Himitsu no Kazoo
Menyikapi Pesta Demokrasi Melalui Film Masquerade
Masquerade adalah film bergenre kerajaan yang diproduksi tahun 2012.
Film yang sutradarai oleh Choo Chang min berhasil menjual tiket 12,3 juta.
Masquerade ditulis oleh Hwang Jo Yoon dan menjadi film sejarah terlaris di
Korea Selatan. Film yang dirilis pada 13 September 2012 memenangi 15 kategori
dalam Grand Bell Award ke-49, termasuk dalam film, sutradara, skenario dan
aktor terbaik.
Film berdurasi 131 menit ini dibintangi oleh
Lee Byun Hun yang berperan sebagai Raja Gwang Hae dan Ha Sun, Han Hyo Joo
berperan sebagai Ratu Joong Jun, Ryu Seung Ryong berperan sebagai Heo Gyun dan
Do yang diperankan oleh Kim In Gwon.
Masquerade bercerita tentang seorang raja
yang mengalami tekanan akibat adanya desas-desus penghianatan sehingga menyuruh
sekretarisnya Heo Gyun untuk menemukan seseorang untuk menggantikan posisinya
di kerajaan. Heo Gyun membawa Ha Sun yang begitu mirip Raja Gwang Hae yang
berprofesi sebagai seorang pelawak.
Selama tiga hari sekali, Ha Sun menggantikan
posisi raja di malam hari. Namun beberapa hari kemudian Raja Gwang Hae sakit
akibat diracun dan dibawa ke kuil terpencil untuk mendapatkan pengobatan. Pada
saat yang sama Sekretaris Heo Gyun menyuruh Do menjemput Ha Sun menggantikan
posisi raja untuk sementara.
Ketika masa kepemimpinan Ha Sun suasana
kerajaan menjadi berbeda. Ha Sun adalah tipe orang yang mudah tersentuh dan
memiliki empati yang sangat tinggi. Sebagai rakyat kalangan rendah, Ha Sun
selalu mementingkan kepentingan rakyat. Dia sangat peduli kepada gadis yang
masih berusia 15 tahun, dan selalu adil dalam menyikapi setiap masalah yang ada
dalam kerajaan.
Seperti pada saat, ketika Ha Sun mengetahui
adanya korupsi yang dilakukan oleh orang-orang penguasa. Secara tegas, Ha Sun
langsung membuat peraturan untuk mengembalikan hak rakyat kecil.
“Suruh seluruh hakim untuk membuka gudang
penyimpanan mereka, dan kembalikan semua beras dan linen kepada rakyat yang
berhak. Segera laksanakan hukum persamaan lahan tanah, aku mungkin mencuri dan
mengambil sesuatu dari mereka. Tetapi aku tidak akan memaksa untuk mereka
mati.”
Kemudian, secara langsung Ha Sun juga
membebaskan kakak ipar raja yang dituduh telah melakukan penghiatan. Padahal
kakak ipar raja adalah salah satu abdi yang setia. Hanya saja, kakak ipar
digunakan sebagai kambing hitam untuk menggulingkan posisi ratu.
Untuk masalah kakak ipar raja, Raja Gwang He
sendiri memanfaatkan masalah tersebut untuk mengambil kepercayaan dari lawan.
Karena sebagai raja, urusan dan masalah politik menjadi pertimbangan sendiri.
Namun bila Ha Sun yang memimpin kala itu, dia menentang keras kalau politik
hanya membuat seseorang buta. Politik hanya mementingkan kekuasaan.
“Untukku,
negeraku dan rakyatku beratus-ratus kali lipat lebih berharga, dari pada sebuah
kebijakan politik.”
Kalimat yang menenangkan bukan? Ini adalah
salah satu film yang tidak boleh dilewatkan. Meski sudah tujuh tahun yang lalu
diliris, tapi cerita inspiratif dari seorang Raja Ha Sun, eh raja penyamar ini
begitu meningkatkan kembali sebuah harapan untuk bangsa ini.
Iya loh, banyak hal menyentuh seperti
berempati dan kepedulian, keadilan, yang digambarkan dalam film ini. Selain
itu, salah satu yang menjadi harapan adalah .... adakah seseorang seperti Ha
Sun di negara ini?
