Ria SW FoodVloger Inspiratif



Bagi anak-anak milenial yang candu pada media sosial utamanya Youtube, pasti udah enggak asing dengan namanya Ria SW. Konten tentang kuliner yang selalu trending tiap minggu, selain itu udah nulis buku dan membuka usaha ttoki yang bekerja sama dengan Omija, dan banyak lagi hal-hal yang enggak bisa disebutin satu-satu.

Awal kenal Ria SW dari Channel Nyam Nyam Nyam yang diproduksi oleh Malesbanget.com. saat itu Ria sebagai produser yang diberi kepercayaan oleh Chistian Sugiono (Ria menyebutnya Bos Ganteng). Bisa dibilang Nyam Nyam Nyam sukses waktu itu. Hingga akhirnya Kak Ria membuat akun channel-nya sendiri.

Kuliner dan traveling menjadi salah satu ciri khas dari Ria. Selain mengeksplor masakan nusantara dia juga suka sekali mwngeksplor makanan luar negeri, utamanya Korea Selatan. Tahu sendiri lah yaa, dia seorang penggemar G-Dragon.

Akan tetapi dibalik kesuksesan perjalanannya selama ini, Ria SW tetaplah Ria SW. Seorang manusia, eh alien yang begitu rendah hati. Kesuksesannya menyebarkan semangat kepada subscriber yang mengikutinya di media sosial. Bahkan, dia tidak segan-segan berterima kasih dan selalu memberikan motivasi. Nah, berikut ini kata-kata inspiratif yang dikutip dari @riasukmawijaya.




"Kalian sudah berusaha dan bekerja keras
Aku mungkin nggak kuat jika harus bertukar posisi dengan kalian
Terima kasih sudah menjalani hidup dengan baik meski tidak mudah
Terima kasih sudah menyayangi diri kalian dengan begitu indah
Terima kasih sudah menjadi bagian dari semangat dan harapanku"




"Jangan pernah iri dan bandingin keberuntungan kalian dengan orang lain

Sebenarnya aku agak “sedih” ketika baca: gimana cara jadi kak ia, beruntung banget jadi kak ia–aku kapan bisa jadi kayak gitu?

Aku percaya banget, kisah perjalan hidup kalian juga akan indah dan unik, yang bahkan gak akan sama dengan aku dan yang lainnya

Yang hanya perlu kalian lakukan adalah fokus sama apa yang kalian ingin kerjakan, setelah itu Yang Maha Kuasa dan alam semesta yang akan buka jalan

Jujur, aku bahkan gak pernah bayangin bisa dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti 4 mentorku di @omijacafe dan orang-orang hebat dengan visi besar dibalik @mecimapro – dan aku percaya masih akan ada orang-orang besar lainnya yang akan dipertemukan ke aku nantinya

Ketemu dengan bintang K-Pop adalah bonus dari apa yang sudah aku lakukan – ini bukan tujuan utama

Punya kalian di dalam hidupku, juga bonus yang sangat berharga yang gak boleh aku sia-siakan

Angka seperti jumlah followers, subcribers, viewers juga bonus yang gak boleh jadi fokus dan tujuan utama

Jalan, tujuan hidup kalian dan aku pasti beda tapi hal-hal yang bersifat bonus di sepanjang jalan gak boleh dijadiin fokus, kalian pahamkan maksudku?

Nantinya kalian akan dapat bonus yang gak pernah kalian bayangkan sebelumnya

Saat semua itu terjadi, pesan aku cuma satu, jangan terlalu dini untuk merasa bangga dan pua, jangan juga terlena terlalu lama – (ini juga pesan untuk diriku hingga detik ini)

Salah satu seniorku (aku akan kenalin ke kalian ketika waktunya tepat) bilang gini: selalu utamakan passion, uang dan hal lainnya akan ngikut – bukan kebalikannya."







Melodi Usang


"Kutak bisa jauh, darimu"
Slank~Kutakbisa

Bagaimanakah aku dapat mengatakannya? Suara khas yang kau perdengarkan mampu meruntuhkan istana sang raja. Tentu aku tahu, bahwasanya tak ada harap aku katakan, jika memang itu yang tengah kaurasa sekarang.

Suara sunyi dikalahkan oleh petikkan lembut itu, seharusnya kautahu kalau melodi itu berhasil membuat sukma membisu. Melodi itu dapat memberi warna dalam benak. Bahwa melodi itu juga berbuah bimbang. Namun, mengapa kau tak jua menghentikannya?

