Himitsu no Kazoo



Waktu tengah menjelang jingga. Tapi hamparan putih bersih tengah menyelimuti seantero Tokyo. Pasalnya musim dingin kali ini akan terjadi lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Berita ini tak mematahkan semangat para pelajar Tokyo, mereka tetap beraktivitas bersama dinginnya udara yang terus menemani.

Brakkk! Suara dari meja memecahkan keheningan kelas. Semua berteriak ketakutan, dan berhampuran ke luar kelas yang didominasi oleh kaum hawa. Tak terkecuali Shimi Yuki dan sahabatnya Ikki Mori.

“Yamato-san... berhentilah membuat keributan,” suara itu membuat Yamato mengalihkan pandangan dari beberapa siswi yang masih ada di dalam kelas. Sambil menyembunyikan serangga yang ada di tangannya dia memicingkan mata dan berjalan ke sumber suara.

“Ahh... Sudo-san, apa kau ingin bermain-main denganku?” tukasnya sambil melemparkan serangga ke arah Sudo yang tetap diam menatapnya tajam. Tapi tidak ada reaksi apa-apa dari Sudo yang membuatnya kesal. “Hei! Kenapa kau seperti itu? sungguh menyebalkan,” lanjutnya sambil merangkul Sudo yang tanpa ekspresi. Sudo balas merangkul.

“Ayo ke kantin,” ajaknya santai membuat Yamato tersenyum tipis.

Semua siswa mulai membicarakan kedekatan Yamato dan anak baru itu–Sudo. Bagaimana bisa mereka menjalin hubungan erat dengan waktu yang singkat? Bukannya Sudo baru saja bergabung dengan mereka tiga minggu yang lalu? Apakah ini sebuah bertanda kekacauan di kelas akan bertambah? Cukup sudah, mereka hanya menginginkan Yamato saja pengacau di kelas itu dan tidak akan ada Yamato kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi jika benar keduanya bersahabat, apakah itu benar adanya? Pasalnya mereka seperti langit dan bumi yang sama sekali tidak dapat disatukan. Yamato, dia orang pemalas, pembuat onar, dan kekanak-kanakan. Sedangkan Sudo, dia orangnya rajin, disiplin, dan dewasa. Yang jelas, keduanya benar-benar berbeda. Tapi dari perbedaan persahabatan ini, semoga saja bisa membuat Yamato berubah seperti Sudo.

“Hemm... aku berpikir juga begitu. Semoga dia menjadi lebih baik,” sela Mori saat berbincang-bincang dengan Yuki di dalam kelas.

Sebenarnya semenjak ada Sudo perhatian Mori teralihkan. Awalnya dia menyukai Yamato meskipun baginya dia itu bisa dibilang anak brandal, tapi meskipun begitu dia cukup humoris dan selalu membuat Mori nyaman saat berada di sampingnya. Namun berbeda dengan Yuki, dia lebih tertutup dan tidak pernah ada gosip apapun yang berkaitan dengannya kecuali saat dia memenangkan juara satu se-Tokyo mode fashion tingkat SMA.

Namun siapa yang bisa menebak hati seseorang? Sudah lama Yuki menaruh hati kepada anak brandal itu. Sebelum Mori, dialah yang pertama tertarik kepada Yamato. Awalnya, karena Yuki-lah Mori bisa mengenal kepribadian Yamato. Ya, ketertarikan dari sebuah ketidaksengajaan.


Waktu itu sepulang sekolah, seperti biasanya Yuki dan Yamato pulang bersama, karena rumah keduanya satu arah. Seperti biasa juga, Yuki menuntun sepeda mengimbangi langkah Yamato yang tak bisa diam. Ada saja yang dilakukan Yamato, dan kali ini dia tengah memainkan kaleng bekas minuman seolah bola sepak.

Yamato menendangnya dengan kuat, dan tanpa disadari kaleng itu melayang dan mengenai seseorang di balik pagar rumah sisi kanan mereka. Pemilik rumah tak mau tinggal diam, dia langsung keluar dan mencari orang yang melempar.

Sayangnya, pemilik rumah itu kalah cepat dengan Yamato. Tanpa pikir panjang lagi, Yamato mengambil sepeda Yuki dan segera mengayunnya. “Ayo cepat naik!” perintah Yamato kepada Yuki yang masih kebingungan. Sedangkan pemilik rumah itu bercekcot mulut entah apa yang dikatakannya. Yuki merasa takut, karena itu dia langsung mengikuti apa yang diperintah Yamato.

Yamato semakin kencang mengayunkan sepeda, sedangkan Yuki berusaha keras untuk berpegangan erat kepada Yamato yang terlihat tersenyum bahagia.

“Yuuuhuuu... hahahaha,” tuturnya serasa bahagia tak terkira. “Maaf Paman,” lanjutnya sambil melambaikan tangan kanannya. Pemilik rumah itu berhenti mengejar sepeda yang semakin menjauh, dengan mengatur napas dia kembali berkata, “Hei! Awas kau. Dasar, anak itu lagi,” gerutunya sambil membalikkan tubuhnya.

Sesampainya di rumah Yuki, dengan membungkuk hormat Yamato memberikan salam kepada ibu. Setelah itu Yamato bergegas untuk pulang, namun ibu menyuruhnya untuk makan bersama. Yamato tidak bisa menolak, dia sudah memberi kode kepada Yuki akan tetapi apa boleh buat, Yuki malah cuek.

Keesokan harinya tepat pukul delapan pagi, dengan terburu-buru Yuki mengeluarkan sepeda. Setelah memberi salam, dia bergegas pergi dan meninggalkan rumah. Di tengah jalan, dia mendapati Yamato yang berjalan. Tentu saja dengan kebiasaan kakinya yang tak bisa diam. Dengan tersenyum Yuki membunyikan bel yang membuat Yamato terkejut.

“Kau ingin bermain-main denganku hah!” tukas Yamato sedikit berlari-lari kecil berusaha untuk menggelitiki Yuki yang bersepeda.

“Hei Yamato-san, hentikan” Yamato tak mengindahkan perkataan Yuki dan tetap menggelitikinya sambil tertawa puas.

Beberapa menit kemudian, Yuki tidak tahan dengan perlakuan Yamato, sampai menyadari kalau setir sepeda yang dinaiki terlepas dari tangannya. Sontak saja, keduanya terjatuh menyerong ke arah kanan.

Setelah tersadar dengan apa yang baru saja terjadi, keduanya terdiam lalu tertawa lepas. Aneh, tentu saja. Mana ada orang jatuh tertawa, bukannya merasa sakit?

“Ayo” Yuki tercengang mendapati Yamato mengulurkan tangan. “Ayo! Apa kamu akan tetap berada di sini? kita bisa terlambat” lanjutnya yang tengah mendapati Yuki terdiam. Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya dia kembali membalas uluran tangan itu.