Setelah melewati pesta demokrasi, akankah ada
Ha Sun diantara kandidat calon presiden kita?
#HarapanUntukIndonesia
Dari kami, Milenial.
Pesta Demokrasi, 17 April 2019
Pengertian dan Sejarah Semantik
2.1 Pengertian Semantik
2.2 Sejarah Semantik
Indonesia, Kau Ada!
[Puisi]: Kutitipkan Pada Senja (sudah diterbitkan dalam antalogi Puisi Mengimbau Kenangan)
SASTRA, PENGARANG DAN PEMBACA
PENGERTIAN SOSIOLOGI DAN SASTRA
Werren dan Wellek (1994) mendefinisikan sastra sebagai karya imajinatif yang bermediakan bahasa dan mempunyai nilai estetika dominan. Kedua, disisi lainnya, definisi sastra juga banyak yang mengarah pada pengertian sastra ditinjau secara etimologi, asal-muasal kata.
Teeuw (1984: 22) mengatakan dalam bahasa Barat kata “sastra” itu sepengertian dengan kata literature (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Prancis), yang semua berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika : litteratura dan grammatika, yang masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti “huruf”. Dengan demikian litterature dan seterusnya pada umumnya berarti, dalam bahasa Barat modern: “segala sesuatu yang tertulis” yaitu pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis.
Sementara itu, kata “sastra” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sanksekerta : akar katanya adalah “sas-“ dalam kata kerja turunan yang berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau instruksi” Pada akhiran “tra-“ menunjukkan pada “alat untuk mengajar, buku pentunjuk, buku instruksi atau pengajaran” Awalan “su-“ dalam bahasa Sansekerta berarti “baik dan indah” sehingga susastra berarti “alat untuk mengajarkan yang indah. Menurut Teeuw, (1984: 24) hal utama dalam sastra adalah nilai dan keindahan. Aspek nilai inilah yang kemudian disebut makna, sastra selalu menyampaikan nilai atau makna kepada pembaca. Maka dari itu zaman dahulu banyak masyarakat yang menyukai sastra untuk menyampaikan nilai atau pesan moral kepada orang lain. Kenyataan bisa dilihat, misalnya pada zaman dahulu, bahkan sampai sekarang, contohnya anak masih suka mendengarkan cerita, baik baik pengantar tidur, pengantar pelajaran, dll.
Sedangkan dari aspek kulturalnya, sastra sebagai hasil cipta berupa “pikir” dan “rasa” dalam bentuk artefak tulisan, seperti menulis sastra berupa prosa maupun drama. Sastra menjadi disiplin objek kajian budaya karena sastra adalah sistem budaya yang mewakili pikiran manusia dalam kehidupan sosial masyarakat. Sastra pun hidup dan dihidupi oleh sistem masyarakat yang ada. Hal ini dapat digambarkan, jika yang menulis sastra, baik berupa prosa maupun drama adalah orang yang berbudaya Jawa, maka karya sastra ciptaannya pasti merepresentasikan sistem sosial dan budaya Jawa. Sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya sebagai basis kehidupan penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dihidupi oleh masyarakat.
Pengertian sosiologi menurut Ishomuddin, 2002:10 (dalam Heru Kurniawan, 2011:4) adalah studi tentang masyarakat yang mengemukakan sifat atau kebiasaan manusia dalam kelompok dengan segala kegiatan dan kebiasaan serta lembaga-lembaga yang penting sehingga masyarakat dapat berkembang terus dan berguna bagi kehidupan manusia, karena pengaturan yang mendasar tentang hubungan manusia secara timbal balik dan juga karena faktor-faktor yang melibatkannya serta dari interaksi sosial berikutnya.
Dengan demikian, objek kajian dari sosiologi sastra adalah sastra itu sendiri, yang berupa karya sastra, sedangkan sosiologi berguna sebagai ilmu untukk memahami gejala sosial yang yang ada dalam sastra, baik penulis, fakta sastra, maupun pembaca.
PARADIGMA PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
Menurut Wellek dan Warmen (1994) mengemukakan tiga paradigmatik pendekatan dalam sosiologi sastra.
