[Puisi]: Perjalanan (sudah diterbitkan dalam antalogi puisimini mega makna oleh Penerbit Bebuku)




Waktu mengharuskan pengemudi berhenti
Sedangkan jalan tetap pada posisi
Namun kendaraan itu akan terus melaju
Tanpa harus ada pemandu
Para penumpang pun akan terbiasa
Ini bukanlah hal biasa
Apalagi sebuah takdir sederhana
Tapi, inilah potret kemenangan


Apakah Masa Depanku Mati Karena Bahasa?

Benarkah lulusan Bahasa bisa masuk perguruan tinggi negeri? Ya Allah, betapa mirisnya hati ini saat mendengarkan pertanyaan serupa. Apalagi, pertanyaan itu datang dari adik kelas sendiri yang baru duduk di bangku kelas sebelas.

Mereka yang terpaksa masuk Bahasa merasa jengah kepada teman-temannya, yang bisa masuk jurusan yang diingini. Mungkin karena itu, mereka sangat minder dan memunculkan pertanyaan serupa.

“Setelah kalian kuliah dapat satu bulan. Ibu minta tolong untuk memotivasi adik-adik kalian, karena mereka masih menopangkan dagu.” Sebagai wali kelas, ini akan menjadi masalah tersendiri. Sosok yang dulu sering memotivasi saya dan teman-teman sekarang malah minta tolong. Sebegitu tidak percayakah mereka terhadap Bahasa? Bukankah kesuksesan itu bukanlah dari jurusan, melainkan kemauan individu itu sendiri?

Dengarlah adik-adikku, mungkin kalian tidak percaya diri dengan julukan ‘anak buangan’ yang sering didengar. Sebagai alumni, saya juga sering mendapatkan perlakuan dengan sebelah mata. ‘Mereka-mereka’ memang bisa dengan mudah meremehkan. Namun apa pentingnya, apa untungnya itu untuk kalian? Ingatlah bahwa, belum tentu yang meremehkan itu lebih baik dari kalian, belum tentu mereka sukses dulu dari kalian. Dan yang harus kalian lakukan sekarang adalah menerimanya dengan ikhlas. Yang Maha Pemberi Rezeki tidak akan pernah salah memberi nikmat-Nya. Selama kalian berdoa, berusaha, dan percaya dengan tekad yang kalian miliki, saya yakin meskipun dari jurusan manapun kalian akan sukses nantinya.

Jika kalian masih bertanya dan tidak percaya apakah lulusan Bahasa bisa masuk perguruan tinggi negeri? Tentu saja bisa. Akan tetapi diselingi oleh banyak doa dan usaha tentunya. Teruslah berjuang adik-adikku. Jadikan itu semua sebagai energi positif kalian. Teruslah gapai mimpi. Ingatlah, kesuksesan tidak datang dengan sendirinya. Jemputlah ia dengan doa, usaha, dan tekad yang kalian miliki. Ganbatte!!!



Probolinggo, 3 Agustus 2016


Tanyaku

Ini adalah detik-detik terakhirku di kota orang. Sudah tiga tahun dan waktunya untuk kembali merangkul kehidupan yang sebelumnya. 

Namun kenapa dengan kaki ini? Bukankah seharusnya akan lebih ringan untuk dilangkahkan? Ah! Apa yang kualami membuat teringat pada salah satu gurindam karya Raja Ali Haji. 
Hati kerajaan di dalam tubuh, jikalau lalim segala anggota pun rubuh". 

Maksudnya adalah bahwa hati pengontrol tubuh, jika hati sakit maka tubuh pun ikut sakit.

Lantas  sekarang, apakah hatikulah yang tengah membeku? Sehingga membuat kaki ini kaku dan enggan untuk dilangkahkan? 

Oh, jika benar demikian, apakah aku tengah menikmati kehidupanku di sini dan enggan untuk kembali?



#April.Probolinggo.16

[Cerpen]: Bingkisan Abadi (Sudah diterbitkan dalam antalogi cerpen Bunga Abadi oleh Penerbit Rumahkayu Indonesia)

       


“Nanti saja Bun,” serunya malas yang masih sibuk dengan tayangan televisi. Namun setelah dia mendapati bundanya kembali sambil membawa benda yang tak asing lagi, dia langsung beranjak. Dia tergopoh-gopoh, meskipun masih dengan perasaan malas.“Bunda jahat,” gerutunya sembari berjalan ke kamar mandi.

Tidak ada gunanya membantah maupun berdalih, bila seseorang yang sering dipanggilnya bunda ini sudah berseru mengeluarkan titahnya. Bahkan seperti tak ada kata kelembutan, kehangatan yang biasa dia dengar dari lagu-lagu maupun bacaan dari media massa. Tidak. Itu hanya omong kosong, pikirnya. Jika memang kelembutan itu bercirikan dengan seorang bunda, bukankah bunda seharusnya bersikap seperti itu? Tetapi ini malah menganggangkat tangan kanannya dengan sebuah sapu kadang-kadang kemoceng dan bahkan benda sejenisnya.

Satu lagi. bundanya terlalu pilih kasih. Mengapa selalu dia yang mendapatkan pukulan itu? Kakaknya juga sedang menonton televisi, tapi tidak apa-apa. Bahkan kakaknya kadang tersenyum simpul, saat bundanya mulai membawa benda itu di tangan kanannya, cuek dan suka mengejeknya saat senja mulai datang. Apa karena perbedaan usia? Memang kakaknya terlihat gadis yang pandai. Tentu saja sebab dia beda sepuluh tahun dengannya. Lalu apa masalahnya? Kenapa seseorang yang disebutnya bunda selalu bersikap berbeda kepadanya?

