Pemaknaan Diri sebagai Manusia (Review Yang Bertahan dan Binasa Perlahan karya Okky Madasari)

Okky Madasari terasa enggak asing dalam ingatan saya, antara pernah dengar atau enggak sengaja membaca namanya disuatu tempat. Namun satu hal yang pasti, dia seseorang yang berhasil menarik perhatian saya!

Ketika membaca blurb buku “Yang Bertahan dan Binasa Perlahan” yang bertuliskan, “CERITA-CERITA DALAM BUKU INI HANYA SATU UPAYA KECIL UNTUK MENGHAYATI MAKNA KITA SEBAGAI MANUSIA” langsung membuat saya membatin, wah ini nih! Sebab menjadi salah seorang yang sering mempertanyakan tentang diri sebagai MANUSIA, tentu pernyataan tersebut membuat saya terpikat.

Why? Pertanyaan sebagai manusia, bagi saya merupakan suatu hal kompleks yang hubungannya enggak bisa dipecah belah. Baik hubungan antara manusia dengan Tuhan, diri sendiri, sosial maupun lingkungan. Oleh sebab itu, kadang dari berbagai pertanyaan tersebut belum menemukan jawaban yang pas.  *ah dasar manusia, belum juga puas! Rumit.

Fyi, Okky Puspa Madasari atau Okky Madasari merupakan seorang pengarang yang lahir pada 30 Oktober 1984. Selain sebagai pengarang, dia juga seorang peneliti dan jurnalis. 

Pengarang kelahiran Magetan ini mulai menulis sejak tahun 2010 sampai sekarang banyak dari karya-karyanya yang menyuarakan tentang kritik sosial, pertanyaan kekinian, pertarungan manusia dengan diri sendiri dan lingkungan.

Adapun karya-karya Okky diantaranya Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013) Kerumunan Terakhir (2016), Yang Bertahan dan Binasa Perlahan (2017), Mata di Tanah Melus (2018), Mata dan Rahasia Pulau Gapi (2018) dan Mata dan Manusia Laut (2019).

Pada tahun 2012 Okky mendapatkan penghargaan sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa dari Novel Maryam. Saat itu dia berusia 28 tahun, dan menjadi pemenang termuda.

Buku Yang Bertahan dan Binasa Perlahan adalah buku pertama karya Okky yang saya baca. Dengan menyuguhkan konflik yang kompleks juga pengambilan tema-tema menarik, sepertinya karya lainnya juga akan menjadi incaran saya.

Review Yang Bertahan dan Binasa Perlahan Okky Madasari

Buku ini merupakan kumpulan cerita yang terdiri dari 19 cerita. Kumpulan cerita tersebut ditulis okky selama satu dekade (2007–2017). Yang Bertahan dan Binasa Perlahan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 2017 dan merupakan cetakan pertama dengan tebal ± 196 hlm.

Memangnya Yang Bertahan dan Binasa Perlahan bercerita tentang apa sih?

Sebelumnya telah disinggung sedikit tentang buku ini, bila sang penulis sendiri menjelaskan bila Yang Bertahan dan Binasa Perlahan merupakan sekumpulan cerita untuk menghayati pemaknaan kita sebagai manusia. Sang penulis mendeskripsikan dan mengaplikasikan pada cerita seorang kepala keluarga bernama Bandiman beserta lingkungannya.

Bandiman merupakan orang gunung di Giriharjo. Sejak lahir  dia hanyalah anak kampung yang desanya jarang dijamah orang luar, sebab jalanannya yang susah diakses. Namun bukan hanya Bandiman, masyarakat pun hanya keluar pergi ke pasar untuk menjual hasil panen dan membeli kebutuhan pokok. Selebihnya mereka tidak kemana-mana, tidak kenal kehidupan perkotaan Jakarta, Surabaya, sebab  tempat paling jauh yang mereka kunjungi hanyalah pasar kecamatan.

Sebagai kepala keluarga, dia merasa bertanggung jawab untuk mensejahterakan keluarganya dari himpitan ekonomi. Sebab dari awal menikahi istrinya Bandiman bergantung kepada ibu mertuanya. Memang dia seorang laki-laki, tapi tak pandai mencari uang yang membuat ibu mertuanya sering menyerapahinya. Suatu ketika muncul satu keinginan Bandiman untuk pergi dari kampunya dan memutuskan untuk mengikuti transmigrasi ke Kalimantan.

Kehidupan sehari-hari sebagai orang gunung yang bekerja di punggung Gunung Lawu, tentu membuat perjalanan ke tempat transmigrasi begitu melelahkan. Dari satu kota di transfer ke kota lain, dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Perjalanan ditempuh berjam-jam, berhari-hari. Melintasi pulau-pulau, hutan yang terasa tak ada ujung dan begitu asing.

Dalam perjalanan inilah, Bandiman banyak merenung. Dia sering mempertanyaan tentang keputusan yang diambilnya apakah sudah benar atau tidak? Tentang kekhawatirannya di tempat baru; apakah dia dan keluarganya bisa bertahan di tempat asing? Apakah tempat itu bisa mengubah nasibnya? Sayang, Bandiman belum bisa menemukan jawabannya.  

Saat sampai di tempat tujuan, mereka sangat bersuka cita. Di satu pulau kecil tersebut mereka akan mengadu nasib. Sebuah tempat yang akan menjadi masa depan gemilang Bandiman dan para transmigrasi lainnya. 

Namun hingga dihari-hari kemudian, bantuan bahan pokok dari pemerintah sudah menipis. Mereka perlu mencari peruntungan lain. Ingin bertani? Tentu tidak memungkinkan, butuh berbulan-bulan mereka menunggu hasil panen, sedangkan mereka sudah terdesak. Apalagi tanah di tempat ini tidak sesubur di Jawa. Para kepala keluarga pun telah mencari peruntungan mencari ikan, tapi hasilnya hanya cukup perseorangan. 

Dari kekacauan untuk bertahan hidup, Bandiman–seorang yang dulu dianggap tidak bisa apa-apa di kampunya, berinisiatif mengajak para kepala keluarga berburu ke hutan. Dari sekian kepala keluarga, Bandiman menjadi satu-satunya orang dari gunung. Kehidupannya di pedalaman gunung membuat mereka percaya dan menggantungkan harapan padanya. Meski sebagai orang gunung, ini pertama kalinya Bandiman berburu dan dipercaya. Beruntung, mereka berhasil menangkap hewan buruan. Sebagai orang baru, mereka tidak serta merta menangkap dengan serakah. Mereka hanya memburu sekadar keperluan satu kampung pendatang yang sudah kelaparan. 

