Dari sekian puluh buku karya Tere Liye, Dia adalah Kakakku (atau waktu itu masih berjudul “Bidadari-Bidadari Surga”) merupakan novel kedua yang saya baca. Bisa dikatakan pertemuan kedua dengan Tere Liye, eh maksudnya karya yang benar-benar saya baca. Sebab dulu hanya tahu Tere Liye dari quote-quote yang betebaran di media sosial, hehe.
Awal-awal membaca memang cukup membingungkan sembari meraba-raba, sebenarnya apa sih yang ingin diceritakan penulis kok pembahasannya diawali dengan permasalahan bulan terbelah? (mengingat masalah bulan terbelah pikiran saya langsung tertuju pada novel sebelah,hehe) Maksud hati membaca untuk mengistirahatkan pikiran, tapi malah disuguhi bacaan serius ‘kan enggak lucu? Akan tetapi seberapa pun sisi lain dari suara hati yang menolaknya kala itu, saya tetap berupaya membaca. Walhasil sampai di pertengahan novel, saya benar-benar tidak bisa berhenti.
Mengapa? Novel ini enggak seperti yang saya bayangkan. Bahkan kalau boleh menilai dari berbagai novel Bang Tere yang sudah saya baca, Dia adalah Kakakku masih menjadi urutan pertama–sampai detik ini. Mungkinkah teteman ada yang bersependapat?
Ceritanya memang enggak serumit seperti kisah Bujang dengan Maria dan enggak panjang seperti petualangan Raib, Seli juga Ali. Namun tokoh Kak Laisa begitu membekas. Novel Dia adalah Kakakku langsung menumbuhkan kekaguman saya kepada tokoh Kak Laisa. Seorang tokoh yang berhasil mengaduk emosi tanpa henti.
Pada sosok Kak Laisa yang bersedia menjadi tameng, selalu berkorban dan berjuang demi keempat adik-adiknya. Kak Laisa yang menyimpan, luka, perih dan menikmatinya sendiri. Kak Laisa yang selalu apa adanya, Kak Laisa yang selalu menerima apa adanya, keikhlasan, kesabaran dan semuanya.
Apakah saya terlalu sentimental terhadap hal-hal yang berhubungan dengan keluarga? Entahlah. Hanya saja dari Si Sulung Laisa ini saya dapat berkaca, -oh jadi begini- sambil menostalgiakan kedua saudara.
“Novel ini tentang kasih sayang keluarga, tentang pengorbanan seorang kakak. Kapan terakhir kali kita memeluk adik-adik kita dan berlinang air mata bilang, meski mereka menyebalkan, kita sungguh sayang pada mereka. Dan sebaliknya, kapan terakhir kali kita memeluk kakak-kakak kita dan bilang, meski mereka cerewet, suka menyuruh-nyuruh, kita sungguh menghargai mereka.” – Tere Liye
0 Comments