Jikalau kau hanya melagukan kata dan tanpa bersua makna, untuk apa dimainkan? Apa kau sekadar menghalau gelisah yang mulai tumbuh disemak-semak nurani ini? Adakalanya kau sadar, aku sebagai wanita dengan anugerah sebuah perasaan tak membutuhkannya. Kegembiraanku bukan saat kau menggenggam kasih. Bahagiaku bukan ketika kau tersenyum renyah. Meski tatkala kau bermuram durja aku turut merasakannya. Namun sungguh, aku tidak begitu.

Melodi usang yang telah kau usung waktu itu, tak ubahnya petikkan gitar dalam kenangan. Dia berkata sebuah hidup terlalu singkat untuk menentukan apa yang membuat kita bahagia. Dan kalimat itulah yang berhasil menggoyahkan segalanya. Dalam dirimu, diriku, dan melodi usang itu.

Huru-hara Mudik H-7 (Kisah Sang Supir Angkot)


“Libur t’lah tiba! Libur t’lah tiba! Horee!!!” sembari menutup muka dengan kedua telapak tangan. “The day is special day? Yes or no?” menopangkan dagu dengan gayanya yang “sok” mikir. “Maybe yes, maybe no... and why????”

Iya, mungkin karena istimewa di bulan ramadan. Tahu sendiri lah ya ... apa yang ditunggu-tunggu selain hari rayanya. Bisa berkumpul bersama sanak saudara, kembali bernostalgia dengan teman-teman, intinya itu yang jauh mendekat dan yang dekat semakin merapat :D, namun yang terpenting adalah ajang menggemukkan badan. What? (yang terakhir mohon diabaikan saja :P) “Lalu alasan yang no?” lebih “sok” mikir lagi.

Tidak, karena hari raya tahun ini dibebani oleh gunungan tugas. Ya, meskipun tidak semua orang yang mengaku dirinya sebagai seorang mahasiswa juga merasakannya. Karena memang setiap universitas memiliki ketetapan masing-masing. Bisa jadi hanya dari salah satu universitas tertentu saja, begitulah pokoknya. Eh! Sudahlah, saya tidak ingin membagi cerita yang cukup memberatkan pikiran seperti ini. Saya menulis bukan karena masalah ini, meskipun sejatinya ingin sedikit curhat :D

Mudik. Kata yang sudah tidak asing lagi di telinga. Mestinya kata itu akan menjadi teman akrab atau bahkan sahabat bagi anak rantau contohnya seperti saya. Ya ...  meskipun jarak mudiknya tidak lebih dari dua jam :D. Yang penting kan bisa ikut merasakan status-status maupun swafoto yang bersebaran di media sosial, bercerita mengenai berjalanannya ke kampung halaman dengan captionnya “OTW”. Selain itu ada lagi ciri khas dari mudik, apa lagi kalau bukan kata m-a-c-e-t.

Seperti yang sudah-sudah, di hari Jumat yag terik ini saya dan sejumlah penumpang berusaha menumpuk sabar dalam keringat yang berderai. Seharusnya lima belas menit yang lalu saya sudah sampai di daerah Pasar Tanjung, namun alangkah kurang beruntung kami masih terjebak di jalan Panglima Sudirman. Resah. Panas masih belum juga menjadi salju, eh jangan deh ... lagi-lagi perjalan dibuntui kendaraan yang terasa bengitu menyesakkan. Namun pada akhirnya, mobil berwarna kuning yang saya tumpangi dengan perlahan mempercepat lajunya.

Mungkin tidak seberuntung itu, dan tidak sesederhana itu. Mobil terhenti. Semua mencari kepastian, begitu juga saya yang tepat berada di belakang Sang Supir. “Sebentar ya ...” it’s okay, ungkap saya dalam hati. Kemudian seisi mobil mewah itu tidak bisa diam, semua berkipas-kipas ria, sedangkan saya hanya diam dan sesekali mengusap peluh yang sudah menumpuk di dahi.