Entah bagaimana menemukan cara untuk menutupi berbagai lubang pertanyaan tentang pemaknaan sebagai manusia. Apakah secara perlahan, setelah melalui berbagai arus kehidupan ini? 

Kalau teman-teman cermati kover bukunya, menurut saya cukup relevan dengan judulnya. Yang Bertahan dan Binasa Perlahan–seolah-olah sebagai manusia kita hanya perlu giliran untuk bertahan. Ya, bertahan menunggu giliran menemukan berbagai jawaban.

Bila mengamati sosok Bandiman, dalam perjalanan transmigrasi ini mampu membuatnya menjadi manusia seutuhnya. Sebab, tanpa disadari dia mampu bertahan dari tekanan-tekanan, seperti mencoba mengikhlaskan putri kecilnya yang meninggal dalam perjalanan.  Memberikan alternatif cara bertahan hidup dengan berburu sehingga dapat apresiasi dari teman seperjuangan. Meski adakalanya akan binasa; Bandiman mencoba bertahan melalui peruntungannya sebagai orang gunung.

Kemalangan Sang Jenius (Review Novel Kesetiaan Mr. X karya Keigo Higashino)

Sudah lama tidak membaca buku misteri dan di tahun ini saya sedang memburu bacaan yang sedikit ‘menyimpang’ dari kebiasaan. Sebab kalau dipikir-pikir, blog ini belum pernah membahas tentang genre misteri, teenlit, apalagi metropop (eh, ada satu kalau enggak salah).

Sebenarnya bukan karena blog sih, enggak tahu mengapa ingin eksplore genre lain; sembari mengingat masa lalu, *eh!

Genre misteri kali ini, diawali dengan Novel Kesetiaan Mr. X oleh Keigo Higashino. Fyi, saya sempat membahas salah satu karya Keigo yakni film yang berjudul “Miracle Of The Namiya General Store”. Kebetulan film tersebut diadaptasi dari novel dengan nama yang sama. 

Kemudian, kalau enggak salah akhir tahun lalu “Miracle Of The Namiya General Store” sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia loh! Heem... enggak sabar ingin baca. Seriusan! Versi filmnya saja bagus, apalagi novelnya coba? 

Profil singkat Keigo Higashino–dia seorang penulis misteri, thriller. Penulis ini lahir pada 4 Februari 1958 di Ikuno-ku Osaka. Keigo sudah menulis sejak 1985 dan telah menulis puluhan buku. Adapun karya terkenalnya Naoko, The Devotion of Suspect X dan Miracle of the Namiya General Store. 

Enggak perlu lagi ditanya tentang perhargaannya selama berkaya deh! Penulis misteri satu ini telah menerima penghargaan Edogawa Rampo, Mystery Writers of Japan Award, Penghargaan Misteri Honkaku dan lainnya. Bahkan nih, hampir dua puluh karya Keigo diubah menjadi film dan serial tv loh!

Identitas buku

Judul buku : Kesetiaan Mr. X

Pengarang : Keigo Higashino

Penerbit : Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Pertama, 2016

Tebal : ± 320 hlm.


Review Kesetiaan Mr. X karya Keigo Higashino


Secara singkat, Novel Kesetiaan Mr. X bercerita tentang seorang matematikawan yang membantu tetangganya menyembunyikan sesosok mayat. Matematikawan ini merupakan seorang guru SMA bernama Ishigami masih bujangan dan tetangga itu bernama Yasuko.

Bukannya dimakamkan kok malah disembunyikan?

Seperti yang diperkirakan teteman, sesosok mayat itu merupakan korban Yasuko dan putrinya. Dia merupakan mantan suami Yasuko yang selama ini menjadi toxic, pengusik hidupnya. Bahkan sebelum tinggal di rumah sekarang Yasuko telah berpindah-pindah untuk menghindari mantan suaminya tersebut. Anyway, sebenarnya apa yang dilakukan Yasuko ini sebagai pembelaan dan perlawanan diri. Sebab saat itu mantan suaminya hampir mencelakai putrinya (fyi, Yasuko menikah beberapa kali dan di pernikahan pertama dia mempunyai seorang putri).

Ishigami yang tertarik dengan ibu satu anak itu, akhirnya memutuskan untuk membantu Yasuko. Dengan kecerdikannya, Ishigami berhasil mengelabuhi polisi supaya Yasuko tidak dipenjara. Bahkan kasus ini menjadi kasus yang cukup sulit dan misterius bagi detektif.

Suatu ketika tanpa dinyana, teman lama Ishigami–Yukawa seorang Profesor Galileo sekaligus pakar fisikawan tertarik menyelidiki kasus itu. Selain berteman dengan Ishigami Yukawa bersahabat dengan salah satu detektif bernama Kusanagi. Sebagai sahabat, Kusanagi sering meminta bantuan Yukawa dalam memecahkan kasus, begitu pula kali ini. Alih-alih menerima permintaan tersebut, Yukawa menolak dan memilih menyelidiki sendiri.

Semasa kuliah Ishigami dan Yukawa mempunyai pemikiran dan kecerdasan yang tidak jauh berbeda. Hal itulah yang membuat Yukawa cukup mengenal karakter dan kepribadian Ishigami. Hingga pada akhirnya, Yukawa berhasil menemukan satu fakta yang tidak bisa dia dipercayai.

Fakta itu adalah tentang Ishigami mencintai Yosuko dan dia benar-benar telah membunuh seseorang. Akan tetapi seseorang yang dia bunuh bukan mantan suami Yasuko, melainkan tunawisma yang tinggal tidak jauh di wilayah itu. Jadi, kasus ini sebenarnya kasus berbeda. Bukan penemuan mayat mantan suami Yosuko, tapi menemuan mayat tunawisma yang disinyalir adalah mantan suaminya (Yosuko). Alasannya pun jelas, dia mencoba mengalihkan kasus ini agar tidak mengarah kepada Yosuko, sehingga Yosuko mempunyai alibi kuat dan Ishigami dapat melindunginya.