Beberapa bulan kemudian anak berusia sembilan tahun itu baru pulang dari sekolah. Baru masuk, dia mendapati bundanya tengah menyibukkan diri dengan sebuah cat kayu berwarna biru tua. Lama dia memandangi bundanya yang sesekali menorehkan kuas ke berbagai perabotan rumah tangga. Heran dan penasaran, lalu dia berusaha memastikannya.

“Sedang apa Bun?” tuturnya tak kuat lagi menahan rasa penasaran. Bundanya tak segera menjawab, sehingga membuat gadis yang masih berseragam coklat itu berjongkok memperhatikan.

“Ini, sedang memberi nama pada perabotan-perabotan,” jawabnya tanpa beralih sedikit pun pada gadis yang baru datang itu. 

“Tapi... Kok?” serunya heran saat menemukan namanya di berbagai perabotan itu. “tapi kenapa semuanya ditulis nama Ita? Kenapa bukan nama bunda, kakak, atau ayah?” lanjutnya menuai pertanyaan.

“Karena nama Ita lebih mudah ditulis.” Gadis yang dikenal bernama Ita–itu pun hanya bisa mengangguk setelah mendapatkan jawaban dari bundanya. Benar juga kata bunda, nama Ita memang mudah ditulis. Apalagi di perabotan-perabotan itu hanya ada huruf ‘It’ tanpa berakhiran ‘a’.

“Segeralah ganti pakaian, lalu makan.” Mendapatkan perintah itu, dia langsung beranjak ke kamarnya.

Sang surya telah tergelincir tiga puluh menit yang lalu. Azan magrib juga telah terdengar dari masjid yang tak jauh dari rumahnya. Seperti biasanya, dia dan kakaknya sedang menonton televisi.

“Salat magrib dulu Ta” seru bunda yang tengah berjalan menghampiri keduanya.

“Tanggung Bun, bentar lagi acaranya juga selesai,” serunya tanpa melirik sedikitpun pada bundanya. Mendengar jawaban dari anaknya, ibu dua anak itu beranjak tanpa meninggalkan kata-kata.

Selang sepuluh menit, ibundanya kembali menyuruh Ita untuk salat. Namun dia kembali menjawab dengan jawaban yang sama. Begitu pula untuk ketiga kalinya, bunda  kembali menyuruhnya salat, dan apa jawabannya?

“Nanti saja Bun salatnya,” serunya dengan malas, masih menonton televisi.  Tak ada pembicaraan lagi setelah itu. Namun beberapa detik kemudian, seseorang yang disebutnya bunda itu membawa sapu ijuk di tangan kanannya.

“Bunda boleh melakukan kekerasan karena kamu sudah berusia sembilan tahun, juga sudah memperingatimu tiga kali berturut-turut. Ayo! Mau salat apa tidak?” perintah bunda dengan mengangkat tangannya dengan nada suara yang tak kalah menakutkan. Tanpa berdalih apa pun, Ita langsung beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. “Jahat! Bunda jahat,” gerutunya dalam hati.

Selesai salat magrib, seperti biasa juga bundanya sudah menunggu Ita di ruang tengah. Dia seperti berat hati melangkah mendekati seseorang yang telah melahirkannya itu. Apa lagi dengan satu eksemplar buku berwarna coklat tua yang berada tepat di hadapannya. “Ah, pasti....” belum selesai dia berbicara dalam hati, bundanya sudah memanggilnya untuk segera mendekat. 

“Ayo buka iqra-nya. Sampai mana tadi malam?” nada pertanyaan bunda memang terdengar lembut, tapi itu malah membuat Ita ketakutan. Entahlah, tetapi saat-saat seperti inilah bunda tak seperti bunda yang biasanya. Apalagi saat mendengar bunda melantunkan ayat suci-Nya, sangat berbeda, wajah bunda terlihat lebih tenang, juga suaranya yang terdengar menenangkan.

Lima belas menit telah berlalu, tanpa diperintah lagi Ita berjalan ke kamarnya untuk belajar. Dia takut menciptakan emosi bundanya lagi. Dia tidak ingin mendengar kalimat-kalimat mengerikan dari bibir bundanya. Sudahlah, cukup. Namun beberapa langkah dia beranjak, suara ibunda membuatnya terhenti.

“Besok bunda akan mengantarmu ke surau,” tutur bunda tanpa melepaskan kitab suci dari kedua tangannya.

“Ita tidak mau Bun,” sergahnya segera.

“Tapi bunda ingin kamu mengaji di sana.” Mendengar ucapan bundanya, Ita hanya bisa diam, karena percuma bila dia menyela untuk menolak permintaan seseorang di hadapannya. Percuma. Lalu dia memilih untuk beranjak kembali tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Surau. Memang tidak ada kata yang salah dengan nama itu. Akan tetapi mengapa kata surau seolah menjadi alergi untuk Ita? Apa alasan dia tidak menyukainya? 

Benar, sudah lama pula teman-temannya mengajaknya ke surau, tapi tak pernah dia indahkan. Bukankah anak seusianya paling senang bila berkumpul dengan teman-teman sepermainan? Namun kali ini berbeda bagi Ita. Dia malah sebaliknya paling tidak suka berinteraksi, apalagi bertemu banyak orang. Baginya, rumah adalah segalanya.

Seperti yang sudah direncanakan, menjelang surya tenggelam Ita dan bundanya pergi ke surau. Dia hanya mengekori bundanya sebelum benar-benar duduk tenang bersama teman lainnya.