Namun beruntung, keduanya tidak terlambat. Sambil berjalan beriringan dengan Yamato, Yuki mendapati sahabat yang sudah duduk siap di bangku.

“Aku perhatikan, akhir-akhir ini kamu sering jalan bersama Yamato,” tanya Mori dengan merendahkan nada suaranya. Yuki hanya tersenyum sambil meletakkan tasnya di atas meja. “Apa kalian memiliki hubungan lebih?” lanjut Mori penasaran.

“Kamu ini bicara apa? Aku dan Yamato jalan bersama karena rumah kita satu arah.” Mori terkejut dengan perkataan Yuki, namun beberapa saat kemudian Mori tersenyum.

“Benarkah? Kamu tidak sedang bercanda kan?” Yuki hanya mengangguk menanggapinya.

Jam istirahat berdenting. Kali ini Yuki lebih memilih makan bento daripada pergi ke kantin. Begitu pula dengan sahabat setianya.

“Yuki-san, apa tidak ada seseorang yang ada di hatimu?” Yuki tersentak mendapatkan pertanyaan itu.

“Lalu bagaimana denganmu?” tanya balik Yuki penasaran. Mori terlihat tersipu ketika Yuki melontarkan pertanyaan itu.

Dengan perlahan Mori menceritakan, kalau memang benar ada seseorang yang tengah menempati hatinya sekarang. Namun Mori sedikit ragu ingin mengatakannya pada orang itu.

“Benarkah? Siapa?”  Yuki terlihat semangat sekali ingin tahu. Tapi Mori langsung menutup mulutnya yang penuh dengan bento.

“Jangan keras-keras, kau bisa membunuhku.” Teman yang di dekatnya tersenyum, sambil menganggukkan kepala.

Sambil membetulkan posisi duduknya, Mori mendekatkan diri kepada Yuki. Dia berbicara pelan, seolah tengah berbisik.

“Yuki-kun... sepertinya aku menyukai Yamato” Yuki terkejut mendengar pengakuan Mori. Dia dia benar-benar tak menyangka. Dari kesekian ribu laki-laki, kenapa harus Yamato yang disukai olehnya. “Yuki-kun... kamu tidak apa-apa?” tanyanya saat melihat Yuki yang masih diam membeku. Yuki menggangguk dengan sebuah ketidak percayaan. “Jadi, kamu maukan membantuku?” Yuki kembali mengangguk dengan sangat lemas. Apa yang baru saja aku lakukan, seharusnya aku menolaknya. Bodoh! Kau Yuki.

Sepulang sekolah, kini mereka tidak berdua. Mulai detik ini, akan ada Mori di sela-sela keduanya. Namun Mori lebih memilih berjalan di dekat Yamato di banding beriringan dengan Yuki yang menuntun sepeda. Ternyata Yamato tak seperti biasanya, dia hanya diam berjalan dengan Mori.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Yamato dengan kasihan setelah mendapati Mori terjatuh. Mori mengangguk dan berusaha untuk bangkit kembali. “Aku sudah bilang kan, lebih baik kamu naik sepeda saja,” gerutu Yamato menasihati setelah memandang Mori yang kelelahan.   

Akhirnya Yamato menggendong Mori sampai di depan rumahnya. “Terima kasih Yamato-san, terima kasih juga Yuki-kun,” keduanya mengangguk dan kembali membalikkan batang tubuh. Sepertinya Yuki masih kesal dengan Yamato, dia meninggalkan Yamato dengan mengayunkan sepedanya dengan cepat.

“Yuki... apa kau akan meninggalkanku? Hei!” teriak Yamato melihat kepergiannya. Kenapa dengannya?

Hari-hari berlanjut, ternyata perubahan yang dialami Yuki tak berhenti di sini saja. Dia terlihat menghindar dari Yamato, setelah peristiwa itu. Mungkin Mori tidak merasakan perbedaan Yuki, tetapi Yamato yang selalu bersamanya sepulang sekolah, dia bisa merasakannya.

“Kenapa denganmu?” tanya Yamato menghadang Yuki keluar gerbang sekolah. Dia tak menanggapinya dan tetap berusaha berjalan. “Yuki!” serunya, dan kali ini Yuki menghentikan langkah kakinya.

Yamato berdiri di hadapan Yuki yang masih tak mau menatapnya. “Aku belum bisa menjawab pertanyaan dari Mori. Alasannya karena kamu.” Ya, sebenarnya saat Yamato mengantar Mori pulang, Mori mengungkapkan perasaannya kepada Yamato. Tentu saja Yamato terkejut, begitu pulalah dengan Yuki yang berada di belakang mereka. Namun sampai saat ini, Yamato masih belum bisa menjawab pertanyaan dari Mori itu. “Aku tahu Mori sahabatmu, dan karena itu... kau tak enak hati padanya kan? Tapi dengarlah Yuki, kau tidak bisa memaksakan perasaan orang lain, hanya agar orang itu bahagia di matamu.” tutur Yamato sambil memegang erat tangan kanan Yuki. Dengan perlahan Yuki merenggangkan pegangan Yamato.

“Sepertinya kamu sudah salah paham.” Yamato tercengang mendengar jawaban dari Yuki yang tengah berjalan menjauhinya. Alih-alih kelopak matanya berkaca-kaca, dan sedetik kemudian meluap tak terkendali.

“Yuki...” serunya.

Setelah adu argumen itu, seluruh kelas di hebohkan dengan pasangan baru Yamato dan Mori. Semua tidak menyangka, bagaimana bisa Mori menyukai anak brandal itu? sungguh menggemparkan. Namun kali ini tidak terlihat Yuki yang biasanya duduk-duduk di bangku kelasnya. Ternyata Yuki sedang menangis di kamar mandi.

Sambil berjalan murung, Yuki tanpa sengaja bertabrakan dengan siswa pindahan, namanya Rou Sudo. Sudo baru pindah tiga minggu yang lalu, dan dia tak banyak berbicara kepada anak-anak lainnya, kecuali Yamato.

“Maaf... aku tidak sengaja,” tutur Yuki sambil membungkuk meminta maaf. Sudo hanya sedikit tersenyum, sayang Yuki tak melihatnya.

“Tidak apa-apa.”
           
Keduanya berjalan ke kelas, tapi anehnya kenapa semua siswa laki-laki keluar? Sudo langsung bergegas, dan bertanya pada siswa yang ada. “Yamato kembali berulah,” mendengar itu, Sudo hanya bisa menghela napas kesal.