Pertama sosiologi pengarang. Pengarang dimaknai sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra. Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam memahami hubungan sosial karya sastra dengan masyarakat, tempat pengarang bermasyarakat. Dalam penciptaan karya sastra, campur tangan penulis sangat menentukan. Realitas yang digambarkan dalam karya sastra ditentukan oleh pikiran penulisnya.
Kedua, sosiologi karya sastra, menganalisis terhadap aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Fokus perhatian sosiologi karya sastra adalah pada isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan yang berkaitan dengan masalah sosial. Kajian sosiologi karya sastra memiliki kecenderungan untuk tidak melihat karya sastra sebagai suatu keseluruhan, tetapi hanya tertarik kepada unsur-unsur sosiobudaya yang ada di dalam karya sastra. Kajian hanya mendasarkan pada isi cerita, tanpa mempersoalkan struktur karya sastra.
Yang ketiga, sosiologi pembaca, kajian pada sosiologi ini mengarah pada dua hal, yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan kajian pada pengaruh sosial karya sastra. Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam menciptakan karya sastranya. Kajian terhadap sosiologi pembaca berarti mengkaji aspek nilai sosial yang mendasari pembaca dalam memaknai karya sastra.
Sementara itu, menurut Lan Watt 1964 (dalam Heru Kurniawan 2011:11) mengemukakan tiga klarifikasi (paradigma) dalam sosiologi sastra.
Pertama, konteks sosiol pengarang, berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Analisisnya : a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, b) profesionalisme dalam kepengarangan yang mencakup sejauh mana pengarangan itu mengangggap pekerjaannya itu sebagai profesi, dan c) masyarakat apa yang yang dituju oleh pengarang, ini berhubungan antara pengarang dan masyarakat yang dituju pengarang ini menentukan bentuk dan isi karya sastra.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, berkaitan sejauh mana sastra dapat mencerminkan keadaan masyarakat. Cermin disini bukan berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan dalam masyarakat. Dengan demikian sastra sebagai cermin sebagai cermin masyarakat berarti sastra yang memakali semangat zamannya.
Ketiga, fungsi sosial sastra berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra dengan nilai sosial dan sampai sejauh mana nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Sastra di sisi lain dipengaruhi oleh nilai sosial, sastra juga mampu mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat, sehingga sastra memiliki fungsi sosial, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya perubahan sosial.
Dua paradigma di atas, yang dikemukan Wallek dan Warren (1994) dan Ian Watt (1964) menunjukkan kesamaan, yaitu paradigma sosiologi meliputi pendekatan terhadap pengarang, karya sastra, dan pembaca.
Daftar Pustaka:
Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiolagi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu cetakan pertama.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1994. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Memproduksi Ujaran
Langkah Umum dalam Memproduksi Ujaran
Proses dalam memproduksi ujaran dapat di bagi menjadi empat tingkat: (1) tingkat pesan, dimana pesan yang akan disampaikan di proses (2) tingkat funsional, dimana bentuk leksikal di pilihlalu di beri peran dan fungsi sintaktik, (3) tingkat posisional, di mana konstituen di bentuk dan di afikssasi dilakukan, (4) tingkat fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.
Pada tingkat pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang ingin disampaikan. Untuk lebih jelas contoh sebagai berikut.
- Tutik sedang menyuapi anaknya.
Nosi-nosi yang ada pada benak pembicara adalah antara lain (a) adanya seseorang, (b) orang ini wanita, (c) dia sudah menikah, (d) dia punya anak, (e) dia sedang melakukan suatu perbuatan dan (f) perbuatan itu adalah memberi makan pada anaknya.
Pada tingkat fungsional, yang di proses ada dua hal. Pertama, memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan di sampaikan dan informasi gramaikal untuk masing-masing bentuk leksikan tersebut. Misalnya, dari sekian orang dan wanita yang dikenal, wanita yang dimaksud adalah tutik, dan wanita ini adalah nama orang perempuan, perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba dasar suap, antara dua argumen tutik dan anaknya, tutik adalah pelakuperbuatan sedangkan anaknya adalah resipiennya.
