Ngobrolin masalah
‘minat’ khususnya literasi memang enggak ada ujungnnya ya? Berbagai perspektif
mulai bermunculan sebagai salah satu upaya menumbuhkan minat ‘baca-tulis’ di
negara ini.
You know-lah… literasi di
Indonesia masih butuh perhatian. Berdasarkan Programme International Student Assesment (PISA) 2012 minat baca di
Indonesia berada diurutan ke-64 dari 65 negara yang disurvei.
Lantas apa sih
yang membuat minat literasi di Indonesia kurang diminati?
Semangat
Zaman dan Intelektualitas Kita merupakan buku
kumpulan pikiran-pikiran tentang literasi, pergerakan dan peradaban. Secara
singkatnya buku ini merupakan kumpulan esai tentang literasi yang ditulis oleh
± 24 penulis, diterbitkan oleh Penerbit Saga pada Juli 2016, tebal ±185
halaman.
Fyi,
judul “Ada Apa dengan Minat Baca Kita?” ini sebenarnya saya ambil dari bab
pertama karya Dharu Feby Smaradhana. Alasannya memilih esai ini untuk
dibahas karena memang menarik sebagai
langkah awal untuk mengulas buku ini berikut fenomena dalam literasi.
Pada esainya Dharu
mengungkapkan bila membaca adalah salah satu aspek penting dalam belajar. Dari
membaca kita bisa lebih perpikir kritis dan membuat seseorang lebih kreatif
berdasarkan apa yang dibaca.
Meski perkembangan teknologi dan digitalisasi
telah memudahkan kita dalam berbagai hal, salah satu contohnya fasilitas membaca
melalui buku elektronik (e-book). Namun
sayang, adanya fasilitas tersebut masih belum bisa menumbuhkan minat baca di
Indonesia.
Sebenarnya apa sih faktor yang mempengaruhi perkembangan minat baca
di negara ini?
Fasilitas Baca di
Indonesia
Ngomong-ngomong
mengenai fasilitas nih, sebenarnya sudah banyak fasilitas membaca yang
didirikan oleh instansi pemerintah dan non-pemerintah seperti rumah baca,
perpusda dll. Namun akibat lokasi yang kadang cukup jauh membuat seseorang
berpikir panjang untuk berkunjung ke tempat tersebut.
Btw,
faktor pertama ini juga yang dialami saya. Sebab perlu jarak yang cukup jauh untuk
bisa duduk dan menikmati berbagai hidangan buku di perpus kota. Yaaa maklumlah,
wong ndeso sing uthek e kepingin ngutho
(omong apa sih? Hehehe).
Namun apapun kondisinya cukup disyukuri yaaa kan?
Dari jarak yang jauh dari perpus kota inilah yang membuat saya giat beli
buku, supaya bisa dijadikan perpus mini di rumah. Kalau nanti terkumpul bisa
buat rumah baca untuk Teteman, bisa dipinjamkan tapi harus kembali
dalam keadaan tidak ada cacat (kertas
dilipat misalnya? Huh! Paling sebel deh, apa gunanya ada kertas pembatas
coba?!) #Warningbagiyangpinjamdansukalipatpojokkertas! kwkwk
Peran Orang Tua
Hal yang kadang masih
dianggap sepele, bila peran orang tua sangatlah penting untuk membangun
kebiasaan anak membaca. Seorang ahli mengungkapkan bila anak itu paling suka
meniru orang tuanya (lupa kata siapa).
Salah satu contoh nyatanya nih dari
keluarga Pak Ario Muhammad, Teteman tahu dong? Itu tuh penulis Phd Parent's Stories. Akibat
sering melihat orang tuanya membaca dan menulis, anak sulung Pak Ario menjadi
gemar membaca. Bahkan nih, si sulung sudah menerbitkan buku loh, di usia kalo
enggak salah lima tahun.
Anak memang peniru
ulung, apapun yang dilakukan orang tuanya akan cepat diserap. Jadi, bila si
orang tua suka pegang gawai? Yaaa jangan salahkan anaknya kalau menangis enggak
mau kalah minta gawai juga, hehehe. #siap-siaprebutan!!!
Sistem Pembelajaran
Dalam
tulisannya Dharu mengungkapkan bila sistem pembelajaran di Indonesia belum
menuntut siswa untuk melakukan analisa lebih pada buku ataupun tulisan
sebelumnya. Sehingga bila siswa misalkan tidak paham pada satu pernyataan,
mereka akan cenderung bertanya. Padahal semua hal yang ditanyakan tersebut telah dijelaskan secara detail.
Kalau
diingat-ingat memang benar sih, siswa lebih diajarkan tentang menjawab tanpa
adanya penguatan. Apalagi kalau dapat soal pilihan ganda yang jawabnya tinggal
cap-cip-cup saja. Hingga muncullah satu
jawaban yang bergantung dari ‘keberuntungan’.
Ngomongin
masalah sistem pembelajaran membuat saya teringat pada salah satu mata
pelajaran wajib yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia–bahasa persatuan kita.