“Bunda akan menjemputmu setelah salat isya.” dengan setengah hati Ita mengangguk, memandanginya yang semakin menjauh.

Di surau, Ita tak hanya diajari mengaji. Kadang selesai mengaji akan diisi bercerita terutama tentang dunia Islam. Bercerita atau mendengarkan cerita yang dia sukai? Tentulah yang kedua. Dia lebih suka mendengarkan dan terbilang tak banyak bicara. Sesekali tersenyum juga tertawa ketika ada teman-temannya tanpa sengaja sedang melucu. Memang masih belum sepenuhnya dia nyaman, tetap setengah hati melakukannya. Kalau bukan karena bundanya, mungkin dia tidak akan ada di tempat ini.

Sore yang cerah menawan. Tak henti-hentinya Ita menyunggingkan seutas tarikan hangat di sudut bibirnya. Tentu saja bukan karena bundanya sedang sakit, tapi karena dengan begitu dia memiliki alasan untuk tidak pergi ke surau sore ini.

“Pergilah ke surau Ta,”  tutur bunda ketika Ita dan kakaknya duduk di tepi ranjang sambil memijati bunda yang berbaring lemah. Ita hanya bergeming melanjutkan memijat bunda.

“Pergilah ke surau Ta,” perintahnya lagi yang mendapati Ita seolah tak mendengarkan. 

“Ita ingin di sini saja menemani bunda.”

“Sudah ada kakak yang akan menemani bunda.”
“Lalu, siapa nanti yang akan menjemput Ita? Bunda ‘kan sakit,” jawabnya mencari alasan.
“Ada ayah, kakak.” kali ini Ita hanya bisa menghela napas panjang. Dia tidak bisa berdalih lagi dengan bundanya. Dengan segera dia beranjak dari ranjang, bersiap-siap pergi ke surau.

***

“Kenangan yang mengesankan Bunda, bukankan begitu? Mengingat uluran masa lalu serasa ingin kembali mengulanginya. Sebuah pukulan sapu ijuk saat menjelang salat magrib, titah Bunda yang mengharuskan Ita berangkat ke surau dan perabotan-perabotan rumah tangga bernama Ita, hanya bisa diingat sesekali.

Tahukah Bunda? Ita merindukan semua itu. Ita rindu dengan nasihat-nasihat yang membuat Ita tak bisa berdalih, suara Bunda yang menenangkan ketika melantunkan ayat suci-Nya, wajah dan ekspresi Bunda, emosi, semua tentang Bunda–Ita rindu. Apa yang harus Ita lakukan untuk menghapus ukiran rindu ini Bunda? Hanya rentetan kenangan ini yang Ita miliki, itu pun sangat terbatas dan Ita tidak bisa melukisnya lagi bersama Bunda.

Namun bagaimana pun kondisinya, terima kasih Bunda. Kali ini Ita mengerti arti dari benang-benang sulaman Bunda. Bahkan sampai saat ini, sulaman Bunda masih terlihat indah. Bunda adalah penyulam terhebat yang pernah ada. 

Ita tak menyangka tentang kenangan sembilan tahun silam. Memori yang sangat kental dalam akal juga terpatri dalam jiwa, sudah mengajarkan Ita banyak hal.

Mulai detik ini, Ita berjanji akan selalu menjaga benang sulaman Bunda. Ita akan menjaganya, sampai kita bisa bertemu kembali mengukir canda tawa seperti dulu. Kembali mendengarkan nasihat-nasihat Bunda yang akan kembali menjadi kenangan, di tempat paling indah–yang  tiada duanya di dunia.

Bunda, sekali lagi terima kasih.”
Salam rindu dari anakmu,

-Ita.

Menuang Rindu

"Izinkan kuungkap segala rasa dan kerinduan."

 # Kerispatih - Lagu Rindu


Sepi dan berbeda masih belum menghilang. Seperti waktu itu, ternyata seisi rumah juga ikut merasakan.

Kau tahu, aku rindu suara lembutmu. "Ik bangun sahur, hari ini mau puasa apa tidak?" begitulah kau menanggapiku yang masih pulas melingkar berselimut tebal. Kau tak pernah memaksa dan selalu memberiku pilihan.

Ini adalah yang ketujuh kalinya, kau tak lagi membangunkanku. Kini yang terdengar adalah suara ketukan pintu dari bapak dan bunyi alarm sebagai penggantinya.

Sungguh sayang, aku kembali rindu saat berbuka puasa. Kau siapkan lauk-pauk lengkap dengan sambal pedasnya. Takjil dengan berbagai rupa. Satu hal yang paling kurindu adalah masakanmu yang selalu membuat perutku tertawa.

Saat dipertengahan bulan, aku kembali tak melihat oven yang kerap kali menemani kesibukanmu. Bahkan aku tak merasakan keberadaan telur, mentega, gula dan bau vanili yang biasanya tercium menggoda.

Tak ada lagi rendang yang kau hidangkan di meja makan menjelang salat idul fitri. Sagon, pastel kering yang dulu kau pajang di ruang tamu, kini pun juga ikut absen. Apalagi silaturahmi bersama yang setiap tahun kita lakukan di rumah nenek.

Semua menjadi hilang begitu saja. Mereka seolah mengikutimu pergi. Tak ingin tinggal, yang membuatku merindu di sini.