“Hah... anak itu, kapan dia mau dewasa,” ucapnya sambil berjalan ke dalam kelas. “Yamato-san.. berhentilah membuat keributan,” suara itu membuat Yamato mengalihkan pandangan dari beberapa siswi yang masih ada di dalam kelas, sambil menyembunyikan serangga yang ada di tangannya. Lalu dia memicingkan mata dan berjalan ke sumber suara.

“Ahh... Sudo-san, apa kau mau bermain-main denganku?” tukasnya sambil melemparkan serangga itu ke arah Sudo yang tetap diam menatapnya tajam. Tapi tidak ada reaksi apa-apa dari Sudo yang membuatnya kesal. “Hei! Kenapa kau seperti itu? sungguh menyebalkan,” ucapnya sambil merangkul Sudo yang tanpa ekspresi. Sudo balas merangkulnya, dan mengajak Yamato keluar dari kelas pengap itu.

“Ayo kita ke kantin.” ajaknya santai membuat Yamato tersenyum tipis.

Sudo dan Yamato begitu cepat lenyap dari pandangan. Suasana kelas pun kembali normal, dan tentu saja tak sedikit suara yang tengah berkasak-kusuk membicarakan. Bahkan, kabar tentang hubungannya dengan Mori sedikit meredup akibat kedekatan Yamato bersama Sudo.

“Mori-san, kuharap kekasihmu bisa seperti Sudo,” tutur salah satu teman Mori yang tengah menghampirinya di bangku. “Tidak akan ada Yamato selanjutnya kan?” pertanyaan ini kembali membuatnya redup. Memangnya kenapa dengan Yamato ku? Apa ada yang salah dengannya? gerutu Mori dalam hati.

Beberapa detik berlalu, Yuki duduk di sampingnya dengan kepala di letakkan di atas kepala. Mori sedikit melirik sebelum dia kembali mengatakan sejurus pertanyaan yang pernah teman-temannya katakan.

“Yuki-kun... kenapa semua anak membicarakan Yamatoku? Apa kamu tahu, mereka itu sungguh menginginkan Yamato untuk bisa seperti Sudo, bahkan yang lebih parahnya lagi, ada yang berharap tidak ada lagi Yamato selanjutnya.”

“Tidak ada yang bisa kita lakukan untuknya.”
“Yuki-kun... kenapa bisa-bisanya kamu berbicara seperti itu?”

“Lalu? Apa maumu Mori! Hei, dia lebih tahu apa yang seharusnya dia lakukan. Jadi tolong, jangan terlalu berlebihan. Yamato bisa menjaga dirinya sendiri, terlebih aku juga berharap apa yang mereka katakan itu kenyataan. Apa kamu tak berpikir seperti itu?”

“Hemm... aku berpikir juga begitu. Semoga dia menjadi lebih baik,” sela Mori saat berbincang-bincang dengan Yuki di dalam kelas.

Dua minggu kemudian

Sepulang sekolah, Mori berniat menghadang Yamato di gerbang sekolah, namun sudah tiga puluh menit berlalu Yamato tak menampakkan batang hidungnya. Berkali-kali Mori memandangi jam tangan yang melingkar erat di tangan kanan, tetapi semakin dia memandangi jam itu, seolah-olah  jarum jam itu terasa begitu lama berputar.

Dia sudah terlihat putus asa. Sambil menempelkan punggungnya di dinding pagar, dia tersentak saat ada seseorang datang, dia langsung mendongakkan kepala, namun sayang, dia bukanlah orang yang di carinya.

“Kenapa masih di sini Mori?” tanya seorang pemuda yang ternyata Sudo. Mori belum bisa menjawab, sebenarnya dia bingung bagaimana cara mengatakannya.

Aku sedang menunggu Yamato. Apa dia masih ada di dalam?” Sudo hanya mengangguk.

“Beruntung sekali dia memilikimu. Lekas temui dia, pasti mereka masih sedang asyik-asyiknya bercanda.” Mendengar pernyataan dari Sudo kedua matanya memicing, dia langsung berlari tanpa menoleh sedikitpun kepada Sudo yang masih berdiri menatapnya dengan bingung.

Belum sampai Mori kembali memasuki kawasan sekolah, kedua matanya telah mendapati Yamato dan Yuki yang tengah tersenyum berbonceng sepeda. Tentu saja Yamato yang membonceng Yuki meskipun itu adalah sepeda milik Yuki. Mendapati pemandangan itu, Mori langsung menyembunyikan diri agar kedua orang itu tidak bisa menerawang keberadaannya.

“Dia tidak pernah tersenyum seperti itu kepadaku,” tutur Mori sambil mengusap air matanya yang tiba-tiba membanjiri pipinya.

Setelah Yamato dan Yuki berhasil melewati tubuhnya, dia dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba menepuk pundak kanannya.

“S... Su... do-san,” tukasnya dengan nada tergagap tak menyangka keberadaan Sudo yang tiba-tiba itu. Dengan perlahan dia mengusap lembut air mata yang keluar dari kedua bola matanya sambil tersenyum bak seorang malaikat. Tak lama kemudian, tangisan Mori pecah di dalam pelukannya.

Tubuh Mori masih dalam pelukan Sudo sedangkan matanya juga tak bisa lepas dari pandangan Yamato dan Yuki yang masih tersenyum berboncengan sepeda. Alih-alih dia kembali teringat perbincangannya dengan Yuki di taman.
Waktu itu sebelum Sudo masuk kelas akibat kekacaun yang di lakukan oleh Yamato, sebenarnya setelah mendapati Yuki dari toilet dia langsung mengajaknya ke taman sekolah. Di sana dengan perlahan Sudo mengungkapkan perasaan kepada Yuki, namun sayangnya Yuki tak bisa menjawab dengan harapannya.

“Maaf Sudo, hatiku hanya untuk seseorang.” Kata ini sungguh telah membunuhnya. Dengan jawaban seperti itu, dia juga tidak bisa berbuat banyak, hatinya benar-benar sudah hancur, tentu saja sangat hancur. Tanpa banyak bicara pula dia langsung meninggalkan Yuki sendiri dan menuju ke kelas, dan telah mendapati kelas itu sudah dikacaukan oleh Si Raja Brandal Yamato.

“Ayo kita ke kantin.” ajaknya santai membuat Yamato tersenyum tipis.

Mori masih tak menghentikan tangisannya, dia tetap menangis dan tambah meluap saat Sudo berusaha untuk menepuk punggungnya. Dengan kata yang terbata-bata, Sudo berusaha berkata, “Cinta itu membingungkan, direlakan dan harus merelakan.”