Proses kedua pada tingkat fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah di pilih. Fungsi ini menyangkut fungsi sintaktik dan gramatikal. Pada contoh di atas, kata tutik harus dikaitkan dengan fungsi subjek sedangkan anaknya pada fungsi objek.
Pada tingkat posisional, diurutkan bentuk leksikal untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Pengurutan ini bukan didasarkan pada jejeran yang linier tetapi pada kesatuan makna yang hierarki. Pada contoh di atas kata sedang bertautan dengan menyuapi, bukan dengan tutik. Begitu juga –nya bertaut dengan anak, bukan pada tutik atau menyuapi.
Setelah pengurutan itu selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Pada bahasa contoh kalimat di atas verba dasarsuap haruslah ditambahkan sufiks –i ( disamping prefiks men- ). Hasil dari pemrosesan proposional ini dikirim ke tingkat fonologi untuk diwujudkan dalam bentuk bunyi.
Rincian Produksi Ujaran
Seperti halnya contoh di atas dalam proses memproduksi ujaran orang mulai dari perencanaan mengenai topik yang akan diujarkan, kemudian turun ke kalimat yang akan di pakai, dan turun lagi ke konstituen yang akan dipilih. Barulah setelah itu dia masuk ke pelaksanaann dari yang akan diujarkan. Ini mencakup rencana artikulasi dan mengartikulasikannya. Agar lebih jelas akan dibahas lebih rinci sebagai berikut.
Perencanaan Produksi Wacana
Pada umumnya wacana dibagi menjadi dua macam: 1) dialog dan 2) monolog. Perbedaan utama antara dua macam ini terletak pada ada tidaknya interaksi antara pembicara dengan pendengar. Pada dialaog terdapat paling tidak dua pelaku yakni, yang berbicara dan yang di ajak bicara. Pada wacana monolog hanya da satu pelaku, kalau wacana itu lisan, hanya ada satu pembicara, kalau wacana tulis hanya penuis sebagai pelaku. Baik dialog maupun monolog mempunyai aturan yang rumit yang umumnya dikuti orang, meskipun belum tentu dengan sadar.
Wacana dialog
Dalam wacana dialog oleh H. Clark (soenjono, 2005:121) ada empat unsur yang terlibat, yaitu personalia, latar bersama, perbuatan bersama, dan kontribusi.
Unsur personalia: Pada unsure personalia, minimal harus ada dua partisipan, yakni pembicara dan interlakutor. Tidak mustahil pula daya pendengar yakni, orang lain yang ikut serta dalam pembiraraan itu. Di samping itu, personalia juga dapat mencakup partisipan yang mempunyai akses terhadap apa yang dibicarakan oleh penbicara dan interlocutor dan kehadirannya diakui. Terakhir adalah penguping yakni, partisipan yang juga mempunyai akses terhadap percakapan itu tetapi kehadirannya tidak diakui artinya bias saja dia ada di kamar sebelah tetapi mendengar percakapan tersebut.
Unsur latar bersama: Konsep latar bersama merujuk pada anggapan bahwa pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki prasuposisi dan pengetahuan yang sama. Kesamaan dalam pengetahuan inilah yang dinamakan latar bersama, untuk lebih jelas diuraikan contoh sebagai berikut:
Fivien: Halo. Ini Fivien (1).
Amrul: O, halo, Vien. Apa kabar? (2)
Fivien: Baik-baik aja. Eh, kamu dengar, nggak, si Bram masuk rumah sakit? (3)
Amrul: Belum, tuh. Kapan, kenpa? (4)
Fivien: Tenggorokannya kena duri ikan, tapi lalu jadi bengkak. (5)
Amrul: O, ya?! Kamu udah jenguk? (6)
Fivien: Belum, ayo, kita jenguk, yo. (7)
Amrul: Ok, kita ketemu di kampus jam 04.00?(8)
Fivien: OK. See you. (9)
Amrul: See you.
Latar bersama yang dimiliki oleh fivien dan amrul adalah teman mereka yang bernama bram. Karena fivien berasumsi bahwa amrul kenal bram, dan amrulpun tahu bahwa fivien kenal bram, maka pengetahuan ini dijadikan latar bersama untuk membicarakan apa yang terjadi pada bram.