Kakek yang "Ramah"

Benar kata pepatah, jangan lihat orang dari luarnya. Kamis pukul 08.30 WIB, aku berangkat ke sekolah sebab ada jadwal ujian di jam 3 dan 4 pukul 09.00 WIB. Dalam perjalanan tak sengaja berpapasan dengan seorang kakek (entah siapa) yang tiba-tiba menyapa sangat ramah.

"Kok pagi berangkatnya?" ungkapnya sembari menahan tawa. 

Hebat sekali kakek ini, tahu saja kalau hari ini aku ada ujian Sastra Indonesia. 😑


Probolinggo, 5 Desember 2015



Fyi"Kok pagi berangkatnya?" merupakan salah satu contoh  bentuk kalimat majas satire. Majas satire merupakan majas sindiran dengan menggunakan kata-kata yang cukup halus. 

Contoh Kritik Film “5 cm”

Judul Film       : 5 cm
Sutradara         : Rizal Mantovani
            Rizal Mantovani adalah seorang sutradara Indonesia. Lahir di Jakarta, 12 Agustus 1967. Dia dikenal karena menyutradarai beberapa video klip, dan film layar lebar. Dia berdarah Minangkabau, seorang putra pasangan Mohammad Saleh dan Widji Andarini.
         Dia juga pernah menulis skenario bersama Jose dan  Adi Nugroho yang  berjudul “Jelangkung.” Film berdurasi 102 menit ini diburu penonton dan menjadi film nasional pertama yang menembus pertunjukan sampai 13 kali putar di Pondok Indah Mall.
            Genta adalah seorang pemuda yang percaya dengan impiannya. Seorang yang pekerja keras, juga sangat peduli pada lingkungannya. Genta bisa mengubah persahabatannya dengan tidak biasa. Yang biasanya hanya nongkrong di halaman belakang rumah Arial, diganti dengan sebuah petualangan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup.
            Film “5cm” membawa pulang empat penghargaan di Festival Film Bandung (FFB) 2013 yang digelar di Lapangan Gasibu Bandung, Sabtu 15 Juni 2013. Kategori penghargaan yang diraih pun begitu bergengsi, yaitu Film Terpuji, Sutradara Terpuji, Penata Editing Terpuji dan Penata Kamera Terpuji.
            Cerita ini berawal dari persahabatan yang hampir menginjak sepuluh tahun. Dan tanpa satu akhir pekan pun mereka lewati untuk berkumpul bersama. Dari kelima sahabat itu yang pertama adalah Arial, dia bertubuh besar, keren, baik, bila bertemu dengan perempuan dia selalu gugup, karena dia belum pernah berpacaran, dan kebiasaannya kalau makan harus tersedia kecap. Kedua Ian, dari kelima persahabatan ini, hanya Ian yang belum menyelesaikan skripsinya. Alasannya dia suka bermain game, tiap hari makan mi instan, dan yang terakhir suka nonton film porno. Ketiga Riani, teman paling cantik di tongkrongan persahabatan ini. Saat ada yang makan indomie, dia pasti akan meminta kuahnya. Keempat Genta, seorang manusia dengan impiannya. Dia percaya dengan kerja keras, karena akan ada saatnya mimpinya menjadi kenyataan. Banyak wanita yang mendekati Genta, tapi hanya ada satu orang yang ada di hatinya. Dan yang terakhir Zafran, manusia yang paling percaya dengan kekuatan impiannya, manusia yang penuh cinta, dia juga orang humanis, idealis, pengejar mimpi. Dan menurut Zafran, puisi, musik adalah keindahan.
            Di tengah gemerlapnya Kota Jakarta, kelima sahabat itu terlihat baru saja keluar dari  kedai selesai makan malam bersama. Mereka langsung masuk ke sebuah mobil berwarna hitam yang tengah terparkir di depan kedai mereka makan. Dan tak lama kemudian, mobil itu melaju ke tempat biasa mereka berkumpul, di mana lagi kalau bukan rumah Arial.
            Halaman belakang rumah Arial adalah tempat biasa mereka mengobrol yang ditemani singkong keju. Dan kebiasaan Zafran yang sambil memetik gitar matanya terus memandangi jendela kamar Arinda–adik Arial yang lampunya sudah tak bercahaya. Ketika Arial melihat mata Zafran yang penuh harap itu, dia berkata kalau sekarang Arinda pasti sudah tidur. Namun Zafran berdalih bahwa belum tentu Arinda tidur meskipun kamarnya sudah gelap, dia yakin pasti Arinda dapat mendengar suara petikan dari gitarnya.
            Suasana menjadi hening sejenak, sebelum Genta bersuara. Genta bilang mempunyai mimpi, mimpinya adalah mereka akan tetap bersahabat dan akan masih berkumpul meski sudah berkeluarga. Dan sejurus kemudian, dia membenarkan posisi tempat duduknya sembari menatap keempat temannya saat dia mengusulkan kepada mereka, untuk tidak bertemu dalam beberapa bulan. Usulan itu langsung dibantah Riani, namun Zafran, Arial apalagi Ian setuju dengan usulan itu. Alasan Ian adalah dia ingin menyelesaikan skripsinya, sedangkan sisanya–mereka ingin mengejar mimpi yang belum selesai, dan mencari mimpi-mimpi yang lain. Setelah mendengarkan alasan dari teman-temannya, akhirnya Riani juga setuju. Dan dalam tiga bulan ke depan, mereka tidak boleh berkomunikasi lewat apa pun sampai tanggal 14 Agustus.
Satu bulan kemudian
            Seperti keinginan Ian sebelumnya, dia sedang giat-giatnya mengerjakan skripsi. Ian langsung menemui Pak Sukanto Legowo setelah menyelesaikan bab dua selama empat hari. Ternyata Pak Sukanto tak banyak berkomentar, dia langsung menyuruh Ian untuk mencari data dan membuat kuisioner penelitian, karena menurut Pak Sukanto ini bagian yang paling berat.
            Ternyata benar kata Pak Sukanto, direksi kantor yang mau diteliti Ian tiba-tiba tidak mengizinkan kuisionernya, padahal sudah hampir terisi semua. Ian hanya bisa pasrah saat bertemu dengan Pak Sukanto keesokan harinya. Syukurlah, Pak Sukanto memberi saran untuk meneliti perusahaan yang tak jauh dari kampusnya. Namun sayangnya, lagi-lagi Ian gagal. Perusahaan itu sama sekali tidak mengisi kuisionernya dan hanya terkatung selama seminggu di dalam kolong meja resepsionis. Kali ini Ian sangat putus asa, hampir saja dia memencet nomor ponsel Genta dan Zafran untuk meminta bantuan, dan sampai-sampai dia tidak menghiraukan seseorang yang meminta bantuan kepadanya. Dengan perasaan yang masih sama, akhirnya Ian memutuskan membantu orang itu yang ternyata seorang HRD yang juga sedang mencari penelitian tentang SDM seperti Ian. Walhasil, keduanya pun saling bekerja sama.
            Lain cerita dari Zafran dan Arial yang masih berusaha mengejar mimpinya. Zafran berusaha mendekati Arinda yang masih bersikap datar, sedangkan  Arial berusaha mendekati Indi yang sering mengajaknya kenalan tiap di tempat fitness. Sedangkan Genta dan Riani, keduanya sibuk dengan pekerjaan di perusahaan.
            14 Agustus telah tiba, mereka bertemu di Stasiun Pasar Senin pukul dua siang. Di tengah kegembiraan mereka di kereta, dengan sengaja Ian menjatuhkan sepucuk kertas yang berisi surat sidang skripsinya yang dia dapat dari Pak Kanto setelah bertemu HRD waktu lalu. Dengan gembira, mereka mengucapkan selamat kepada Ian, saking senangnya sampai-sampai Arial menghamburkan makanan ringan ke arah Ian, dan anggota baru mereka–Arinda hanya tersenyum melihat kebahagiaannya.
            Setelah sehari semalam berada dalam kereta, dan sehari mereka menaiki jip. Akhirnya mereka sampai di Ranu Pane pada malam hari. Mereka mendirikan tenda di sekitar Ranu Pane, dan keesokan harinya mereka telah siap mendaki puncak tertinggi di Jawa, Mahameru.
            Seperti yang dialami para pendaki pada umumnya, mereka mengalami banyak rintangan. Dengan jalan setapak yang tidak selalu mulus, membuat tungkai kaki kanan Zafran berdarah. Mereka juga kehabisan perbekalan, pendakian yang semakin mendekati Puncak Mahameru pun membuat mereka kesulitan bernapas. Ketika mereka kembali mendaki pada jam dua malam setelah mengisi energi di Arcopodo, tiba-tiba Arial menggigil yang membuat semua sahabatnya panik tak terkecuali Arinda, adiknya. Namun, karena semangat dan kekuatan persahabatan mereka, mereka berhasil mendaki, dengan memandang terbitnya matahari 17 Agustus, juga mengibarkan sang merah putih di Puncak Mahameru.
            Film “5cm” bisa menumbuhkan rasa nasionalisme, mengajarkan kepada kita untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi. Dalam kutipan filmnya saat mereka berusaha mendaki Puncak Mahameru, meski harus mempertaruhkan nyawa untuk mengibarkan bendera merah putih di puncak tertingi di Jawa.
            Saat mereka dalam perjalanan menuju Malang, ketika itu Ian sengaja menjatuhkan sepucuk kertas yang berisi surat sidang skripsinya, yang membuat mereka mengucapkan selamat kepada Ian, namun saking senangnya membuat Arial menghamburkan makanan ringan ke arah Ian. Tetapi seharusnya, meluapkan rasa senang tidak harus menghamburkan makanan, tapi mengucapkan rasa syukur kepada Sang Pencipta.
            Selain “5cm”, Assalamualaikum Beijing saat ini juga sudah menjadi tema film yang digemari. Film ini bercerita tentang kesabaran, keyakinan, ketulusan juga kesetiaan.