Menyikapi Pesta Demokrasi Melalui Film Masquerade

Masquerade adalah film bergenre kerajaan yang diproduksi tahun 2012. Film yang sutradarai oleh Choo Chang min berhasil menjual tiket 12,3 juta. Masquerade ditulis oleh Hwang Jo Yoon dan menjadi film sejarah terlaris di Korea Selatan. Film yang dirilis pada 13 September 2012 memenangi 15 kategori dalam Grand Bell Award ke-49, termasuk dalam film, sutradara, skenario dan aktor terbaik.

Film berdurasi 131 menit ini dibintangi oleh Lee Byun Hun yang berperan sebagai Raja Gwang Hae dan Ha Sun, Han Hyo Joo berperan sebagai Ratu Joong Jun, Ryu Seung Ryong berperan sebagai Heo Gyun dan Do yang diperankan oleh Kim In Gwon.

Review Film Masquerade

Masquerade bercerita tentang seorang raja yang mengalami tekanan akibat adanya desas-desus penghianatan sehingga menyuruh sekretarisnya Heo Gyun untuk menemukan seseorang untuk menggantikan posisinya di kerajaan. Heo Gyun membawa Ha Sun yang begitu mirip Raja Gwang Hae yang berprofesi sebagai seorang pelawak.

Selama tiga hari sekali, Ha Sun menggantikan posisi raja di malam hari. Namun beberapa hari kemudian Raja Gwang Hae sakit akibat diracun dan dibawa ke kuil terpencil untuk mendapatkan pengobatan. Pada saat yang sama Sekretaris Heo Gyun menyuruh Do menjemput Ha Sun menggantikan posisi raja untuk sementara.

Ketika masa kepemimpinan Ha Sun suasana kerajaan menjadi berbeda. Ha Sun adalah tipe orang yang mudah tersentuh dan memiliki empati yang sangat tinggi. Sebagai rakyat kalangan rendah, Ha Sun selalu mementingkan kepentingan rakyat. Dia sangat peduli kepada gadis yang masih berusia 15 tahun, dan selalu adil dalam menyikapi setiap masalah yang ada dalam kerajaan.

Seperti pada saat, ketika Ha Sun mengetahui adanya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang penguasa. Secara tegas, Ha Sun langsung membuat peraturan untuk mengembalikan hak rakyat kecil.

“Suruh seluruh hakim untuk membuka gudang penyimpanan mereka, dan kembalikan semua beras dan linen kepada rakyat yang berhak. Segera laksanakan hukum persamaan lahan tanah, aku mungkin mencuri dan mengambil sesuatu dari mereka. Tetapi aku tidak akan memaksa untuk mereka mati.”

Kemudian, secara langsung Ha Sun juga membebaskan kakak ipar raja yang dituduh telah melakukan penghiatan. Padahal kakak ipar raja adalah salah satu abdi yang setia. Hanya saja, kakak ipar digunakan sebagai kambing hitam untuk menggulingkan posisi ratu.

Untuk masalah kakak ipar raja, Raja Gwang He sendiri memanfaatkan masalah tersebut untuk mengambil kepercayaan dari lawan. Karena sebagai raja, urusan dan masalah politik menjadi pertimbangan sendiri. Namun bila Ha Sun yang memimpin kala itu, dia menentang keras kalau politik hanya membuat seseorang buta. Politik hanya mementingkan kekuasaan.  

“Untukku, negeraku dan rakyatku beratus-ratus kali lipat lebih berharga, dari pada sebuah kebijakan politik.”

Kalimat yang menenangkan bukan? Ini adalah salah satu film yang tidak boleh dilewatkan. Meski sudah tujuh tahun yang lalu diliris, tapi cerita inspiratif dari seorang Raja Ha Sun, eh raja penyamar ini begitu meningkatkan kembali sebuah harapan untuk bangsa ini.

Iya loh, banyak hal menyentuh seperti berempati dan kepedulian, keadilan, yang digambarkan dalam film ini. Selain itu, salah satu yang menjadi harapan adalah .... adakah seseorang seperti Ha Sun di negara ini?

Setelah melewati pesta demokrasi, akankah ada Ha Sun diantara kandidat calon presiden kita?

 

 

#HarapanUntukIndonesia

Dari kami, Milenial.

 

Pesta Demokrasi, 17 April 2019

Pengertian dan Sejarah Semantik



2.1  Pengertian Semantik

Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: sematics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda “memandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistic (Prancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari (1) komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu, Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang; sedangkan yang ditandai atau dilambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim disebut refren atau hal yang ditunjuk.
Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bahwa semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal, dan semantik (Chaer, 2013:2).
Semantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Studi yang mempelajari makna merupakan bagian dari linguistik. Seperti halnya bunyi dan tata bahasa, komponen makna dalam hal ini juga menduduki tingkat tertentu. Maksudnya apabila komponen bunyi menduduki pertama, tata bahasa pada tingkat kedua sedangkan komponen makna menduduki tingkat yang terakhir. Hubungan ketiga komponen tersebut karena bahasa pada awalnya merupakan bunyi-bunyi abstrak mengecu pada lambang-lambang yang memiliki tatanan bahasa memiliki bentuk dan hubungan yang mengasosiasikan adanya makna.
Objek studi semantik adalah makna bahasa. Lebih tepat lagi, makna dari satuan-satuan bahasa seperti kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Bahasa memiliki tataran-tataran analisis, yaitu fonologi, morfologi, dan sintaksis. Bagian-bagian yang mengandung masalah semantik adalah leksikon dan morfologi (Chaer, 2013: 6).


2.2  Sejarah Semantik

Dalam Aminuddin (2016, 15) Ariestoteles, sebagai pemikir Yunani yang hidup pada tahun 384-322 SM, adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata yang menurut Ariestoteles adalah “satuan terkecil yang mengandung makna”. Dalam hal ini, Ariestoteles juga telah mengungkapkan bahwa makna kata itu dapat dibedakan antara makna yang hadir dari kata itu sendiri secara otonom, serta makna kata yang hadir akibat terjadinya hubungan gramatikal (Ullman dalam Amminuddin, 2016:15). Bahkan Plato (429-347 SM) dalam cratlus  mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas atas etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas.
2.2.1        Pada tahun pertama 1925, seorang berkebangsaan jerman, C.Chr.Reisig, mengemukakan konsep baru tentang grammar yang menurut Reisig meliputi tiga unsur utama, yakni(1) semasiologi ilmu tentang tanda, (2) sintaksis studi tentang kalimat, serta (3) etimologi studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna. Pada masa ini, istilah semantik itu sendiri belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. Sebab itulah, masa tersebut oleh Ullman disebut sebagai masa pertama pertumbuhan yang diistilahkannya dengan Underground Periode.
2.2.2        Masa kedua pertumbuhan semantik telah ditandai oleh kehadiran karya Michel Breal (1883), seorang berkebangsaan Prancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellecgtuelles du Langage”. Pada masa itu meskipun Breal dengan jelas telah menyebutkan semantik sebagai bidang baru dalam keilmuan, dia seperti halnya Reisig, masih menyebut semantik sebagai ilmu yang murni–historis. Dengan kata lain studi semantik pada saat itu lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur diluar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna latar belakang, perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun sejumlah kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 Essai De Semantique.
2.2.3        Masa pertumbuhan ketiga pertumbuhan studi tentang makna ditandai dengan pemunculan karya filolog Swedia yakni Gustaf Stern, berjudul Meaning and Change of Meaning, with Special Reference to the English Language (1931). Stern dalam kajian itu, sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa yakni bahasa Inggris. Beberapa puluh tahun sebelum kehadiran karya Stern itu, di Jenewa telah diterbitkan kumpulan bahan kuliah seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan arah perkembangan linguistik berikutnya yakni buku Cours de Linguistique General (1916), karya Ferdinand de Saussure.



