Ada perasaan yang enggak bisa saya jelaskan ketika membaca novel ini. Antara kasihan, lucu dan bergumam “Oh, begitu susahnya hidup ini” dan sebagainya. Meski adakalanya bahagia dan sedih menjadi bumbu dalam berbagai konflik sebuah cerita. Akan tetapi dalam novel ini, lebih banyak menjumpai kisah pedih daripada bahagia.
Pada awalnya, mungkin pembaca masih bisa ikut tertawa mengikuti perjalanan sang tokoh dari kecil hingga remaja. Namun semakin menyelisik dan ikut menyelami kehidupannya; barang kali Teteman pun akan merasakan usaha keras yang dipikul sang tokoh; mengenai kepura-puraannya menjadi manusia.
Novel Orang Gagal adalah karya dari Osamu Dazai. Pengarang dengan nama asli Tsushima Shuji ini adalah seorang pengarang novel dan cerita pendek yang lahir di Prefektur Aomori. Dia adalah pengarang dari zaman Showa dengan gaya autobiografi. Pengarang yang lahir pada 19 Juni 1909 ini juga menulis naskah sandiwara dan dongeng. Pada 13 Juni 1948, Dazai ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa bersama kekasihnya, setelah menenggelamkan diri ke Sungai Tama.
Identitas buku
Judul Novel : Orang Gagal
Pengarang : Osamu Dazai
Penerbit : BASABASI
Cetakan : I, Januari 2020
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tebal : ± x + 116 hlm.
Novel Orang Gagal bercerita tentang perjalanan hidup seorang pemuda bernama Oba Yozo. Dia merasa gagal menjadi manusia karena tidak bisa menjalani hidup sebagaimana semestinya manusia. Ketakutan terhadap ekspetasi dan penilaian orang di sekitarnya, membuat dia hidup dalam kepura-puraan dan menganggap apapun akan dilakukannya selama bisa membuat orang lain tertawa dan bahagia.
Sejak kecil hidupnya penuh sandiwara. Dia suka melakukan lelucon untuk mengambil hati orang-orang. Tidak peduli dengan tanggapan yang kadang didapat sebagai anak bodoh sekalipun. Bagi Yozo, setidaknya begitulah cara dia menikmati hidup.
“Aku yakin bahwa hidup manusia dipenuhi contoh kebohongan yang baik, gembira dan tenang. Jenis kebohongan yang paling mengagumkan–dipenuhi orang yang saling menipu (anehnya) tanpa melukai, dipenuhi oleh orang-orang yang kelihatannya tidak sadar bahwa mereka saling menipu.”
Hingga saat dia merantau untuk melanjutkan pendidikan, kebiasaan melawak dan tidak jujur masih mempengaruhinya. Dalam hal ini dia bertemu dengan seseorang yang “dianggapnya” paling mengerti dirinya dari orang-orang. Sejak itu dia mulai membolos dan menggunakan uang sehari-hari untuk berfoya-foya di klub malam. Bahasa sederhananya, Yozo salah bergaul.
Kebiasaan Yozo bertambah buruk, dia tidak bisa lagi hidup tanpa minum-minum. Pernah disuatu ketika dia mencoba bunuh diri dengan sang kekasih, tapi dia selamat dan kekasihnya meninggal. Kejadian itu kembali membelenggu hidupnya. Bercarut-marut pula pikirannya, hubungan dengan keluarganya dan tentang dirinya sebagai manusia.
Hingga suatu ketika dia bertemu dengan Yoshiko. Kehadiran Yoshiko memang sempat membuat Yozo menjadi orang waras. Dia cukup bertanggung jawab kepadanya. Akan tetapi Yozo kembali kepada kebiasaan lamanya sebagai orang peminum yang cukup gila. Walhasil kebiasaannya kali ini membuatnya dibawa ke rumah sakit jiwa, sebab dia sudah mulai berhalusinasi.
“Aku bukan lagi penjahat–aku adalah orang gila. Tapi tidak, tentu aku tidak gila. Aku tidak pernah sekejap pun merasa gila. Aku tahu, katanya orang paling gila juga berkata demikian. Artinya adalah orang-orang yang ditempatkan dalam rumah sakit jiwa itu gila, dan orang yang tidak adalah normal.”
Bagi saya, novel ini penuh refleksi tentang kehidupan baik dari sisi pengarang dan kehidupan nyata masa kini. Sang tokoh Yozo yang mencoba bunuh diri pun pernah dilakukan pengarangnya, meski pada akhirnya Osamu Dazai dinyatakan meninggal akibat percobaan bunuh diri.
Adakalanya saya berpikir novel ini pun termasuk dalam kritik sosial masa kini. Novel ini termasuk refleksi dalam kehidupan masa kini, ketika sudah banyak orang yang menjadi orang lain; berpura-pura bahagia untuk orang lain. Sebuah krisis identitas yang dituangkan dan diilustrasikan oleh pengarang masa lampau. Cukup aneh, menggelitik dan mengkhawatirkan. Namun saya pun tak bisa memungkiri. Toh, tujuan media sosial memang untuk ajang pamer!
Well, dari semua sisi yang telah saya uraikan mengenai novel ini, ada satu kesadar-dirian sang tokoh yang cukup membuat terenyuh. Satu pertanyaan Yozo kepada Tuhan tentang kepasrahannya dalam menjalani hidup. Saat dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi manusia dan telah berhenti menjadi manusia.
“Tuhan, aku bertanya padamu, apakah pasrah adalah dosa?”
Pengakuan dan penyesalan yang dialami Yozo pun, tanpa sadar menumbuhkan pula berbagai pertanyaan kepada saya. Ada beberapa hal dari pengakuan dan penyesalan tersebut yang saya setujui dan benarkan. Kalau Teteman sudah membaca novel ini, saya kira ada yang akan berterima dengan pernyataan tersebut. Dari novel ini saya banyak bercermin. Bila hidupnya manusia di dunia yang fana ini, tidak pernah luput dari rasa sesal.
0 Comments