Dijenjang
SD-SMA sederajat (non Jurusan Bahasa) misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia
dan Sastra digabung dengan porsi Sastra yang sedikit, begitu timpang. Berbeda
dengan Jenjang SMA sederajat di Jurusan Bahasa, mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Sastra
Indonesia memiliki jam (JP) tiap sepekan yang hampir seimbang. Kalau enggak salah ingat dulu 5 JP
untuk Bahasa Indonesia dan 4 JP Sastra Indonesia di tiap pekannya.
“Emang
apa hubungannya sistem pembelajaran dengan sastra?”
Sebenarnya
ini hanya sekadar opini sih, kedudukan sastra pada pembelajaran itu sangat
penting. Sebab sastra mempunyai
segudang manfaat untuk perkembangan siswa.
Emang sih hal ini hanya asumsi saya, tapi belajar dari pengalaman sendiri waktu SMA bila sastra mampu
mengembangkan pola pikir dan empati. Belajar sastra bukan hanya menuntut untuk
membaca, tapi memahami dan menyelami berbagai aspek dari karya sastra tersebut.
Beberapa ahli juga berpendapat, salah satu manfaat dari mempelajari sastra yakni
mampu mengembangkan daya nalar dan kreatifitas.
“Kalau
begitu mengapa porsi sastra masih sedikit dalam pembelajaran di sekolah?”
Pertanyaan
tersebut pun merupakan salah satu pertanyaan yang belum menemukan jawaban.
Meski pada beberapa kesempatan dari para pujangga telah mengutarakan
pendapatnya dalam kogres bahasa, tapi yaaa mungkin pemerintah masih mencoba
mencari jalan untuk bisa mengembangkan pembelajaran sastra yang lebih efektif
lagi(?). #kitatunggusaja!
Penggunaan Literatur
Bergambar yang B erlebihan
Penggunaan literatur
dengan gambar berlebihan menurut Dharu membuat seseorang menjadi cepat bosan
bila sewaktu-waktu diberikan bacaan cerpen atau novel yang full dengan tulisan. Ya, saya pun bersependapat. Jangankan cerpen
membaca satu paragraf untuk mencari ide pokok saja beberapa siswa sudah ada
yang ngeluh, terlalu panjang katanya.
Kalau sudah begini yang pusing gurunya,
bingung mencari cara supaya siswa mau membaca dengan suka hati. Namun upaya
tersebut dianggap sebagai pelanggar hak siswa; pemaksaan kehendak. Lalu guru
bisa apa?
Mungkin itulah mengapa
peran orang tua sebagai sekolah pertama anak sangat penting. Membangun
kebiasaan-kebiasaan positif yang bisa ditiru oleh anak. Ah! Lagi-lagi orang
tua! Coba renungkan, betapa penting kehadiran orang tua bagi mereka?
Sebagai
orang tua di sekolah guru juga dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif,
apalagi di mata pelajaran Bahasa Indonesia yang notabene ‘katanya’ membosankan
dan enggak penting-penting amat.
Dari pernyataan ini timbullah kembali
pertanyaan; sebenarnya siswa tidak suka membaca apa karena Bahasa Indonesia
yang membosankan? Siswanya yang malas? Atau Bahasa Indonesia itu memang enggak
penting, sih? #sedangbertanyapadajejakhujanyangmengering
Perkembangan Teknologi
Kini, sebagian
masyarakat dunia merasakan apa itu perkembangan dari teknologi. Gawai dan
jaringan internet menjadi salah satu kebutuhan yang ‘wajib’ ada dalam
keseharian. Memang perkembangan teknologi memudahkan dalam beberapa aspek, tapi
dampaknya pun tak kalah main-main.
Dharu dalam karyanya menyembutkan bila salah
satu dampak dari perkembangan teknologi membuat seseorang banyak menghabiskan
waktu bermain dengan gawai bukan untuk membaca e-book melainkan berselancar di media sosial.
It’s true? Yaaa sependapat, saya pun demikian. Kadang saking
asyiknya benar-benar lupa waktu. Memang yaaa media sosial itu godaan terbesar
yang susah untuk ditinggalkan.
Namun bagi saya sih,
kalau boleh memilih…. daripada e-book
lebih nyaman dengan buku cetak bagaimanapun perkembangan teknologi yang terjadi
saat ini. Enggak tahu kenapa buku cetak itu sensasinya beda; lebih estetik
dengan bau kertas yang khas. #Tergantungselera!
Well,
itu saja review buku kali ini. Secara tema Buku
Semangat Zaman dan Intelektualitas Kita sangat menarik. Dari segi lay out isi sangat rapi dan hampir tidak
ada salah ketik. Poin pentingnya bahasanya komunikatif bisa dinikmati oleh
remaja dan kalangan dewasa. Hanya saja ada satu poin yang membuat buku ini
monoton, yakni beberapa esai mengulang data yang sama, seperti data
presentase dari UNICEF dan PISA.