Indonesia, Kau Ada!



Bukan untuk pertama kalinya aku mendecak heran. Juga bukan untuk pertama kalinya, seperti tidak mengenal diriku sendiri. Kebingunganku, selalu membuat mamang. Apa yang kulakukan sudah menjadi keinginan yang sesungguhnya?
           
Waktu itu gelap sudah menyergap. Dengan udara dingin sisa hujan enam puluh menit yang lalu, aku berjalan sambil menuntun sepeda di bahu jalan. Tentu saja aku tidak sendiri. Seseorang di sampingku itulah, yang memberikan banyak pelajaran.
           
Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan. Kenapa dan mengapa harus Indonesia. Apa yang disukai dari negara yang terkenal dengan koruptor ini?

“Iya, nyaman” begitulah dia menjawab dengan mengacungkan jempol kanannya.

Awalnya aku tidak tahu harus bertanya bagaimana, tentang apakah dia betah tinggal di negara ini, karena dia masih belum mengerti betul pembendaharaan kata bahasa Indonesia. Dia seorang teman baru dari Negeri Gajah Putih. Apakah senyaman itu? Mungkin karena dia tidak sendiri, dan aku kembali membatin.   
           
“Kapan kamu pulang ke Thailand?” tanyaku ragu takut menyinggung hatinya. Karena yang aku tahu, hari raya tahun ini dia tidak bisa berkumpul dengan keluarganya. Dia sudah di Indonesia sebulan sebelum puasa.
           
“Dua tahun” jawabnya dengan logat Melayu.

“Dua tahun? Dua tahun sekali?” dan dijawab dengan anggukan.

Jawaban yang membuatku terperengah. Yang ada dalam bayanganku waktu itu, bagaimana rasanya tidak pulang kampung selama dua tahun? Tidakkah dia merindukan keluarga? Tidakkah dia merindukan tanah airnya? Apa motivasi yang membuat dia rela meninggalkan tanah kelahirannya untuk belajar di sini? Dan yang membuatku terharu, dia datang jauh-jauh untuk belajar bahasa Indonesia. Bahasa yang bahkan tak sedikit diremehkan oleh bangsanya sendiri.
           
“Kamu duluan, aku...” sembari mengacungkan tangan ke kanan. Aku terperenjat. Sampai di gerbang–pintu keluar tiba-tiba dia berkata seperti itu, dengan keadaanku yang masih penuh khayalan. Aku hanya bisa mengangguk, sembari mengartikan maksud dari gestur tubuhnya. Dan aku kembali mengayuh sepedaku, setelah kulihat dia dengan jilbab besarnya melambaikan tangan yang melambangkan salam perpisahan.
           
“Apa aku masih dianggap sebagai wargamu, wahai negaraku? Aku malu kepadamu, kepada mereka yang lebih menghargaimu. Aku penduduk pribumi yang selalu saja belum bisa peduli. Namun, dari mereka aku belajar satu hal. Bahwa kau, ada!” sembari mengayuh sepeda dikerlap-kerlip malam Jalan Jawa yang penuh dengan kendaraan dan pedagang kaki lima.

Inspirasi, 25 September 2016

[Puisi]: Kutitipkan Pada Senja (sudah diterbitkan dalam antalogi Puisi Mengimbau Kenangan)






Apa seharusnya kutitipkan pada senja?
Warnamu yang jingga tanpa rasa
Tawa hangatmu yang tidak bersuara

Saa ini aku hanya dapat bercermin pada masa lalu
Pada bayangan biasmu yang kini terasa nyata

Apa yang kauperbuat?
Hingga aku merengkuh bulir-bulir pahit yang membentang garis daksina!
Sampai-sampai debur ombak tak bisa membawa
repihan getir
Atau memaksa paluh untuk menenggelamkan pecahan-pecahan luka

Apa sebaiknya kutitipkan pada senja?
Sehingga kaudapat pergi
Jua karam bersama petang

Lumajang, 20 Febuari 219

SASTRA, PENGARANG DAN PEMBACA


PENGERTIAN SOSIOLOGI DAN SASTRA 

Werren dan Wellek (1994) mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Kedua, disisi lainnya, definisi sastra juga banyak yang mengarah  pada pengertian sastra ditinjau secara etimologi, asal-muasal kata. 

Teeuw (1984: 22) mengatakan dalam bahasa Barat kata “sastra” itu sepengertian dengan kata literature (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Prancis), yang semua berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan  dari kata Yunani grammatika : litteratura dan grammatika, yang masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti “huruf”. Dengan demikian litterature dan seterusnya pada umumnya berarti, dalam bahasa Barat modern: “segala sesuatu yang tertulis” yaitu pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.

Sementara itu, kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanksekerta : akar katanya adalah “sas-“ dalam kata kerja turunan yang berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi” Pada akhiran “tra-“ menunjukkan pada “alat untuk mengajar, buku pentunjuk, buku instruksi atau pengajaran” Awalan “su-“ dalam bahasa Sansekerta berarti “baik dan indah” sehingga susastra berarti “alat untuk mengajarkan yang indah. Menurut Teeuw, (1984: 24) hal utama dalam sastra adalah nilai dan keindahan. Aspek nilai inilah yang kemudian disebut makna, sastra selalu menyampaikan nilai atau makna kepada pembaca. Maka dari itu zaman dahulu banyak masyarakat yang menyukai sastra untuk menyampaikan nilai atau pesan moral kepada orang lain. Kenyataan bisa dilihat, misalnya pada zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, contohnya anak masih suka mendengarkan cerita, baik baik pengantar tidur, pengantar pelajaran, dll.