Ishigami yang sudah mempunyai firasat bila Yukawa tahu faktanya, kemudian dia memutuskan untuk menyerahkan diri. Lagi-lagi dia menyerahkan diri untuk melindungi Yosuko. Ishigami mengaku pada polisi bila dia yang membunuh mantan suami Yosuko karena cemburu.

Polisi ragu-ragu dengan pengakuan Ishigami tapi semua bukti terpampang nyata. Hingga Yukawa mengambil langkah dan menceritakan semua  tentang Ishigami kepada Yosuko. Ibu satu anak itu merasa bersalah bukan hanya karena kebaikan Ishigami, tapi ketulusan kepada dirinya. Sehingga dia memutuskan untuk menyerahkan diri ke polisi. Walhasil keduanya dihukum karena sama-sama telah membunuh. Ishigami dihukum karena membantu dan membunuh tunawisma, sedangkan Yosuko karena sang mantan suaminya.

Ishigami yang mengetahui Yosuko menyerahkan diri, begitu merasa kecewa dan marah. Sebab dia merasa usahanya selama ini sia-sia untuk melindungi Yosuko. 

Lalu di mana jenazah mantan suami Yasuko? Tepat di malam kejadian, saat itu Ishigami membuang jenazah mantan suami ke berbagai muara sungai.

Well, begitulah kisah dari Kesetiaan Mr. X. Dari cerita singkat ini bisa diambil kesimpulan sih bila judul Mr.X ini mengarah ke Ishigami. Setuju?

Hal yang paling menarik dari Kesetiaan Mr. X adalah dari segi alur dan karakter Ishigami, lebih tepatnya ketulusannya kepada Yasuko. Meskipun begitu, bentuk perlakukannya yang membela mati-matian sehingga merugikan orang lain, tidak dibenarkan yaaa.... 

Toh, enggak semua orang pintar itu baik dan enggak semuanya orang yang mempunyai keterbatasan intelektual itu jahat. Akan tetapi ada yang hal perlu diacungi jempol dari novel ini, yaitu karakter Ishigami yang kuat. Keigo menurut saya berhasil membuat tokoh Ishigami nyata, baik kepribadian dari diri sendiri dan orang-orang sekitar.

Satu hal yang saya pelajari dari novel ini, bahwa sepintar-pintarnya seseorang pasti melakukan kesalahan. Akan tetapi wajarlah, namanya juga manusia. Namun yang menjadi tidak wajar, bila manusia menganggap apapun yang direncanakannya akan berhasil dengan mulus, meski itu sebuah bentuk kecurangan. Namun toh, enggak ada yang benar-benar bisa menyembunyikan bau bangkai ‘kan?


Bualan Intuisi

Meskipun enggak semua kata hati itu benar, tapi alangkah lebih baik untuk dipikir ulang. Bukankah penggerak seluruh tubuh ini, hati?"

Sebatas kisah di akhir pekan ramadan– 

"Besok ngapain ya? Sepertinya duduk-duduk di bukit sambil corat-coret, asyik deh!" begitu ungkap saya setelah tahu bila esok akhir pekan. Walhasil seusai "berdiskusi secara pribadi”, saya menyiapkan rencana untuk bersepeda pagi.

Sebenarnya sudah lama merencanakan hal ini, tapi bagaimana bila kasur lebih menggoda dari hamparan pasir di sana? Sekarang pun selagi di bulan puasa, sembari mengikuti aktivitas di tahun sebelumnya; pantai masih menjadi salah satu rekomendasi menyambut pagi. 

Dikeesokan harinya, kurang lebih pukul 04.55 WIB saya melayangkan aksi. Meski sedikit bimbang sebab prediksi cuaca terbaca suhu 34°C dengan gambar awan disertai hujan. Akan tetapi saya tak terlalu menghiraukan. Sebab beberapa hari melalui prediksi cuaca yang sama, hanya dihiasi mendung yang bergelantungan. 

Namun dalam separuh perjalanan, ada perasaan was-was. Satu perasaan yang entah bagaimana muncul setelah beberapa kali memandang awan di singgah sana yang menghitam. "Bukankah memang masih pagi, maklumlah jika masih gelap?" gerutu saya mencoba menenangkan diri. 

Hingga sampailah di tempat tujuan; yang awalnya hanya ingin duduk-duduk di bebukitan, saya malah terus mengarah ke selatan–menuju pesisir pantai. 

“Bukankah kita hanya duduk-duduk di bebukitan? Kenapa malah terus?” ungkap hati.

“Toh pantainya ada di depan mata, apa ruginya bila kita lihat pemandangan pantai juga?” gerutu logika.

“Tapi bukan itu rencana kita ‘kan? Ra, ayo kita pulang saja.” 

Lagi–mereka berdua berdebat dan saya memutuskan untuk mengabaikan perkataan hati.

Tidak perlu ditanya bagaimana pantai menyambut dengan ramah. Deburan ombak yang memecah keheningan bumi; seolah-olah mengucapkan selamat datang dengan begitu elegan. Juga dengan burung-burung yang beterbangan ke sana-sini. Rerumputan yang masih ada bercak-bercak embun, dan benteng kabut yang tidak terlalu tebal–cukuplah untuk memanjakan mata dan jiwa. Sayang, andaikan mentari dapat berdiri gagah di ujung timur sana; pasti pemandangannya lebih sempurna.

Tidak kurang dari dua menit bercengkerama dengan pantai. Saya menyerah dengan kata hati yang selalu mengajak pulang. 

“Sudah cukup ‘kan memandang pantainya? Ayo kita segera pulang” begitu ungkap isi hati. 

“Sia-sia dong kita menghabiskan waktu lima belas menit kalau hanya dua menit di sini. Ra, tidak bisakah kita lebih lama lagi?” sanggah logika.

Saya memandang sekitar berupaya menimang dan mencoba dengan ‘sok’ membaca alam. Kalau dipikir dan dirasakan, hari ini suasananya memang cukup aneh. Masih pagi, tapi angin bertiup cukup kencang dan kondisi udara yang tidak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata. Namun yang jelas, saat itu mengapa saya mencium bau hujan?

Akhirnya saya memutuskan mengambil langkah, membawa sepeda menjauhi pantai. 