Dari dalam, saya memandang Sang Supir yang berlari ke sana kemari. Tentu dengan tampang gelisahnya, dia berusaha mencari pedagang yang menjual bensin eceran. Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, dan ternyata nihil. Dengan berbesar hati sopir itu memberhentikan angkutan umum yang lain.
Sekarang saya sudah berpindah tempat duduk, meski dalam bentuk model mobil yang tidak berbeda. Masih saja dan tidak mengerti kenapa, kembali berusaha mengartikan sebesar dan selapang apa hati yang dimilikinya? Namun yang terpenting, orang yag tidak mau tahu seperti saya, sejak kapan tertarik terhadap hal kecil seperti ini?

Mungkin lebih tepatnya cerita ini berawal ketika saya memulai perjalanan dari Jalan Bangka–rumah ketiga di rantau. Supir menghentikan lajunya setelah melihat saya berjalan menuju jalan raya sembari menggendong ransel dan mengayun tas kecil di tangan kiri. Yah, tentu Sang Sopir tahu, tukang becak di depan gang saja menyapa dengan ramah, “Pulang?” ujarnya sambil tersenyum renyah.

Sekitar tiga menit berjalan, mobil kuning yang saya tumpangi berhenti. Seorang nenek masuk sambil membawa dagangannya yang terlihat cukup berat. Kurang lebih sepeluh menit bertemu simpang empat yang kedua nenek pun turun. Di momen inilah saya mulai terpegun. “Ongkosnya tidak usah Bu.” Saya langsung menatap Sang Sopir setelah mendengar itu. Ya meskipun tidak menatap secara langsung. (Ih, bagaimana maksudnya ini? :D) Tidak tahu apa ini yang pertama kalinya saya tahu ada supir yang bersikap demikian, atau saya tengah lupa mengenai yang sudah lalu. Namun yang jelas, sedetik itu, dari hal kecil itu saya belajar lebih hari ini. Belajar kepada hal kecil, yang mungkin selama ini saya tak acuhkan.

Semenjak mengucapkan kalimat itu, saya terus memperhatikan Sang Sopir. Hingga akhir cerita yang sudah diutaran tadi. Juga mengenai pertanyaan yang mungkin kepada siapa saya akan mendapatkan jawabannya.

Sebesar dan selapang apa hati yang dimilikinya?

Bisa jadi dia adalah satu-satunya tulang punggung keluarga, dan mengiklaskan jerih keringatnya kepada nenek. Bisa juga, dia terlalu paham mengenai hidup hingga tidak ingin mengecewakan orang lain, dengan mengoper penumpang ke supir lain. Ah! Apa lagi kemungkinan-kemungkinan lainnya?

Saya jadi teringat perkataan salah satu dosen, “Belajarnya kalian itu  sebenarnya di luar, bukan di dalam kelas.” Dipikir-pikir ada benarnya juga (sambil menghela napas dalam-dalam).

Terima kasih untuk pembelajaran hari ini dan terima kasih banyak sudah membagikan kekayaan hati yang Bapak miliki.



Jember, 8 Juni 2018

Perjalanan Pulang

Bunga Tiga Tahun


Bunga tiga tahun. Dia berdiri di antara hidup dan mati. Aku membiarkannya menghirup air dan udara. Namun perlahan, angin menggugurkan daunnya, tangkai kecilnya, dan mengerutkan kulit segarnya. 

Bunga tiga tahun yang berdiri di antara hidup dan mati. Kelopak yang menggoda kini berganti kering–kematian. Dan tentu saja aku ingat, ketika putih, hijau dan ungumu memikat. 

Bunga tiga tahun yang berdiri di antara hidup dan mati. Maafkan aku. Kehidupanmu terenggut meski bukan dari jejemariku. Aku menyesal, berdosa, bahkan tidak memiliki hak dan menghakimi dalam merebut kebahagiaanmu di dunia. 

-- "Bunga Tiga Tahun" SEMIPRO 2013
Lumajang, 8 Juli 2017

[Puisi]: Manusia Aku (sudah diterbitkan dalam kumpulan prosa Selayang Langkas Jejak Publisher )





Lumajang, 2 September 2018



Aku telah mencoba
Mencari celah lain
Namun aku risau

Jiwa telah kembali tersengau
Jalan kembali terlewat
Jejak pun terputus
Jelas tak tentu arah


Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku


Harus bagaimanakah?
Harus bagaimanakah?
Harus bagaimanakah?
Jika aku tersesat
Andai semua tak terjadi





Aku telah mencoba
Mencari celah lain
Namun aku risau


Jiwa telah kembali tersengau
Jalan kembali terlewat
Jejak pun terputus
Jelas tak tentu arah

Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia aku
Manusia
Aku

Kisah Si Gelang Rusia (Review Novel Pergi karya Tere Liye)

 I’m  back ( setelah sebulan menghilang hehehe...) 