Sedangkan dari aspek kulturalnya, sastra sebagai hasil cipta berupa “pikir” dan “rasa” dalam bentuk artefak tulisan, seperti menulis sastra berupa prosa maupun drama. Sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem budaya yang mewakili pikiran manusia dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastra pun hidup dan dihidupi oleh sistem masyarakat yang ada. Hal ini dapat digambarkan, jika yang menulis sastra, baik berupa prosa maupun drama adalah orang yang berbudaya Jawa, maka karya sastra ciptaannya pasti merepresentasikan sistem sosial dan budaya Jawa. Sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat.

Pengertian sosiologi menurut Ishomuddin, 2002:10 (dalam Heru Kurniawan, 2011:4) adalah studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok dengan segala kegiatan dan kebiasaan serta  lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya. 

Dengan demikian, objek kajian dari sosiologi sastra adalah sastra itu sendiri, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untukk memahami gejala sosial yang yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca.

PARADIGMA PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA

Menurut Wellek dan Warmen (1994) mengemukakan tiga paradigmatik pendekatan dalam sosiologi sastra. 

Pertama sosiologi pengarang. Pengarang dimaknai sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami hubungan  sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat. Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya.

Kedua, sosiologi karya sastra, menganalisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra.

Yang ketiga, sosiologi pembaca, kajian pada sosiologi ini mengarah pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial karya sastra. Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.

Sementara itu, menurut Lan Watt 1964 (dalam Heru Kurniawan 2011:11) mengemukakan tiga klarifikasi (paradigma)  dalam sosiologi sastra. 

Pertama, konteks sosiol pengarang, berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Analisisnya : a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, b) profesionalisme dalam kepengarangan yang mencakup sejauh mana pengarangan itu mengangggap pekerjaannya itu sebagai profesi, dan c) masyarakat apa yang yang dituju oleh pengarang, ini berhubungan antara pengarang dan masyarakat yang dituju pengarang ini menentukan bentuk dan isi karya sastra.

Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, berkaitan sejauh mana sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat. Cermin disini bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan  dalam masyarakat.  Dengan demikian sastra sebagai cermin sebagai cermin masyarakat berarti sastra yang memakali semangat zamannya.

Ketiga, fungsi sosial sastra berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra dengan nilai sosial dan sampai sejauh mana nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra di sisi lain dipengaruhi oleh nilai sosial, sastra juga mampu mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat, sehingga sastra memiliki fungsi sosial, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan sosial. 

Dua paradigma di atas, yang dikemukan Wallek dan Warren (1994) dan Ian Watt (1964) menunjukkan kesamaan, yaitu paradigma sosiologi meliputi pendekatan terhadap pengarang, karya sastra, dan pembaca.

Daftar Pustaka:

Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiolagi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu cetakan pertama.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek, Rene and Austin Warren. 1994. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.


Memproduksi Ujaran

Langkah Umum dalam Memproduksi Ujaran

Proses dalam memproduksi ujaran dapat di bagi menjadi empat tingkat: (1) tingkat pesan, dimana pesan yang akan disampaikan di proses (2) tingkat funsional, dimana bentuk leksikal di pilihlalu di beri peran dan fungsi sintaktik, (3) tingkat posisional, di mana konstituen di bentuk dan di afikssasi dilakukan, (4) tingkat fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.

Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang ingin disampaikan. Untuk lebih jelas contoh sebagai berikut.

  • Tutik sedang menyuapi anaknya.

Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara adalah antara lain (a) adanya seseorang, (b) orang ini wanita, (c) dia sudah menikah, (d) dia punya anak, (e) dia sedang melakukan suatu perbuatan dan (f) perbuatan itu adalah memberi makan pada anaknya.

Pada tingkat fungsional, yang di proses ada dua hal. Pertama, memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan di sampaikan dan informasi gramaikal untuk masing-masing bentuk leksikan tersebut. Misalnya, dari sekian orang dan wanita yang dikenal, wanita yang dimaksud adalah tutik, dan wanita ini adalah nama orang perempuan, perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba dasar suap, antara dua argumen tutik dan anaknya, tutik adalah pelakuperbuatan sedangkan anaknya adalah resipiennya. 

Proses kedua pada tingkat fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah di pilih. Fungsi ini menyangkut fungsi sintaktik dan gramatikal. Pada contoh di atas, kata tutik harus dikaitkan dengan fungsi subjek sedangkan anaknya pada fungsi objek.

Pada tingkat posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan didasarkan pada jejeran yang linier tetapi pada kesatuan makna yang hierarki. Pada contoh di atas kata sedang bertautan dengan menyuapi, bukan dengan tutik. Begitu juga –nya bertaut dengan anak, bukan pada tutik atau menyuapi.

Setelah pengurutan itu selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Pada bahasa contoh kalimat di atas verba dasarsuap haruslah ditambahkan sufiks –i ( disamping prefiks men- ). Hasil dari pemrosesan proposional ini dikirim ke tingkat fonologi untuk diwujudkan dalam bentuk bunyi.


Rincian Produksi Ujaran

Seperti halnya contoh di atas dalam proses memproduksi ujaran orang mulai dari perencanaan mengenai topik yang akan diujarkan, kemudian turun ke kalimat yang akan di pakai, dan turun lagi ke konstituen yang akan dipilih. Barulah setelah itu dia masuk ke pelaksanaann dari yang akan diujarkan. Ini mencakup rencana artikulasi dan mengartikulasikannya. Agar lebih jelas akan dibahas lebih rinci sebagai berikut. 

Perencanaan Produksi Wacana

Pada umumnya wacana dibagi menjadi dua macam: 1) dialog dan 2) monolog. Perbedaan utama antara dua macam ini terletak pada ada tidaknya interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pada dialaog terdapat paling tidak dua pelaku yakni, yang berbicara dan yang di ajak bicara. Pada wacana monolog hanya da satu pelaku, kalau wacana itu lisan, hanya ada satu pembicara, kalau wacana tulis hanya penuis sebagai pelaku. Baik dialog maupun monolog mempunyai aturan yang rumit yang umumnya dikuti orang, meskipun belum tentu dengan sadar.

Wacana dialog

Dalam wacana dialog oleh H. Clark (soenjono, 2005:121) ada empat unsur yang terlibat, yaitu personalia, latar bersama, perbuatan bersama, dan kontribusi.

Unsur personalia:  Pada unsure personalia, minimal harus ada dua partisipan, yakni pembicara dan interlakutor. Tidak mustahil pula daya pendengar yakni, orang lain yang ikut serta dalam pembiraraan itu. Di samping itu, personalia juga dapat mencakup partisipan yang mempunyai akses terhadap apa yang dibicarakan oleh penbicara dan interlocutor dan kehadirannya diakui. Terakhir adalah penguping yakni, partisipan yang juga mempunyai akses terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak diakui artinya bias saja dia ada di kamar sebelah tetapi mendengar percakapan tersebut.