Contoh Paragraf Analogi “ Orang tua dengan Rumah”

Orang tua dapat diibaratkan dengan sebuah rumah. Rumah adalah tempat kita bernaung dari teriknya mentari dan hujan. Sedangkan orang tua adalah pelindung anak-anaknya dari badai kehidupan. Rumah yang dibangun dengan tiang-tiang yang kokoh akan menciptakan kedamaian, begitu pula dengan orang tua yang bijaksana akan membuat kita merasakan ketenangan. Jadi, orang tua yang bijaksana sama halnya dengan rumah dengan tiang-tiang yang kokoh.


Resensi Novel Aku Sadar, Aku Gila karya Bahril hidayat Lubis


Identitas Buku :

Judul Novel                 : Aku Sadar, Aku Gila

Pengarang                   : Bahril Hidayat Lubis

Penerbit                       : Zikrul Hakim

Cetakan                       : I, Mei 2007

Tempat Terbit              : Jakarta Timur

Tebal                           : 160



Kepengarangan:

Penulis bernama lengkap Bahril Hidayat Lubis. Lahir dan dibesarkan di Pekanbaru, Riau pada 5 Mei 1979. Ia pun telah menamatkan studi S1 di jurusan Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

Penulis aktif di dunia menulis dan akademik. Ia pernah meraih Peringkat Terbaik I Lomba Menulis Artikel Islam Tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh L-Data Jakarta (2002), Terbaik I Mahasiswa Berprestasi dalam Psikologi UII Award Bidang Publikasi dan Komunikasi (2002), dan penghargaan lainnya. Penulis juga pernah menjadi konselor anak jalanan perempuan yang rentan (2001-2002) pada salah satu LSM di Yogyakarta.