Dalam perjalanan pulang, ternyata masih ada pengunjung yang berdatangan. Beberapa seperti saya, menikmati dengan bersepeda pagi, ada yang jalan kaki dan sesekali pengunjung datang dengan motornya. Namun saya sudah tidak tertarik untuk kembali. Toh, alasan pergi ke sini pagi-pagi untuk menghindari orang-orang. Semakin siang, saya rasa pengunjung semakin berdatangan.

“Eh, lihat Gunung Semeru itu” tutur logika tiba-tiba.

Pelan-pelan saya mengerem sepeda. Dari kejauhan Gunung Semeru terlihat menajubkan. Kemudian saya putuskan mengambil beberapa gambar untuk dokumentasi.

“Enggak mau pulang saja?” ujar hati.

“Kita ‘kan sudah dalam perjalanan pulang, apa salahnya mengambil gambar satu, dua sih?” sanggah logika.

Sebelum memutuskan saran dari hati dan logika, lagi-lagi saya mencoba membaca sekitar. Angin masih bertiup cukup kencang. Awan masih menghitam meski matahari saat itu seharusnya berdiri setidaknya 30 derajat dan bau hujan belum juga menghilang. Saya memang memutuskan untuk mengambil beberapa gambar dengan cepat. Selain perasaan khawatir yang sudah mulai menguasai, bau yang cukup mirip dengan petrikor semakin menyengat indra penciuman.

“Jangan lama-lama” peringatan hati berkali-kali.

Satu, dua gambar telah saya dapatkan. Tiba-tiba saat mengambil gambar selanjutnya, setetes air jatuh. Perasaan khawatir saya kini menjadi kenyataan. Kemudian tanpa berpikir panjang, saya putuskan untuk menggayuh sepeda dengan sekuat tenaga, menuju tempat berteduh yang muncul pertama kali dipikiran–gerbang pintu masuk pantai.

Ya, ampun! Bukannya cemas, saya malah menertawan diri. Saya jadi teringat masa-masa SMA dulu yang sering kali pulang kehujanan dan harus mencari tempat berteduh karena lupa tidak membawa jas hujan. 

Saya pun pernah menyengajakan diri menembus hujan bersama seorang teman, sambil ketawa-ketiwi di tengah perjalanan. Bukannya menyesal karena menggigil, kami malah berdiskusi tentang judul apa yang bagus bila kisah itu kami tulis dalam cerita fiksi? Eh, maklum kami mempunyai hobi yang sama hehe.

Ternyata bila direnungi lebih dalam lagi, setiap kejadian ataupun peristiwa yang telah dilalui itu banyak sekali hal bisa dipetik hikmahnya yaa... ah, salah! Banyak hal yang mesti ditertawakan. Contohnya saja seperti pertistiwa saya waktu itu. Rencana awal yang ingin menyelam sambil minum air, eh airnya malah turun dari langit. Jadinya enggak bisa nyelam, bisanya diguyur dong! 

Padahal hari sebelumnya sudah disiapkan dengan sangat matang, dari mengelap sepeda yang mulai jadi sarang laba-laba, memompa ban yang sedikit mengempis, memilih buku saku dan pulpen yang ingin digunakan untuk menulis. Namun saya juga tahu, bila tidak semua rencana akan berjalan lancar. 

Lantas selama hampir satu jam terjebak hujan, saya malah terhanyut oleh berbagai pertanyaan. Bahkan dalam perjalanan pulang, saya masih dipenuhi tanya yang salah satunya tentang mengapa bisa merasakan hal-hal  seperti tadi, misalkan satu firasat yang mengharuskan untuk pulang dan tanda-tanda akan sesuatu seperti akan turun hujan? 

Apakah itu yang disebut intuisi ataukah hanya sebatas insting belaka? Walhasil sesampai di rumah, saya sedikit mengorek tentang apa itu intuisi dalam beberapa sumber sebagai berikut.

Dalam KBBI intuisi diartikan sebagai daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Menurut Butler (dalam Sriningsih) intuisi merupakan sekumpulan proses fisik yang membuat seseorang tetap bertahan hidup, yang berlangsung tanpa disadari dan memberi sinyal-sinyal mengenai apa yang telah terjadi dan apa yang bakal terjadi. Lebih jelasnya intuisi biasanya diikuti dengan semacam perasaan (emosi) yang kuat, yang tidak biasa, seperti perasaan tidak enak (was-was, khawatir) atau perasaan sedih yang sulit dijelaskan atau ketakutan yang sangat besar.

Menurut Jung Intuisi merupakan mengejawantahan data-data yang bersumber dari “hati”. Data-data dari hati yang dimaksud adalah keadaan emosi atau reaksi-reaksi emosi terhadap pengalaman masa lalu, atau berdasarkan bentuk-bentuk emosi dan estimasi diri bagaimana seseorang akan merasakan sesuatu setelah memutuskan sesuatu. Bisa dikatakan bila intuisi merupakan suatu kemampuan yang berperan untuk mempertahankan hidup yang bersumber dari pengalaman dan kepekaan seseorang.

Selain itu insting dalam KBBI diartikan sebagai daya dorong utama pada manusia bagi kelangsungan hidupnya (seperti nafsu berahi, rasa takut, dorongan untuk berkompetisi); dorongan untuk secara tidak sadar bertindak yang tepat.

Meskipun intuisi dan insting mempunyai tujuan yang sama yakni untuk mempertahankan kelangsungan hidup, tapi keduanya berbeda. Insting merupakan bawaan sejak lahir, sedangkan intuisi ada karena dipelajari dari berbagai pengalaman.

Dari beberapa penjelasan tersebut, saya jadi ingat nunchi. Apakah intuisi dan nunchi itu sama, hanya penyebutannya yang berbeda? Toh, keduanya bisa dikatakan sebagai cara untuk mempertahankan hidup dan bisa dipelajari; yang terpenting keduanya perlu dikuasai dengan cepat (dalam waktu yang singkat). *untuk yang belum tahu apa itu nunchi bisa dibaca Review Nunchi karya Euny Hong.