Unsur latar bersama: Konsep latar bersama merujuk pada anggapan bahwa pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki prasuposisi dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam pengetahuan inilah yang dinamakan latar bersama, untuk lebih jelas diuraikan contoh sebagai berikut:

Fivien: Halo. Ini Fivien (1).

Amrul: O, halo, Vien. Apa kabar? (2)

Fivien: Baik-baik aja. Eh, kamu dengar, nggak, si Bram masuk rumah sakit? (3)

Amrul: Belum, tuh. Kapan, kenpa? (4)

Fivien: Tenggorokannya kena duri ikan, tapi lalu jadi bengkak. (5)

Amrul: O, ya?! Kamu udah jenguk? (6)

Fivien: Belum, ayo, kita jenguk, yo. (7)

Amrul: Ok, kita ketemu di kampus jam 04.00?(8)

Fivien: OK. See you. (9)

Amrul: See you.

Latar bersama yang dimiliki oleh fivien dan amrul adalah teman mereka yang bernama bram. Karena fivien berasumsi bahwa amrul kenal bram, dan amrulpun tahu bahwa fivien kenal bram, maka pengetahuan ini dijadikan latar bersama untuk membicarakan apa yang terjadi pada bram.

Unsur perbuatan bersama: Yang dimaksud dengan perbuatan bersama adalah bahwa pembicara baik interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Pada contoh di atas ada tiga macam perbuatan pertama adalah sapaan fivien dengan kata halo (pada kalimat 1), yang kemudian disambut dengan halo pula oleh amrul (pada kalimat 2). Perbuatan(1-2) ini umumnya dinamakan pembukaan dalam percakapan. Sesudah pembukaan terjadi, maka masuklah kedua pembicarapa dapertukaran informasi(kalimat 3-5) yang diikuti ajakan dan persetujuan untuk menjenguk. Bagian ini dinamakan isi percakapan, percakapan itu di akhiri dengan bagian penutup, yang dimulai pada kalimat (8).

Unsur konstribusi: Konstribusi umumnya mempunyai dua tahap yaitu : (a) tahap presentasi dimana pembicara menyampaikan sesuatu untuk dipahami oleh interlokutor , dan (b) tahap pemahaman dimana interlocutor telah memahami apa yang disampaikan oleh pembicara. Suatu percakapan hanya akan dapat berlanjut bila pelataran seperti ini terbentuk. Pelataran juga tumbuh secara akumulatif, artinya pelataran itu berkembang dari satu kalimat ke kalimat lain, tergantung pada si pembicaraan. Suatu pelataran bisa mulai dengan pelataran A(sakitnya seseorang) kemudian pindah ke B, harga obat yang mahal, kemudian ke C, repotnya memakai askes.

Wacana Monolog 

Berbeda dengan wacana dialog, wacana monolog umumnya mempunyai satu partsipan, yakni, orang yang berbicara (atau menulis) itu sendiri. Wacana monolog adalah wacana yang berisi penyampaian gagasan dari satu pihak kepada pihak yang lain tanpa adanya pergantian peran antara pembicara dan pendengar atau penyampai dan penerima. Dalam wacana monolog hanya terjadi komunikasi satu arah. Penerima pesan berada pada posisi tetap selama peristiwa tutur terjadi. Contoh wacana monolog ini adalah pidato, ceramah, atau khotbah di rumah ibadah yang tidak memberi kesempatan kepada pendengar atau penerima pesan untuk menangggapi dan memberi komentar terhadap penyampaian pesan tersebut (Rusminto, 2009 : 16). Tentu saja wacana seperti ini tidak memiliki aturan yang sama dengan aturan untuk dialog. Pada monologorang umumnya mengikuti narasi tertentu. Dari segi informasi yang akan diberikan, orang memilah-milah mana yang layak dimasukkan dan mana yang tidak. Disamping pemilah-milahan seperti ini, kita juga harus menentukan sedetail mana kita mengatakan apa yang ingin kita katakan.

Faktor lain dalam wacana monolog  adalah urutan penyajian. Jika kita menarasikan suatu perjalanan ke A, B, dan C maka akan sulitlah kalau kita loncat dari A ke C, lalu ke B, lalu ke A, kemudian ke C lagi. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Dalam kunjungan ke Bogor apa hubungan antara Kebun Raya dengan kunjungan ke sana. Begitu juga Puncak, apa hubungannya – apakah untuk memeriksa keadaan jalan di Puncak atau untuk berlibur ke sana, dsb.

Keempat faktor ini akan mewujudkan wacana monolog yang koheren, yakni, yang serasi dari segi maknanya. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan bahwa semua orang dapat dan selalu melakukan hal seperti ini. Mungkin malah lebih banyak orang yang cara menyampaikan sesuatu tidak runtun, tidak sistematik, dan juga tidak relevan.

Perencanaan Produksi Kalimat

Setelah kita mengetahui apa yang ingin kita katakan, maka sampailah kita pada perencanaan produksi kalimat. Menurut Clark dan Clark ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan proposisional (propositional content), muatan ilokusioner, dan struktur semantik (1977: 237-248; Soenjono : 12).

Muatan Proporsional

Pada kategori muatan proposisional, pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dia nyatakan: seorang ibu yang menyuapi anaknya, mengujungi orang sakit, menuai padi, atau apa. Dalam proses ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemilihan peristiwa atau keadaan. Dalam suatu wacana yang akan terujar dalam bentuk kalimat-kalimat, kita memilah-milah peristiwa atau keadaan itu menjadi ihwal yang seolah-olah terpisah-pisah. Kalau kita mau berbicara tentang seorang resepsionis muda yang menyapa pasien tua maka pemilahannya bisa:

(1)   Ada seorang resepsionis. Ada seorang pasien. Resepsiaonis itu muda. Pasien itu tua.

Perencanaan kalimat juga bisa dipengaruhi oleh kodrat bahasa kita. Bagi orang Jawa, kalimat (2) dan (3) tidaklah sama.(2)   Jupuken upo iku.   

       ‘Ambillah upo itu.’

(3)   Jupuken sego iku. 

‘Ambillah nasi itu.                                                 

Karena pada (2) yang diambil adalah satu atau dua butir nasi yang jatuh dari pring ke, misalnya, meja. Pada (3) tidak begitulah maknanya-seluruh nasi harus diambil.

Orang juga pada umunya mengikuti cara penyampaian yang paling sederhana, kecuali kalau memang ada alas an untuk berbuat lain. Tidak mustahil bahwa prinsip kesederhanaan ini dilanggar karena adanya suatu pengertian umum yang berlaku pada masyarakat. Perhatikan contoh berikut :

(4)   Anak yang ketabrak itu dibawa kerumah sakit. Dokter bedah segera mengoprasinya. Ayahnya hanya bisa menunggu dan berdoa. Sementara itu, ibunya berkonsentrasi penuh.