Pada tahun 2001 menulis buku tentang Dialektika Psikologi dan Pandangan Islam yang diterbitkan tahun 2002 oleh UNRI Press. Di awal 2006, ia menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Saatnya “Aku” Tak Lagi Ada diterbitkan oleh Alenia, Yogyakarta. Kemudian Penerbit Fahima Yogyakarta menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul Cinta di Atas Cinta pada April 2006.

Penulis juga aktif di keanggotaan Asosiasi Psikologi Islam (API) sebagai Anggota Biasa ( 2003-sekarang) yang berpusat di Yogyakarta dan pernah mengajar di Fakultas Psikologi UIN Suska Pekanbaru (2004-2005). Pada September 2005, ia merumuskan dan mempresentasikan Teknik Terapi Identifikasi di Temu Ilmiah Nasional Asosiasi Psikologi Islami di Yogyakarta, sebuah pendekatan psikoterapi yang disusun berdasarkan pengalamannya dalam menundukkan keganasan psikosis.

 

 Sinopsis:

Bahril Hidayat adalah seorang yang terbilang pintar, disaat dia berusia 12 tahun, dia berhasil mendapatkan NEM tertinggi bahkan ia menjadi juara umum waktu kelas enam di SDN 011 Pekanbaru, Riau 1991.

Waktu semakin berputar, dan Bahril kini tengah duduk di bangku SMA. Memang Allah telah menganugerahkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional secara baik dan mapan kepada Bahril. Tetapi penyebabnya hanya satu , dia menyalah gunakan narkoba dan minuman keras pada masa remajanya.

Semua itu berawal dari kebiasaannya yang menghirup bensin dan lem selama SD hingga SMP, yang membuat kenakalannya semakin meningkat. dia mulai mengenal minuman keras, dan masa SMA adalah masa kejayaan menurutnya.

Setelah lulus SMA, berangkatlah dia ke Yogyakarta. Dua malam Bahril menginap di hotel, akhirnya dia menemukan satu rumah kos yang berjarak 500 meter dari kampus Psikologi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Namun, kebiasaan Bahril masih belum dia tinggalkan, malahan sekarang lebih parah lagi. Rumah kos-kosan yang sering disebut green house karena bercat hijau ini, ternyata berpenghuni Mahasiswa yang sudah mengenal narkoba, tak ayal ini juga mempengaruhinya. Selain Bahril mengonsumsi narkoba, dia juga sering bermain judi hingga memiliki hutang tujuh juta rupiah kepada teman satu kosnya. Dan tanpa disadari, kebiasaannya ini sampai ke telinga orang tuanya. Tak mau pikir panjang lagi, orang tuanya langsung menarik Bahril kembali ke Riau.

Beberapa hari kemudian, akhirnya Bahril mendapatkan kesempatan kedua dari orang tuanya. Keesokan harinya, berangkatlah lagi dia ke Yogyakarta. Namun dia kembali melakukan kesalahan besar, dia kembali ke lingkungan yang lama. Di lain sisi hati kecilnya berkata bahwa dia harus berubah, dengan berpegang pada tekadnya, dia menelepon Haekal temannya dan meminta izin untuk pindah dari green house dan ingin tinggal bersamanya. Dan syukurlah, Haekal memberinya izin untuk tinggal bersama. Tapi meskipun Bahril tinggal bersama Haekal, dia masih mengonsumsi bir. Memang dia sudah berhenti berjudi dan meminum alkohol berkadar tinggi, tapi bir tetaplah minuman yang memabukkan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Haekal tentu mengetahui hal itu, dia hanya bisa bersabar dan selalu menasihatinya dengan mengajaknya ke pengajian-pengajian.

Perkembangan Bahril semakin pesat. Bahkan Bahril sempat mendengar isu bahwa di kalangan dosen dia mendapat gelar “Mahasiswa Ajaib”. Nilai-nilainya yang dulu turun, kini sedikitdemi sedikit meningkat. Bahkan dia berhasil memenangkan lomba menulis artikel Islami, dan satu lagi-dia terpilih menjadi Pemenang Mahasiswa Teladan di Bidang Publikasi dan Psikologi UII Award 2002.

Setelah semua itu berlalu, ternyata nasib baik tak selalu berpihak pada Bahril. Dia dihadapkan pada suatu masalah yang pelik, dia sering bermimpi aneh dan membuat tenggorokkannya begitu terasa kering. Dan untuk menghadapi masalah ini, Bahril kembali memasuki dunia alkohol yang menjadi pelariannya.

Hari-hari terus berlanjut, waktu itu Bahril terlihat bersusah payah berjalan ke kamar mandi, tapi tubuhnya langsung terjerembab di lantai dengan kepala yang berdenyut dan membuatnya muntah-muntah. Dia memanggil temannya Sahar untuk segera membantunya, saat Sahar mengetahui kondisi Bahril yang lemah itu, dia langsung membawanya ke rumah sakit.