Bisa juga kejadian yang saya alami dikarenakan kurang bersyukur. Bukankah manusia itu diberi emosi (sebuah perasaan)? Bahkan sebelum berangkat tanda-tandanya sudah jelas, diprediksi cuaca akan hujan dan awan mendung. Namun kok masih nekad berangkat? Berkali-kali pula hati mengingatkan dan bagaimana? Memang kadang mereka berdua (hati dan logika) itu susah disatukan ya? Lalu saya, malah mengikuti keegoan diri *hem, memang dasar manusia!

Bualan Intuisi - Titik Literasi - Pantai Selatan-Wotgalih

Meskipun enggak semua kata hati itu benar, tapi alangkah lebih baik untuk dipikir ulang. Bukankah penggerak seluruh tubuh ini, hati?

Lantas, apakah tanda-tanda yang saya rasakan itu  termasuk intuisi?

Penaklukan Shadow Economy (Review Novel Pulang karya Tere Liye)

Sembari menunggu “Bedebah Di Ujung Tanduk” dirilis, yuk bahas pertemuan awal dengan Bujang–Si Babi Hutan a.k.a Agam dalam Novel Pulang!

Dari sekian genre yang ditulis oleh Bang Tere, Pulang merupakan genre aksi pertama yang membuat saya tergugah untuk membaca genre aksi lainnya. Apalagi dalam Pulang menyinggung masalah ekonomi dan politik; yang notabene anti dengan genre bacaan seperti ini. 

Waktu itu saya masih beranggapan “Ah! masih terlalu muda untuk tahu politik, biar masalah-masalah tersebut diurus oleh orang dewasa saja!” yaa mohon dimaklumi, lawong mikir PR Matematika saja susahnya minta ampun, malah mau mikir ekonomi-politik. 

Lalu, kok berani baca Novel Pulang?

Awalnya memang acak ingin baca novelnya Bang Tere dan kebetulan waktu itu Novel Pulang baru dirilis. Saya yang sudah terlanjur ketagihan dengan karya-karya beliau, tanpa perlu tengok sana-sini langsung menyisihkan uang saku dan siap-siap membawanya pulang dari toko buku. 

Lantas saat pertama kali membaca bukunya, mulailah timbul berbagai pertanyaan. Dari genre, tokoh, dan sebagainya. Bahkan dulu saya sempat mengira, bila novel ini ditulis sesuai kondisi di tahun 2015. Ketika negara sedang memanas karena pemilihan presiden.

Namun bukan hanya saya yang mengira tokoh sampingan yang muncul dalam Novel Pulang merupakan kedua kandidat calon presiden saat itu. Para pembaca juga berpikiran demikian. Akan tetapi untuk masalah ini sudah dikonfirmasi bila hanya fiksi.

Antara fiksi atau tidaknya, berkat Pulang saya jadi sedikit memikirkan ekonomi-politik. Meskipun belum benar-benar tertarik, setidaknya mendapat secuil pencerahan tentang permainan politik. 

Saking berandai-andainya mengenai alur Pulang, kadang kalau ada berita di televisi atau enggak sengaja membaca berita yang mirip dalam adegan Pulang. Saya langsung membatin, apakah ini kelakuan Bujang dan aliansi Shadow Economy di dunia nyata?

Ah! Kalau memang benar, saya merasa dibodohi. Sungguh kejamnya Mr. Dragon! Eh.

*Cukup berandai-andainya, mari kembali ke Novel Pulang!


Identitas Buku

Judul Novel : Pulang

Pengarang : Tere Liye

Penerbit : Republika Penerbit

Cetakan : III, Oktober 2015

Tempat Terbit : Jakarta

Tebal : iv +400 hlm.


Review Novel Pulang karya Tere Liye


Pulang secara singkatnya merupakan perkenalan tentang Bujang dan Shadow Economy beserta para aliansinya. Pertemuan awal Bujang dengan Tauke Muda dan misteri kehidupan kedua orang tuanya.

Dalam kisah ini Bujang diangkat sebagai anak oleh Tauke Muda dan dibawa ke ibu kota provinsi. Dia disekolahkan hingga menjadi pemuda yang cerdas dan tangguh. Sebab selain belajar tentang ilmu akademik, dia diajarkan bagaimana cara bertarung seperti petarung para aliansi shadoow economy.

Lima belas tahun usianya saat itu, ketika sang ibu (disebutnya Mamak) mengikhlaskan kepergian anak semata wayang untuk menjadi bagian dari Keluarga Tong. Meski berat hati melepas kepergian Bujang, Samad–sang bapak mencoba meyakinkan istrinya. Sebagai mantan tukang pukul kepercayaan Tauke sebelumnya, dia mempunyai hutang budi dan janji mengenai Bujang kepada Tauke Muda. Walhasil Mamak hanya bisa pasrah. Sebab memang sudah waktunya dia dijemput oleh Tauke Muda.

Hari berganti, dan Bujang menjadi pemuda yang cerdas dan tangguh. Bujang awalnya tidak diizinkan mencampuri urusan aliansi para keluarga shadow economy. Tauke menginginkan dia belajar dengan serius. Namun suatu ketika keadaan di Keluarga Tong semakin terdesak. Mereka kesulitan akibat adanya pengkhiatan dalam keluarga. Mau tidak mau, Bujang harus membela keluarga dan melindungi Tauke seperti ayahnya dulu.

Btw, kalau ada yang belum tahu apa itu shadow economy, secara singkatnya adalah ekonomi yang berjalan di ruang hitam, di bawah meja (2015:30). Oleh karena itu orang-orang pun menyebutnya black market, underground economy. Pasar gelap ini mengendalikan dan berurusan dengan pencucian uang, perdagangan senjata, transportasi, properti, minyak bumi, valas, pasar modal, retail, teknologi mutakhir, hingga penemuan medis yang tak terhingga. Tentu saja keberadaan mereka tidak dikenali oleh masyarakat, tidak terdaftar dalam pemerintah, tidak diliput oleh media massa dan mereka berada di balik bayangan.

Orang yang berkhianat dalam Keluarga Tong itu Basyir. Dia salah satu petarung andal dan kepercayaan keluarga Tong, bahkan dia juga guru Bujang. Pengkhianatan ini disinyalir sebagai balas dendam atas kematian keluarganya. Usut punya usut dulu keluarga Basyir hanya keluarga biasa, mereka hidup tentram dan berbaur dengan kelompok Arab. Namun Keluarga Tong datang dan menyerang dengan membabi buta. Incaran Keluarga Tong saat itu memang Kelompok Arab, tapi keluarga Basyir yang terlanjur berbaur bersama mereka justru menjadi korban. 