Dari wacana ini orang tidak akan cepat mengira bahwa dokter bedah tadi adalah ibu dari anak yang ketabrak tadi. Pengertian itu muncul karena kita mempunyai asumsi bahwa dokter bedah umumnya adalah pria. Karena itulah maka kadang-kadang orang melanggar prinsip kesederhanaan dengan mengatakan, misalnya, (5) bukan (6)

(5)   Dokter bedah di sini bukan pria.

(6)   Dokter bedah di sini wanita.

Manusia juga pada umumnya bertitik tolak pandangannya dari segi yang positif ke segi yang negatif. Orang umumnya menganggap sesuatu yang positif itu lumrah (dalam linguistic disebutnya unmarked) sedangkan yang negative itu tidak lumrah(marked). Dengan dasar prinsip yang universal ini, orang umumnya akan memakai kalimat (7), bukan (8), untuk menanyakan tinggi badan seseorang:

(7)   Berapa tinggalnya, sih, pacar barumu

(8)   Berapa pendeknya, sih, pacar barumu

Orang juga akan memakai (9) dan bukan (10), kecuali ada tujuan-tujuan tertentu.

(9) Berapa besar gajimu sekarang?

(10) Berapa kecil gaji musekarang?

Muatan Ilokusioner

Setelah muatan proposional ditentukan, pembicara menentukan muatan ilokusionernya, yakni, makna yang akan disampaikan itu akan diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Disini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat dinyatakan dengan kalimat representatif atau kalimat direktif. Dalam konteks rencana bepergian, kalimat (10) bukanlah suatu pertanyaan, tetapi suatu ajakan.

(11) kenapa nggak berangkat sekarang saja?

Suatu maksud dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Untuk mengundang seseorang datang ke pesta, orang dapat memakai salah satu kalimat berikut:

(12)     a. Pak, kami ingin mengundang Bapak untuk....

b. Bila Bapak kebetulan ada waktu, kami ingin Bapak dapat datang...

c. Bisa nggak, Pak,datang....

d. Datang, dong, Pak, ke....

Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan. Cara mana yang dipilih dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang umumnya berkaitan erat dengan kedudukan sosial, perbedaan umur, hubungan kekerabatan, dan derajat keakraban antara pembicara dengan interlokutornya. Pada contoh (12), kalimat (d) hanya mungkin diucapkan oleh, misalnya mahasiswa kepada dosennya, kalau hubungan mereka dekat.

Struktur Tematik

Struktur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana objek. Contoh:

(13) Tyono mencari buku itu.

(14) Buku itu dicari Tyono.

Kedua contoh di atas terlihat sama, namun sebenarnya (13) dan (14) berbeda.  (13) kalau beranggapan bahwa Tyono mengandung informasi lama dan informasi baru yang sedang disampaikan adalah mencari buku itu. Sebaliknya (14) kalau informasi lama itu buku itu – yang sedang dicari oleh Tyono.

Pemilihan subjek dan kalimat aktif atau pasif dapat mempengaruhi makna. Kalau anak yang sedang disuapi itu adalah anaknya Tutiek, maka (15) adalah cocok. Kalau dijadikan pasif seperti (16) maka artinya berubah. Bentuk –nya pada (16) tidak marujuk kepada Tutiek lagi.

(17) Tutiek sedang menyuapi anaknya.

(18) Anaknya sedang disuapi oleh Tutiek.

Perencanaan Produksi Konstituen

Setelah perencanaan kalimat selesai dibuat, turunlah si pembicara ke tataran konstituen yang membentuk kalimat itu. Dipilih kata yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki. Seandainya, referennya adalah seorang pria, maka kalau dia benci orang itu, pilihan kata dia mungkin adalah si brengsek atau bajingan itu, dsb. Sebaliknya, bila pembicara adalah pengagum pria itu, bisa saja pilihannya adalah si tampan.

(19) Tu, tuh, si brengsek datang.

(20) Tu, tuh, si tampan datang.

Satu referen mempunyai “julukan” yang lebih dari satu adalah suatu hal yang biasa. Misalnya Ir. Soekarno bisa dirujuk sebagai (1) presiden pertama RI, (2) proklamator bangsa, (3) pendiri Partai Nasionalis Indonesia dsb. Mana yang dipilih pembicara tergantung pada makna yang ingin disampaikan.

Konteks kalimat juga memegang peran penting. Kalau sudah menyatakan sesuatu seperti sepeda pada (21) dan kemudian akan merujuk ke sepeda yang sama itu, maka rujukan kepada benda yang telah kita sebutkan sebelumnya itu harus ditandai dengan itu seperti pada (22).

(21)Kemarin Wardi baru beli sepeda. 

(22)Sepeda itu berwarna hitam.

Kalau yang dipakai, misalnya, sebuah, sehingga terbentuklah kalimat Sebuah sepeda berwarna hitam, dan bukan sepeda itu, maka tidak sedang berbicara tentang sepeda yang baru saja dibeli Wardi.

Kalau yang dirujuk adalah bagian yang wajib dari sepeda itu – misalnya sadel, ban, atau rantai – maka yang dipakai bukan itu tetapi –nya seperti contoh di bawah ini. 

(23) Sadelnya sudah tua.

Bannya masih bagus.

Rantainya agak kendur.

Dalam bahasa, rujukan kepada benda yang unik, seperti bulan atau matahari, adalah tanpa itu atau –nya. Sebaliknya dalam bahasa Inggris benda yang unik ditandai dengan the.

(24)The sun rises in the east.

(25) Matahari terbit di timur.

*Matahari itu terbit di timur. 

Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan karena dalam kasus-kasus tertentu penanda definit seperti itu atau –nya memberikan makna tersendiri.

(26) Dia pergi ke kamar dan diambilnya sebuah botol.

(27) Dia pergi ke kamar dan diambilnya botol itu.

Pada contoh (26) tersirat pengertian bahwa di kamar ada lebih dari satu botol dan dia menggambil salah satu botol itu. Pada (27)  di kamar itu hanya ada satu botol dan botol itu telah secara mental teridentifikasi sebelumnya.

Pemilihan kata kadang-kadang juga ditentukan oleh prinsipel keberbedaan (distinguishability principle). Bila ada referen atau lebih yang wujud fisiknya berbeda, maka akan memilih kata yang fitur semantiknya membedakan kedua benda itu.





Daftar Pustaka:

Dardjowidjojo, Soejono.2005.Psikolinguistik.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 

http://digilib.unila.ac.id/7456/16/BAB%20II.pdf. [Diakses pada tanggal 1 April 2018].