Siapa sih yang enggak kenal dengan Tere Liye? Buku-bukunya sudah banyak dicetak ulang dan selalu menjadi best seller di deretan toko buku. 

Nuansa alur yang tidak terduga dengan gaya bahasa yang khas, Tere Liye menjadi salah satu penulis yang saya idolakan. Namun yang terpenting adalah ada kesan maupun pesan tersendiri setelah mendekap buku-bukunya. Seperti salah satu karyanya ini, yang berjudul Pergi.

Review Novel Pergi karya Tere Liye



Novel Pergi merupakan sekuel dari Pulang yang diterbitkan tahun 2015. Bagi kalian yang sudah membaca Novel Pulang, masih ingat dong dengan Si Babi Hutan? 

Iya, Bujang anak Samad tukang pukul di keluarga Tong, yang di dalam ending Pulang berhasil menjadi Tauke Besar menggantikan Tauke Besar sebelumnya. Bujang berhasil memimpin ribuan anggota keluarga dan puluhan perusahaan yang tersebar di seluruh Asia Pasifik, dan menentukan haluan baru penguasa shadow economy.

Nah, di Novel Pergi Bujang berusaha untuk menentang Master Dragon yang berusaha menguasai shadow economy. Master Dragon yang bertempat di Hong Kong berupaya menjalankan aliansinya dengan melakukan hal-hal licik terhadap keluarga Tong. Hingga akhirnya Bujang juga berupaya untuk menghancurkan Master Dragon dengan bersekutu keluarga Yamaguchi yang di Jepang dan Bratva di Rusia. Selain keluarga Tong, Master Dragon juga menyerang tanpa ampun terhadap keluarga yang bersekutu dengan Bujang. 

Seperti yang sudah-sudah, tokoh utama akan selalu menang melawan segala kejahatan. Begitulah yang dialami oleh Bujang dan sekutunya yang berhasil meruntuhkan Master Dragon. 

Fyi, banyak hal menarik dalam novel sekuel pulang ini. Pertama, tak disangka bahwa Bujang memiliki saudara tiri yang membantunya melawan Master Dragon di detik-detik terakhir. 

Diego–anak pertama Samad sebelum menikah dengan ibu Bujang, hadir dengan begitu menajubkan. Bahkan sampai saat ini, saya tidak menyangka Tere Liye membuat tokoh Samad menjadi orang yang romantis. Sebab di sisi lain, sebagai tukang pukul tidak akan ada cerminan bahwa tokoh itu akan seromantis dalam cerita. 

Selanjutnya hal yang membuat cukup geregetan adalah Maria. Anak Otets dari keluarga Bratva di Rusia. Mengapa geregetan? Sejujurnya, semenjak Maria muncul saya berpikir bahwa nanti Bujang akan menikah dengan Maria. Namun setelah membaca keseluruhan tidak ada ending pun tentang mereka berdua? Hanya sampai Bujang menemui kakak tirinya untuk mengucapkan terima kasih karena sudah membantu melawan Master Dragon.

Saya tidak berdalih tanpa alasan, bahwa Bujang dan Maria akan bersama. Dalam cerita, Maria sudah memberikan gelang kepada Bujang. 

Gelang itu bukan sembarang gelang, menurut kebudayaan Mongolia seorang wanita yang memberikan gelang kepada seorang lelaki bertanda bahwa wanita itu sudah memberikan kesempatan kepada lelaki itu (emmm bisa dibilang bahwa Maria sudah memberikan hatinya kepada Bujang, sederhananya seperti itu). 

Selain itu ditambah kegelisahan Bujang terhadap Maria juga godaan-godaan yang dilontarkan oleh Sergei dan Solonga. Hingga saya terus berpikir lagi, apakah memang Tere Liye sengaja membuat kisah Bujang dan Maria menjadi mengambang? Atau setelah ini akan ada novel dengan kelanjutan kisah asmara Bujang dan Maria? Ah! Kita tunggu saja 😊

Baca kisah Bujang dan Maria selanjutnya di Novel Gnalup-Pergi (review kelanjutan Novel Pergi)