Basyir yang melihat sendiri kematian keluarganya merasa sakit hati dan akhirnya memutuskan untuk balas dendam. Bertahun-tahun dia merencanakan aksinya dan dia bersekutu dengan anak tetua Keluarga Lin untuk menghancurkan Keluarga Tong beserta Bujang.

Aksinya memang mulus, dalam pertempuran itu Basyir berhasil memporak-porandakan keadaan Keluarga Tong. Bukan hanya itu, dia berhasil membuat kelabakan Tauke Muda dan Bujang, bahkan melukai keduanya. Namun beruntung, keduanya berhasil lolos dari kepungan Basyir meski terluka parah.

Akan tetapi meski berhasil meloloskan diri, Tauke Muda tidak bisa diselamatkan. Dia tewas dalam pelarian. Bujang yang tahu kabar itu setelah siuman, begitu terpukul. Seperti yang telah diwasiatkan bapaknya, bila Tauke Muda akan menjadi satu-satunya keluarga Bujang bila suatu saat nanti Samad menjemput Mamaknya (Btw, sudah lama pula kedua orang tua Bujang meninggal).

Syukurlah, meski telah kehilangan tiga orang panting dalam hidupnya dan sempat pula berlarut dalam duka, akhirnya Bujang memutuskan untuk bangkit. Dia harus kembali mengambil alih kekuasan Keluarga Tong. Sebab kini dia bukan lagi sebagai tukang pukul, tapi sebagai Tauke Besar– penerus Tauke Muda.  

Nyatanya masih banyak anggota keluarga yang setia terhadap Keluarga Tong, bahkan mereka patuh tentang generasi penerus yang akan dipimpin oleh Bujang. Dengan kesetiaan itulah, keluarga yang awalnya berhasil diobrak-abrik Basyir bisa mengalahkan pengkhianatan itu sendiri.

Jika memang mau, saat itu Bujang bisa saja menghabisi Basyir dan anak tetua Keluarga Lin. Akan tetapi Bujang memaafkan keduanya dan menyuruh mereka pergi begitu saja. Akhirnya pertarungan itu berakhir dengan damai. Lantas Bujang berhasil memimpin ribuan anggota keluarga dan puluhan perusahaan, juga menentukan haluan baru penguasa shadow economy.

Banyak hal tak terduga dari novel ini, misalkan saja perjuangan kisah cinta Samad dan Midah yang diusir warga kampung karena latar belakang keluarga Samad. Akhirnya keduanya  memutuskan tinggal di Talang menjadi seorang petani. Padahal Mamak Bujang keturunan keluarga terhormat.

Kemudian tentang perjalanan hidup sang bapak yang penuh misteri. Kalau dipikir-pikir, Samad dan Bujang cukup mirip. Meskipun dikenal sebagai petarung, Bujang mempunyai hati begitu lembut utamanya kepada Mamaknya. 

Kemudian yang paling menarik adalah keberadaan Tuanku Imam, kakak tetua Midah. Beliau yang membantu dan menyelamatkan Bujang dari kejaran Basyir. Hal tak terduga bila Tuanku Imam cukup akrab dengan Tauke Muda dan telah merencanakan banyak hal untuk Bujang. Plot ini sih yang menurut saya terbaik, benar-benar enggak terduga. Semakin gereget bacanya hehe. 

Kalau perkiraan saya enggak salah, Pulang merupakan novel ketiga bergenre aksi setelah Negeri Di Ujung Tanduk dan Negeri Para Bedebah. Uniknya dalam genre aksi ini, masing-masing tokoh saling melengkapi dan berhubungan ditiap kisahnya. Misalkan saja Thomas yang muncul dalam Gnalup-Pergi

Saya jadi mengira-ngira, apakah genre aksi ini akan menjadi serial petualangan seperti  serial BUMI–perjalanan Raib, Seli dan Ali?

Jika begitu apakah Bujang dan Maria akan muncul di “Bedebah di Ujung Tanduk”? Sebab kalau dirasa, membaca dari judulnya kisah itu bagian dari Thomas. Yaaa, saya hanya menebak saja. Soalnya dua novel yang berkaitan dengan judul tersebut merupakan aksi dari Thomas.

Saya jadi sangat penasaran, cerita siapa yang akan diangkat oleh Bang Tere pada novel selanjutnya. Bujang dan Maria ‘kah? Thomas dan si wartawan? Ataukah mereka tampil secara bersama-sama? Mari, kita penasaran bersama-sama, hehe.

Tentang Ada dan Tiada (Review Novel Please Look After Mom karya Kyung Sook Shin)


Please Look After Mom merupakan novel terjemahan dari Korea Selatan yang ditulis oleh Kyung Sook Shin. Novel ini pertama kali diterbitkan di Korea Selatan  pada 2009. Dua tahun kemudian, diterjemahkan dan diterbitkan ulang di Jakarta oleh PT Gramedia Pustaka Utama dengan tebal ± 296 halaman. Omong-omong, novel yang ada di saya sekarang sudah cetakan ke IV pada April 2015 loh!

Novel Please Look After Mom selain diterjemahkan dalam bahasa Indonesia juga diterjemahkan dalam bahasa asing seperti Prancis, Inggris dan lainnya. Kalau sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa sudah dapat dipastikan bila novel ini bagus dan bisa dijadikan koleksi teteman. Saya yakin deh, enggak akan menyesal! 



Dari novel ini saja, sang penulisnya berhasil dianugerahi sebagai wanita pertama orang Korea yang mendapatkan Penghargaan Sastra Asia pada 2012 loh! Yaa bagaimana enggak dianugerahi Penghargaan Sastra Asia? Lawong Novel Please Look After Mom terjual lebih dari 1,5 juta eksemplar di Korea Selatan dalam kurun waktu setahun. 

Selain mendapatkan Penghargaan Sastra Asia, dari Novel Please Look After Mom nama Kyung Sook Shin mulai dikenal. Bisa dikatakan Please Look After Mom merupakan karya yang berhasil mengharumkan namanya dikancah internasional. 

Mungkin ada yang bertanya-tanya siapa sih Kyung Sook Shin ini? 