Unsur perbuatan bersama: Yang dimaksud dengan perbuatan bersama adalah bahwa pembicara baik interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya mempunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Pada contoh di atas ada tiga macam perbuatan pertama adalah sapaan fivien dengan kata halo (pada kalimat 1), yang kemudian disambut dengan halo pula oleh amrul (pada kalimat 2). Perbuatan(1-2) ini umumnya dinamakan pembukaan dalam percakapan. Sesudah pembukaan terjadi, maka masuklah kedua pembicarapa dapertukaran informasi(kalimat 3-5) yang diikuti ajakan dan persetujuan untuk menjenguk. Bagian ini dinamakan isi percakapan, percakapan itu di akhiri dengan bagian penutup, yang dimulai pada kalimat (8).
Unsur konstribusi: Konstribusi umumnya mempunyai dua tahap yaitu : (a) tahap presentasi dimana pembicara menyampaikan sesuatu untuk dipahami oleh interlokutor , dan (b) tahap pemahaman dimana interlocutor telah memahami apa yang disampaikan oleh pembicara. Suatu percakapan hanya akan dapat berlanjut bila pelataran seperti ini terbentuk. Pelataran juga tumbuh secara akumulatif, artinya pelataran itu berkembang dari satu kalimat ke kalimat lain, tergantung pada si pembicaraan. Suatu pelataran bisa mulai dengan pelataran A(sakitnya seseorang) kemudian pindah ke B, harga obat yang mahal, kemudian ke C, repotnya memakai askes.
Wacana Monolog
Berbeda dengan wacana dialog, wacana monolog umumnya mempunyai satu partsipan, yakni, orang yang berbicara (atau menulis) itu sendiri. Wacana monolog adalah wacana yang berisi penyampaian gagasan dari satu pihak kepada pihak yang lain tanpa adanya pergantian peran antara pembicara dan pendengar atau penyampai dan penerima. Dalam wacana monolog hanya terjadi komunikasi satu arah. Penerima pesan berada pada posisi tetap selama peristiwa tutur terjadi. Contoh wacana monolog ini adalah pidato, ceramah, atau khotbah di rumah ibadah yang tidak memberi kesempatan kepada pendengar atau penerima pesan untuk menangggapi dan memberi komentar terhadap penyampaian pesan tersebut (Rusminto, 2009 : 16). Tentu saja wacana seperti ini tidak memiliki aturan yang sama dengan aturan untuk dialog. Pada monologorang umumnya mengikuti narasi tertentu. Dari segi informasi yang akan diberikan, orang memilah-milah mana yang layak dimasukkan dan mana yang tidak. Disamping pemilah-milahan seperti ini, kita juga harus menentukan sedetail mana kita mengatakan apa yang ingin kita katakan.
Faktor lain dalam wacana monolog adalah urutan penyajian. Jika kita menarasikan suatu perjalanan ke A, B, dan C maka akan sulitlah kalau kita loncat dari A ke C, lalu ke B, lalu ke A, kemudian ke C lagi. Faktor terakhir adalah hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lain. Dalam kunjungan ke Bogor apa hubungan antara Kebun Raya dengan kunjungan ke sana. Begitu juga Puncak, apa hubungannya – apakah untuk memeriksa keadaan jalan di Puncak atau untuk berlibur ke sana, dsb.
Keempat faktor ini akan mewujudkan wacana monolog yang koheren, yakni, yang serasi dari segi maknanya. Tentu saja kita tidak dapat mengharapkan bahwa semua orang dapat dan selalu melakukan hal seperti ini. Mungkin malah lebih banyak orang yang cara menyampaikan sesuatu tidak runtun, tidak sistematik, dan juga tidak relevan.
Perencanaan Produksi Kalimat
Setelah kita mengetahui apa yang ingin kita katakan, maka sampailah kita pada perencanaan produksi kalimat. Menurut Clark dan Clark ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan proposisional (propositional content), muatan ilokusioner, dan struktur semantik (1977: 237-248; Soenjono : 12).