Empat hari kemudian, datanglah orang tua Bahril dari Riau setelah mendapat kabar Bahril sedang sakit. Saat menemui dokter yang merawatnya, kedua orang tua Bahril terkejut saat dokter itu mengatakan bahwa penyakit Bahril di luar wilayah kemampuan medisnya, dokter itu menyarankan agar membawa Bahril ke psikiater, karena selama tiga hari Bahril dirawat di rumah sakit, dia selalu mengigau, berteriak, bahkan dia berkata telah melihat hal yang bukan-bukan. Malam kedua dia dirawat di rumah sakit, perawat melaporkan bahwa dia mengamuk dan marah-marah, namun jika ditanya dia mengaku tidak ingat. Sedangkan setelah dia dibawa ke psikiater, Bahril divonis mengalami masalah kejiwaan berat. Dan pada pertengahan bulan September 2002, Bahril mengalami halusinasinya yang pertama. Halusinasi itu berupa suara perintah untuk bunuh diri, dan hal ini berlangsung kurang lebih satu tahun.

Di salah satu hari Jumat bulan Juni 2004, Bahril mengikuti salat fardu Jumat di Masjid Al-Muqarrabin. Saat salat Jumat tiba, Bahril berdiri dan salat pada saf pertama di sebelah kanan imam. Tibalah pada bacaan rakaat pertama, imam membaca surat Ar-rahman. Namun entah mengapa, sampai pada ayat ke-13, Bahril merasa ada sesuatu yang memukul dadanya sangat keras. Bahril terkejut dan gemetar, begitu pula pada ayat ke-18 dan 21. Bahril menangis dan bertambah gemetar sehebat-hebatnya, karena dia merasa pertanyaan itu ditujukan padanya. Hanya badan yang melaksanakan gerakkan salat, namun hatinya tak mampu membaca bacaan salat.

Allahu Akbar. Setelah peristiwa itu, kesadaran beragama Bahril pun beransur-ansur pulih, begitu pula dengan kesadaran mental dan psikologinya.

Buku ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, sehingga sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja dan dewasa. Namun ada beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah, sehingga sedikit menyulitkan pembaca untuk menafsirkan cerita. Di dalam buku ini penulis berusaha mengajak pembaca agar tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Dan juga, penulis mengajak kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya.

 

[Cerpen]: Rahasia Sang Hati (sudah diterbitkan dalam antalogi cerpen Pak Den & Bu Wi oleh Penerbit Genom)




“Aku membencimu Ayah!”

Kalimat itu akan terdengar mana kala saat waktu tak memihak pada seorang gadis kecil yang terlihat begitu polos ini. Padahal hasratnya bukan sebuah mainan atau menjadikan dia putri kecil penguasa dunia. Tidak! Namun sosok tangguh itu hanya diam dengan sorot mata yang redup, tetapi tak setetes pun bulir memecah di raut wajahnya. Dia terlihat tak peduli. Bahkan setiap kali ini terulang, gadis kecil itu hanya bisa bertanya-tanya apa benar yang tengah diam membisu itu adalah pelindungnya? Pertanyaan itu seperti angin lalu saja, karena tidak ada yang menjawab.

Gadis kecil itu lalu membaringkan tubuh, juga menenangkan hatinya yang selalu saja datang dengan kata kacau. Berusaha setenang mungkin agar tak menentang hati batu yang dimiliki sosok tangguh itu. Kadangkala  dia merasa sendiri, padahal sosok tangguh itu selalu berada di sampingnya.

Gadis kecil itu juga bukan tipe orang yang suka mengalah. Mungkin karena dia yang masih suka dengan dunia permainan, membuat dia ingin diperhatikan lebih dari hari-hari sebelumnya. Namun entah dari mana asal kedewasaan yang dimiliki gadis diusia belia ini yang membuat dia mengerti dunia lebih dari teman-temannya. Memang irama kehidupan tidak selalu merdu bukan? Inilah yang menjadi pelajaran berharga dalam hidupnya.

“Yah, besok bisa datang ke sekolah kan?” gadis itu kembali merayu sosok tangguh itu sewaktu akan ada acara di sekolah yang mengharuskan orang tua datang. Tentu dengan wajah polos. Bahkan seperti kebanyakan anak putih-merah lainnya yang lebih mendengarkan guru mereka berbicara. Sedangkan seperti biasa, sosok tangguh itu hanya diam sembari menatap lekat-lekat lembaran kertas di tangan kanannya. Lama. Namun gadis itu tidak menyerah.

“Mungkin acaranya itu-itu saja,” sosok tangguh itu menjawab seadanya. Gadis itu ingin menyela, tapi seseorang yang dingin itu kembali melanjutkan dengan nada datar, “Ayah bisa bertanya pada ayah temanmu besok.” Mendengar jawaban itu, dia hanya bisa beranjak dengan kepala tertunduk.

Ternyata tidak berhenti di sini saja. Hari penting gadis itu pun terasa sangat hambar. Gadis kesepian itu hanya bisa memandangi orang tua teman-temannya yang mengisi bangku undangan di hari pisah kenang mereka. Benar, ada perasaan iri yang menjalar di lubuk hatinya. Bukan hanya itu, dia merasa menjadi manusia paling menyedihkan di dunia. Lantas sekarang, hanya bulir air mata yang dia miliki, satu-satunya teman paling setia.

Setelah sampai di rumah, gadis yang masih dipenuhi kekacauan dalam hati itu pun mendapati ayahnya yang tengah duduk seperti biasa bersama lembaran kertas di tangan kanannya. Perasaan canggung sungguh kentara di dalam ruangan itu. Namun  gadis itu tidak peduli, dia lalu beranjak ke kamar tanpa permisi. 