Kyung Sook Shin merupakan penulis atau novelis  yang lahir di Jeongeup pada 12 Januari 1963. Dia lulusan Institut Seni Seoul Jurusan Penulisan Kreatif. Shin merupakan anak keempat dari enam bersaudara yang mengawali debutnya dengan  menulis novel berjudul Winter's Fable pada 1985. Btw dari Novel itupun dia mendapatkan perhargaan sebagai Penulis Baru Munye Joongang loh! 

Selain Please Look After Mom dan Winter's Fable masih banyak karya lainnya. Salah satu contohnya l'll Be There (2010) dan The Court Dancer: A Novel (2018). 

Sebenarnya Please Look After Mom bercerita tentang apa sih? 

Secara singkatnya novel ini bercerita tentang hilangnya seorang ibu dalam perjalanan berkunjung ke rumah salah seorang anaknya di Seoul. Ibu tersebut terpisah dari suaminya saat berada di Stasiun Seoul. 

Dari peristiwa tersebut keempat anaknya berupaya mencari ibunya dengan melaporkan kepada pihak terkait, menyebarkan pamflet dengan imbalan yang tidak sedikit bagi yang menemukan dan memberikan informasi. Namun sang ibu tak kunjung ditemukan. 

Dalam pencarian itu para anggota keluarga merasa menyesal dan tak segan menyalahkan diri  atas hilangnya ibu. Bukan hanya penyesalan, bahkan tanpa disadari mulai muncul kenangan-kenangan tentang ibu saat masih bersama. Terkhusus bagaimana perjuangan ibu  saat mendidik mereka sampai menjadi orang yang cukup berada. Sebab sejatinya mereka tergolong keluarga yang 'masih' dalam  kekurangan. 


Hingga sembilan bulan berlalu, sang ibu belum juga ditemukan. Satu persatu anggota keluarga mulai putus asa mencarinya. Sebera pun informasi yang didapat, tapi tak membuat segera menemukan ibu. Hidup itu keras dan terus berputar, meski ibu mereka menghilang mereka harus  menjalani hari-hari seperti biasanya.

Well, begitulah setidaknya sinopsis dari Please Look After Mom karya Kyung Sook Shin. Banyak hal yang saya pelajari dari kisah dan para tokoh dalam karya ini. Khususnya perjuangan, keikhlasan, berbagai sudut mengenai perspektif kehidupan dan berubahan-berubahan yang ada (globalisasi). 

Bukan hanya bagus, Please Look After Mom merupakan novel pertama yang saya kategorikan sebagai novel yang berbeda dengan yang lain. Ini hanya sebagai pendapat saya yaaa....

Pertama mengenai teknik bercerita yang cukup unik. Please Look After Mom memberikan salah satu pencerahan dalam teknik menulis cerita. Btw, ini benar-benar pengalaman baru bagi saya. 

Pada novel ini  tiap tokoh turut andil menceritakan sang ibu berdasarkan perspektif masing-masing, tapi ajaibnya bisa berkesinambungan; runtut dan jelas. Bukan hanya tokoh lain seperti ayah dan keempat anaknya, tapi ibu juga mendapatkan bagian mengenai kisahnya sebelum dan saat menghilang. 

Caranya memang unik, tapi mungkin diawal-awal membaca sedikit dibuat bingung dan bertanya-tanya tentang siapakah yang kini sedang bercerita Chi Hon, Ayah atau ketiga anak yang lainnya? 

Kalau boleh memberikan saran bagi teteman yang mau membaca novel ini, sebaiknya cari tempat yang nyaman sebelum membaca, biar fokus hehe. Emm, sedikit bocoran nih, untuk bab awal dan akhir merupakan perspektif dari Chi Hon; anak ketiga yang berprofesi sebagai penulis. 

Kedua penggambaran latar (setting) yang detail membuat Novel Please Look After Mom menjadi sangat hidup. Teteman pernah enggak sih membaca buku sampai membayangkan bagaimana situasi dalam cerita itu bisa digambarkan sangat jelas dalam kepala? Selama ini bagi saya hanya dua novel (yang berkesan) latarnya cukup detail, seolah-olah bukan sedang membaca tapi nonton via buku, hehe. Pertama Novel Rindu karyanya Bang Tere dan ini, Please Look After Mom.

Bagi saya Please Look After Mom terlalu mulus untuk disebut sebagai karya fiksi. Sebab terlalu detail bahkan dalam mendeskripsikan latar suasana, membuat kisah tersebut seperti kisah nyata. Itu pendapat saya saat membaca. Apakah ini kisah fiksi? 

Usut punya usut, tokoh Chi Ho dalam novel tersebut mengambil pengalaman penulisnya yakni Kyung Sook Shin. Bagaimana saat dia menyukai buku, keinginannya menjadi penulis dan sedikit situasi keluarga dalam novel merupakan kisah dari Shin. 

Saya mengutip dari salah satu website bernama Jurnal Seoul. Dalam unggahannya, Shin berkata "Keluarga Please Look After Mom memiliki banyak kesamaan dengan keluarga saya sendiri, tetapi itu bukan hanya dari keluarga saya. Ada banyak keluarga saat itu yang serupa.  Bab pertama sangat menarik tentang kehidupan saya sendiri, tetapi ini bukan tentang saya dan keluarga saya, tetapi masyarakat Korea secara umum. Meskipun ceritanya tentang saya pada awalnya, pada akhir cerita ini tentang orang lain...." Wah, kereennn.. Pantas, mulus begitu yaaa, hehe. 

Shin berhasil memadukan kisahnya dengan kisah orang lain dan menjadi sebuah karya yang hebat. Eh, apa perlu masuk Jurusan Penulisan Kreatif dulu agar seperti Shin?

Kaleng Khong Guan, Bukan Kaleng Biasa! (Review Buku Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo)

Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo akan menjadi ulasan buku puisi kedua di blog ini. Sebelumnya saya pernah mengulas buku sajak karya Tere Liye–Sungguh, Kau Boleh Pergi! Sudah pernah dibaca? 

Meskipun blog sudah dibuat cukup lama, isinya pun mengenai ulasan buku dan karya sastra. Namun mengapa baru mengulas dua buku puisi? 