Muatan Proporsional
Pada kategori muatan proposisional, pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dia nyatakan: seorang ibu yang menyuapi anaknya, mengujungi orang sakit, menuai padi, atau apa. Dalam proses ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemilihan peristiwa atau keadaan. Dalam suatu wacana yang akan terujar dalam bentuk kalimat-kalimat, kita memilah-milah peristiwa atau keadaan itu menjadi ihwal yang seolah-olah terpisah-pisah. Kalau kita mau berbicara tentang seorang resepsionis muda yang menyapa pasien tua maka pemilahannya bisa:
(1) Ada seorang resepsionis. Ada seorang pasien. Resepsiaonis itu muda. Pasien itu tua.
Perencanaan kalimat juga bisa dipengaruhi oleh kodrat bahasa kita. Bagi orang Jawa, kalimat (2) dan (3) tidaklah sama.(2) Jupuken upo iku.
‘Ambillah upo itu.’
(3) Jupuken sego iku.
‘Ambillah nasi itu.
Karena pada (2) yang diambil adalah satu atau dua butir nasi yang jatuh dari pring ke, misalnya, meja. Pada (3) tidak begitulah maknanya-seluruh nasi harus diambil.
Orang juga pada umunya mengikuti cara penyampaian yang paling sederhana, kecuali kalau memang ada alas an untuk berbuat lain. Tidak mustahil bahwa prinsip kesederhanaan ini dilanggar karena adanya suatu pengertian umum yang berlaku pada masyarakat. Perhatikan contoh berikut :
(4) Anak yang ketabrak itu dibawa kerumah sakit. Dokter bedah segera mengoprasinya. Ayahnya hanya bisa menunggu dan berdoa. Sementara itu, ibunya berkonsentrasi penuh.
Dari wacana ini orang tidak akan cepat mengira bahwa dokter bedah tadi adalah ibu dari anak yang ketabrak tadi. Pengertian itu muncul karena kita mempunyai asumsi bahwa dokter bedah umumnya adalah pria. Karena itulah maka kadang-kadang orang melanggar prinsip kesederhanaan dengan mengatakan, misalnya, (5) bukan (6)
(5) Dokter bedah di sini bukan pria.
(6) Dokter bedah di sini wanita.
Manusia juga pada umumnya bertitik tolak pandangannya dari segi yang positif ke segi yang negatif. Orang umumnya menganggap sesuatu yang positif itu lumrah (dalam linguistic disebutnya unmarked) sedangkan yang negative itu tidak lumrah(marked). Dengan dasar prinsip yang universal ini, orang umumnya akan memakai kalimat (7), bukan (8), untuk menanyakan tinggi badan seseorang:
(7) Berapa tinggalnya, sih, pacar barumu
(8) Berapa pendeknya, sih, pacar barumu
Orang juga akan memakai (9) dan bukan (10), kecuali ada tujuan-tujuan tertentu.
(9) Berapa besar gajimu sekarang?
(10) Berapa kecil gaji musekarang?
Muatan Ilokusioner
Setelah muatan proposional ditentukan, pembicara menentukan muatan ilokusionernya, yakni, makna yang akan disampaikan itu akan diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Disini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat dinyatakan dengan kalimat representatif atau kalimat direktif. Dalam konteks rencana bepergian, kalimat (10) bukanlah suatu pertanyaan, tetapi suatu ajakan.
(11) kenapa nggak berangkat sekarang saja?
Suatu maksud dapat dinyatakan dengan berbagai cara. Untuk mengundang seseorang datang ke pesta, orang dapat memakai salah satu kalimat berikut:
(12) a. Pak, kami ingin mengundang Bapak untuk....
b. Bila Bapak kebetulan ada waktu, kami ingin Bapak dapat datang...
c. Bisa nggak, Pak,datang....
d. Datang, dong, Pak, ke....
Pembicara mempunyai banyak pilihan cara untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikan. Cara mana yang dipilih dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang umumnya berkaitan erat dengan kedudukan sosial, perbedaan umur, hubungan kekerabatan, dan derajat keakraban antara pembicara dengan interlokutornya. Pada contoh (12), kalimat (d) hanya mungkin diucapkan oleh, misalnya mahasiswa kepada dosennya, kalau hubungan mereka dekat.
Struktur Tematik
Struktur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana objek. Contoh:
(13) Tyono mencari buku itu.