“Segera tidurlah Ra, sudah malam.” Langkahnya terhenti beberapa saat, dia menunggu kelanjutan perkataan ayahnya tapi kalimat yang diharapkan tak segera keluar. Perasaan gadis itu sangat kecewa, dia langsung membungkus diri dengan selimut. Bulir pun kembali pecah dengan tubuh yang tergoncang karena segukan. 

“Jahat! Sulitkah ayah mengucapkan selamat dan meminta maaf kepada Ra? Ira benci ayah.” 

Waktu pun terus berputar. Kali ini adalah hari pertama masuk sekolah menengah pertama untuk Ira. Semoga saja pagi ini akan menjadi hari membahagiakan. 

“Sarapan dulu Ra.” Dia diam beberapa saat, memastikan dari mana suara itu berasal. Lalu dia mengangguk sembari mengaitkan tas ransel di kedua pundaknya. 

“Sepertinya ayah akan menjadi orang kedua yang cerewet seperti ibu dulu,” gerutunya dalam hati. Namun Ira tidak mempersalahkan itu, karena dia harus segera berangkat.
Harapan di hari pertama untuk Ira sepertinya terwujud. Bukan hanya teman baru, tapi juga ayahnya yang semakin terbuka. Tidak seperti dulu yang hanya diam terlihat tak peduli. Sekarang sosok pendiam itu lebih banyak bertutur apalagi bila berurusan dengan jadwal makan Ira. Aneh. Kedekatan itu malah menimbulkan pertanyaan dari lubuk hati Ira, apa ini akan terjadi seterusnya? Sayangnya, seolah-olah cahaya kembali tak mengikutinya.

“Ayah, besok bisa mengambil rapornya Ira kan?” gadis itu berdiri dengan nada ragu, sedangkan ayahnya diam tak membalas. “Tak ada harapan. Percuma,” dia kembali menggerutu dalam hati sembari beranjak pergi. 

Keesokan harinya, Ira hanya menunduk lesu melihat teman-temannya. Tentu saja karena satu demi satu orang tua teman dia datang, sedangkan dia sendiri tidak tahu nasib akhirnya nanti. Apakah dia bisa membawa rapor tanpa kedatangan sosok tangguh itu?

Tak terasa acara pengambilan rapor pun telah usai. Melihat hasil dari salah satu temannya, dia cukup lega meski di urutan ketiga. Memang tak sepuas dengan memandang rapor sendiri, tapi dari hasil itu tercipta sebuah tarikan kecil di sudut bibirnya. Sambil lalu dia berbincang dengan temannya, sebelum tepukan lembut hinggap di bahu kanan Ira. Dia terdiam beberapa saat sembari membalikkan tubuh, kepada seseorang yang datang dengan senyuman hangat kepadanya. 

“Pergilah ke wali kelasmu Ra, beliau menunggumu di ruang guru.” Ira hanya mengangguk kepada salah satu temannya yang datang itu. Syukurlah, wali kelas Ira memberikan rapornya tanpa perlu berbelit. Wali kelas yang pengertian. Tentu saja, sebagai wali kelas harus tahu apapun kondisi anak didiknya ‘kan? Apakah itu berkaitan dengan masalah pribadi dan lainnya. Terlebih dengan emosional Ira sekarang, dia sungguh membutuhkan perhatian lebih. Setelah perpecahan dalam keluarga, diantara ayah dan ibunya.

Sambil mendekap benda berbentuk persegi panjang berwarna biru tua itu, dia berjalan seraya berharap ayahnya akan berubah menjadi lebih terbuka lagi. Semoga dengan prestasi yang dia dapat hari ini mendatangkan kebahagian dalam hatinya. “Ini untukmu ayah,” gerutunya dalam hati.

Fajar telah tenggelam sekitar satu jam yang lalu. Kini tinggal menunggu, apa dia sudah berhasil mengumpulkan keberaniannya berhadapan dengan sosok dingin itu? Mengapa perlu waktu lama? Padahal, dia hanya perlu menyerahkan rapor itu dan menunggu responnya ‘kan? Namun entahlah, melakukan itu serasa menjadi hal terberat yang akan dilakukannya. “Jika ayah tetap saja, lalu apa yang harus aku lakukan?” Ira kembali menimang pemikirannya, tetapi langkahnya membawa pada suatu kepastian.

Ternyata tetap saja. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari sosok dingin itu. Ira hanya bisa berpikir, sebenarnya apa tipu muslihat yang dilakukan ayahnya ini? Ira sudah tidak kecewa. Sebab tentu saja hal semacam ini sudah menjadi tradisinya tiap tahun. Seberapa pun yang dia perbuat tidak akan membuat ayahnya berkomentar. Bukankah dia pernah bilang, sosok itu diam bagaikan patung yang tak peduli pada lingkungannya? 

Akan tetapi dia juga sosok pengajar yang andal. Sebab hatinya yang keras, melatih mental Ira untuk selalu mandiri. Bersikap keras mengajarkan Ira tentang apa itu arus kehidupan. Juga karenanyalah Ira tahu, siapa seseorang yang paling mencintainya.
“Dan sekarang baru kusadari ayah, bahwa diam adalah caramu memberikan perhatian. Sikap tak peduli  juga hati kerasmu adalah caramu memperkenalkan aku kepada dunia. Maaf ayah, aku baru menyadarinya. Ternyata kau orang yang begitu peduli akan keberadaanku. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengirimkan malaikat kedua yang begitu lembut kepadaku.”