Harap dimaklumi saja, setiap orang ‘kan mempunyai selera yang berbeda. *mulai cari pembelaan! Sebenarnya menafsirkan puisi enggak semudah itu Ferguso! Menginterpretasikan sebuah puisi ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Enggak seperti prosa yang tiap frasa, klausanya bisa direkam dan dilukis dengan mudah oleh kepala. Setidaknya itu menurut hemat saya sih, adakah yang bersependapat?

*kembali ke topik!

Teteman ada yang tahu enggak, siapa itu Joko Pinurbo? Kalau Sapardi Djoko Damono?

Bisa dikatakan Joko Pinurbo ini sebelas-dua belaslah dengan Sapardi Djoko Damono. Keduanya sama-sama seorang penyair. Bedanya Eyang Sapardi menggunakan gaya bahasa yang sederhana dan terkesan mellow. Sebaliknya, Joko Pinurbo menggunakan bahasa sehari-hari yang terkesan absurd (dan dalam buku ini saya menemukan beberapa kata khas yang mengarah pada kata umpatan). 

Review Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo

Joko Pinurbo lahir pada 11 Mei 1962 di Sukabumi Jawa Barat. Penyair yang dikenal dengan sebutan Jokpin ini tekun menulis puisi sejak di bangku SMA loh! Tidak heran bila kini ia telah menerbitkan belasan buku puisi.

Dalam eksistensinya di dunia sastra, ia telah memperoleh berbagai penghargaan, seperti: Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001); Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014); South East Asia (SEA) Write Award (2014); dan lainnya. Bahkan nih, karya-karya dari Jokpin telah diterjemahkan dalam bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, Mandarin dan sebagainya.

Lantas apakah Buku Perjamuan Khong Guan?

Perjamuan Khong Guan merupakan buku kumpulan puisi karya Joko Pinurbo. Buku ini dicetak dan diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 2020, dengan tebal ± 130 halaman. 



Dalam buku tersebut kurang lebih terdiri dari delapan puluh puisi dan dibagi menjadi empat bagian. Empat bagian itu disebut sebagai Kaleng Satu, Kaleng Dua, Kaleng Tiga, dan Kaleng Empat. Tiap kaleng sedikitnya kira-kira terdiri delapan belas puisi dan di Kaleng Empat pada bagian Perjamuan Khong Guan terdiri dari 22 puisi.

Kalau teteman cermati cover bukunya pastilah sudah enggak asing ‘kan dengan kaleng biskuit legendaris Khong Guan? Memangnya siapa sih yang enggak tahu biskuit kalengan itu?

Seperti yang teteman perkirakan, buku kumpulan puisi ini terinspirasi dari gambar (kisah) Khong Guan. Kalau enggak salah dulu sempat menjadi buah bibir di kalangan warganet, tentang keberadaan sang ayah mereka ‘kan? Nah dalam buku puisinya ini, Joko Pinurbo mencoba menjawab keberadaan sang ayah dengan cara yang cukup unik. 

Namanya juga penyair, pastinya Jokpin mempunyai gaya interpretasi dan imaji sendiri untuk menggambarkan ayah dalam Kaleng Khong Guan. Tahu enggak teteman, bagaimana cara Jokpin menginterpretasikan keberadaan ayah dalam puisinya?

Berikut saya tuliskan salah satu puisi dalam Kaleng Keempat.


Puisi Perjamuan Khong Guan karya Joko Pinurbo


Di kaleng khong guan 

hidup yang keras dan getir 

terasa renyah seperti rengginang.


Berkerudung langit biru, 

ibu yang hatinya kokoh membelah 

dan memotong-motong bulan 

dan memberikannya 

kepada anak-anaknya yang ngowoh. 


Anak-anak gelisah 

sebab ayah mereka 

tak kunjung pulang. 

“Ayahmu dipinjam negera. 

Entah kapan akan dikembalikan,” si ibu menjelaskan. 


Lalu mereka selfi di depan 

meja makan: “Mari kita bahagia.”


Si ayah ternyata sedang ngumpet 

menghabiskan remukan rengginang.


Perjamuan Khong Guan (2020:102-103)


Bukan hanya membahas keberadaan ayah, tapi dengan jenaka sang penyair mencoba menafsirkan ‘pemaknaan’ peran Kaleng Khong Guan pada masyarakat. Salah satu contohnya bagaimana makna kaleng Khong Guan digunakan sebagai simbol kerinduan untuk pulang ke kampung halaman. Di samping itu, juga sebagai tanda. Seperti yang telah kita ketahui, kalau sudah muncul iklan-iklan di televisi seperti iklan sajadah, sarung, iklan sirop artinya ramadan tidak lama lagi dirayakan. 

Selain itu, saya menemukan beberapa puisi yang mengandung ironi. Ya, sebuah ironi yang merefleksikan peradaban dan perkembangan teknologi masa kini. Dulu (ataupun bisa jadi juga menjadi masa kanak-kanak teteman), lebaran menjadi salah satu momen “mendekatkan diri” atau quality time bersama keluarga besar – bercengkerama dengan nenek, kakek, dan saudara lainnya.

Nyatanya kini kedekatan itu terhalang dengan adanya teknologi bernama gawai. Meski ada saja yang mengatakan teknologi itu serba bisa dan memudahkan dalam berbagai hal, komunikasi jarak jauh misalnya. Namun teknologi tidak bisa mendekatkan satu emosi dengan emosi lainnya. Ya, ini memang pendapat saya. Komunikasi bukan soal tulisan (chatting, japri, mengirim pesan), berbicara (menelepon), gestur (panggilan video), tapi komunikasi itu tentang menyatukan emosi melalui cengkerama satu jiwa dengan jiwa lainnya.

Btw Perjamuan Khong Guan cukup enak dinikmati. Buku ini merupakan karya Jokpin yang pertama saya baca, berhasil mengocok perut dan mengaduk-aduk perasaan (meski dengan keabsurdannya). Awalnya memang saya bertanya-tanya, puisinya kok beda yaa, unik dan mempunyai nyawa sendiri. Sehingga saya teringat dengan perkataan Raditya Dika. “Tidak ada yang benar di dalam seni, yang ada hanyalah apa yang paling membuat kamu nyaman dalam berkarya”. Mungkin memang seperti inilah, cara Jokpin berkarya. Toh, enggak ada yang salah dengan sastra.