembela pembantu perempuan, berupaya mencari bukti ketidakbersalahannya. Dengan salah satu caranya mendekati Ji Hoo. Benar saja, sidang pertama berhasil dimenangkan. Akan tetapi, Soon Ho merasa ada hal mengganjal.

Akhirnya dia memutuskan untuk tetap mendekati Ji Hoo dan berusaha meminta maaf karena telah menyinggung perasaan Ji Hoo. Soon Ho kala itu mengatakan kalau penderita autis adalah orang yang cacat mental yang tidak bisa membedakan apakah niat terdakwa adalah untuk menyakiti atau membantu.

Akibat hal itu Ji Hoo tidak ingin menjadi saksi dipersidangan berikutnya. Ada kemungkinan dia merasa tertekan karena perlakuan diskriminasi orang-orang dalam persidangan terhadap kondisinya.

Namun bukan Soon Ho namanya bila tidak membawa Ji Hoo kembali ke persidangan. Soon Ho yang telah bersusah payah mengenal karakter Ji Hoo menemukan satu kunci dalam kasus ini.

Dalam sidang banding, Soon Hoo menyerang terdakwah dan membuat pembantu perempuan itu masuk penjara karena perbuatannya membunuh majikan. Semua tak lain karena kesaksian Ji Hoo yang pada awalnya diremehkan kevalidannya.

Saat mencoba memahami kepribadian Ji Joo, Soon Ho baru menyadari bila Ji Hoo mempunyai cara komunikasi yang unik. Sehingga pada sidang banding tersebut, Ji Hoo dengan leluasa memberikan kesaksian yang dapat membongkar kasus tersebut.

Tentu keputusan Soon Ho kala itu tidak mudah. Dia ditugaskan untuk membela pembela perempuan, tapi pada akhirnya memutuskan untuk menyerang karena rasa kemanusiaan. Hingga pada akhirnya, Soon Ho mendapatkan pelanggaran karena telah melalaikan tugasnya sebagai pengacara pembela.

Film berakhir dengan happy ending dan kalau Teteman ingin menonton, tolong disiapkan tisu yaaa, hehe.

Well, banyak kutipan menarik dalam film ini. Salah satunya adalah saat Pengacara Soon Ho berupaya membantu saksi dan berterima kasih karena telah menjadi saksi yang baik dalam persidangan. Kemudian, surat dari ayah pengacara yang mengatakan bahwa tak ada orang yang tak pernah membuat kesalahan.

Kemudian, hal apa yang dapat diambil dari film ini?

Ji Woo–gadis SMA autis yang teguh dan mempunyai hati begitu tulus. Dia memaafkan orang-orang yang telah menganggapnya sebagai anak yang cacat mental bahkan berupaya untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang “normal” lainnya. Selain itu, dia mampu menerima kekurangannya dan ingin membantu orang lain, khususnya ingin membantu memecahkan kasus pembunuhan yang terjadi.

 

Film ini intinya satu, mereka bahkan kita adalah orang-orang berbeda. Orang-orang yang mempunyai kelebihan atau keterbatasan yang berbeda. Seperti halnya Ji Woo, dia adalah anak yang cerdas namun menderita gangguan perkembangan komunikasi. Begitu juga kita, pasti mempunyai kekurangan juga kelebihannya masing-masing.

Dalam beberapa tulisan saya juga pernah menekankan berkali-kali, bila setiap individu itu memiliki bakatnya masing-masing. Setiap individu mempunyai minat yang beragam, memiliki pengetahuan yang bermacam-macam. Berbeda itu wajar dan memang begitu adanya.

So, jangan pernah mengatakan bahwa kamu bodoh, kamu cacat mental dan sebagainya. Karena setiap insan memiliki takdirnya sendiri. Setiap individu mempunyai jalan dan mimpinya sendiri.

Enjoy with your life! Tidak ada hidup yang sama, karena kita memang dilahirkan berbeda.

 

Berikut kutipan-kutipan dalam Film The Innocent Witness

“Tolong pertimbangkan bahwa dia mempunyai cara berkomunikasi yang khusus.”

“Prasangka. Sayangnya saya berprasangka terhadap Ji woo. Kukira dia dan saya adalah orang yang berbeda. Saya tak mempercayainya dan melihat apa yang ingin saya lihat, karena saya hanya memikirkan diri sendiri. Namun saksi berbeda. Meskipun ada prasangka kejam yang dia terima, dia memilih untuk bersaksi kembali, untuk mengatakan kebenarannya. Selama karir saya sebagai pengacara, saya belum pernah melihat saksi yang memberikan kesaksian yag lebih akurat darinya. Dia hanya mengatakan kebenarannya sejak awal. Kitalah yang tidak tahu cara berkomunikasi dengannya.” – Ucap Pengacara Soon Ho

“Setiap orang itu berbeda.”

“Seorang anak memberitahuku bahwa kepakkan seekor kupu-kupu terdengar seperti guntur di telinganya.”

“Putraku tersayang, aku hampir lupa hari ulang tahunmu. Terima kasih sudah dilahirkan. Kau telah menjadi sukacita sejati dalam hidupku. Saat kau berusia 16 tahun, kau memberitahuku kau ingin menjadi pengacara. Dengan wajah penuh semangatmu kau berkata ‘aku ingin berbuat baik’. Aku begitu senang hingga buang angin. Bukan senang karena kau ingin menjadi pengacara, tapi karena aku tahu telah membesarkanmu dengan baik. Setelah menjalani hidup ini, aku mendapati bahwa hidup dan selalu cerah dan manis. Dunia tidak berperasaan dan penuh kemunafikan. Kita membuat kesalahan dan sangat menderita. Namun tetap saja, putraku sayang, lupakan semua yang telah kau lalui. Tak ada orang yang tak pernah membuat kesalahan. Aku hanya ingin kau mencintai dirimu sendiri, karena dengan begitu kau bisa mencintai orang lain.” – surat Ayah Soon Ho