(14) Buku itu dicari Tyono.
Kedua contoh di atas terlihat sama, namun sebenarnya (13) dan (14) berbeda. (13) kalau beranggapan bahwa Tyono mengandung informasi lama dan informasi baru yang sedang disampaikan adalah mencari buku itu. Sebaliknya (14) kalau informasi lama itu buku itu – yang sedang dicari oleh Tyono.
Pemilihan subjek dan kalimat aktif atau pasif dapat mempengaruhi makna. Kalau anak yang sedang disuapi itu adalah anaknya Tutiek, maka (15) adalah cocok. Kalau dijadikan pasif seperti (16) maka artinya berubah. Bentuk –nya pada (16) tidak marujuk kepada Tutiek lagi.
(17) Tutiek sedang menyuapi anaknya.
(18) Anaknya sedang disuapi oleh Tutiek.
Perencanaan Produksi Konstituen
Setelah perencanaan kalimat selesai dibuat, turunlah si pembicara ke tataran konstituen yang membentuk kalimat itu. Dipilih kata yang maknanya tepat seperti yang dikehendaki. Seandainya, referennya adalah seorang pria, maka kalau dia benci orang itu, pilihan kata dia mungkin adalah si brengsek atau bajingan itu, dsb. Sebaliknya, bila pembicara adalah pengagum pria itu, bisa saja pilihannya adalah si tampan.
(19) Tu, tuh, si brengsek datang.
(20) Tu, tuh, si tampan datang.
Satu referen mempunyai “julukan” yang lebih dari satu adalah suatu hal yang biasa. Misalnya Ir. Soekarno bisa dirujuk sebagai (1) presiden pertama RI, (2) proklamator bangsa, (3) pendiri Partai Nasionalis Indonesia dsb. Mana yang dipilih pembicara tergantung pada makna yang ingin disampaikan.
Konteks kalimat juga memegang peran penting. Kalau sudah menyatakan sesuatu seperti sepeda pada (21) dan kemudian akan merujuk ke sepeda yang sama itu, maka rujukan kepada benda yang telah kita sebutkan sebelumnya itu harus ditandai dengan itu seperti pada (22).
(21)Kemarin Wardi baru beli sepeda.
(22)Sepeda itu berwarna hitam.
Kalau yang dipakai, misalnya, sebuah, sehingga terbentuklah kalimat Sebuah sepeda berwarna hitam, dan bukan sepeda itu, maka tidak sedang berbicara tentang sepeda yang baru saja dibeli Wardi.
Kalau yang dirujuk adalah bagian yang wajib dari sepeda itu – misalnya sadel, ban, atau rantai – maka yang dipakai bukan itu tetapi –nya seperti contoh di bawah ini.
(23) Sadelnya sudah tua.
Bannya masih bagus.
Rantainya agak kendur.
Dalam bahasa, rujukan kepada benda yang unik, seperti bulan atau matahari, adalah tanpa itu atau –nya. Sebaliknya dalam bahasa Inggris benda yang unik ditandai dengan the.
(24)The sun rises in the east.
(25) Matahari terbit di timur.
*Matahari itu terbit di timur.
Hal-hal seperti ini perlu diperhatikan karena dalam kasus-kasus tertentu penanda definit seperti itu atau –nya memberikan makna tersendiri.
(26) Dia pergi ke kamar dan diambilnya sebuah botol.
(27) Dia pergi ke kamar dan diambilnya botol itu.
Pada contoh (26) tersirat pengertian bahwa di kamar ada lebih dari satu botol dan dia menggambil salah satu botol itu. Pada (27) di kamar itu hanya ada satu botol dan botol itu telah secara mental teridentifikasi sebelumnya.
Pemilihan kata kadang-kadang juga ditentukan oleh prinsipel keberbedaan (distinguishability principle). Bila ada referen atau lebih yang wujud fisiknya berbeda, maka akan memilih kata yang fitur semantiknya membedakan kedua benda itu.
Daftar Pustaka:
Dardjowidjojo, Soejono.2005.Psikolinguistik.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
http://digilib.unila.ac.id/7456/16/BAB%20II.pdf. [Diakses pada tanggal 1 April 2018].