Pernyataan Tentang Mimpi: Bahasa dan Penulis

“Kamu kenapa memilih Jurusan Bahasa?” tanya seorang guru Bahasa Daerah.
“Saya ingin menjadi penulis, Bu” 

Kini mengingat percakapan tersebut sungguh membuat tertawa (dan anehnya entah karena apa serasa lucu, geli?). Percakapan lima tahun lalu, saat pertama kali masuk Jurusan Ilmu Bahasa dan Budaya (IBBU) kelas XI tanpa berpikir panjang dan seolah begitu yakin. Masa-masa sok tahu saya tentang hidup yang masih berpikir bahwa dunia anak-anak atau dongeng akan selalu berakhir happy ending (btw, SMA masih disebut anak-anak kan? :D). Syukurlah, bagi saya dongeng saat itu benar-benar happy ending.

Akan tetapi, pertanyaan mengenai alasan mengapa memilih Jurusan Bahasa beberapa kali dipertanyakan oleh guru. Herankah beliau-beliau ini, melihat kami (saya dan teman-teman) yang memang memilih Bahasa diurutan pertama? Bila ditelisik lebih dalam memang bisa dimaklukmi sih, pandangan terhadap Bahasa tidak sebaik Jurusan Matematika dan Ilmu Alam (MIA) juga Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), bahkan bisa dibilang sepi peminat dan kurang bergengsi. Begitulah pandangan ‘mereka’, namun syukurlah orang keras kepala dan bodo amat seperti saya tidak mudah terpengaruh meski adakalanya sebagai manusia ada saja pikiran negatif yang menghantui.

Saat sebuah kebimbangan muncul, peran guru menjadi berpengaruh. Beruntungnya ada beberapa guru yang memang paham karakter, tingkah pongah dari anak-anak Bahasa, selalu mengingatkan dan menyampaikan petuah-petuahnya. Sehingga saat pikiran negatif kembali bermunculan ditambah pandangan ‘mereka-mereka’ yang cukup mematikan, setidaknya ketika berupaya berhenti pada pendirian tidak ada lagi kata goyah. Meski pada dasarnya, untuk bertahan sedikit saja–begitu sukar.

Lantas menyesalkah telah memilih jurusan yang sepi peminat ini? Tentu saja tidak. Saya berkeyakinan bahwa setiap individu mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Begitu pula siswa yang memilih IBBU, MIA, IIS, mereka tahu apa yang menjadi kebutuhan dari minat yang dimiliki. Menjadi seorang penulis itu tidak harus berlatar belakang Bahasa, (anak MIA, ISS juga bisa kok menjadi penulis) bahkan semua orang bisa dan berhak menjadi penulis. Tentunya hal tersebut dilakukan secara konsisten dan butuh latihan ekstra sehingga dapat terwujud. Setuju?




Dari fakta itu pasti akan muncul pertanyaan, mengapa saya masih memilih Bahasa? Bukankah katanya setiap orang dari jurusan apapun bisa menjadi penulis? Ya, tentu. Lantas? Masa SMA membuat saya berupaya untuk mengenali diri, khususnya saat di kelas X. Di masa itu saya selalu bertanya, apa bakat saya? Apa kelebihan saya? Apa yang bisa saya lakukan? Lalu apa yang menjadi kelemahan? Bertanya tentang diri tidak segampang itu. Hingga disuatu titik saya menemukan jawaban bila salah satu kelemahan ada pada kecerdasan matematis (angka), utamanya pada mata pelajaran Fisika. Padahal saya masih ingat betul ketika SMP tidak ada masalah dengan Fisika, namun setelah masuk SMA Fisika adalah mata pelajaran yang membuat saya menyerah begitu saja, pada saat itu juga.

Usaha untuk berdamai dengan Fisika tidak sesuai yang diharapkan. Sehingga waktu itu saya sudah tidak peduli lagi apakah akan selalu mendapatkan nilai di bawah kkm dan berlangganan remidi di setiap ujian. Meski begitu saya berupaya untuk mengerjakan tugas dan mengikuti ujian semampu yang bisa dikerjakan. Toh, saya juga tidak ingin masuk MIA dan tidak akan bertemu lagi dengan Fisika di kelas XI. Jadi bye bye Fisika, terima kasih kenangannya (sambil ngelirik hasil raport yang berwarna merah).

Kemudian apa yang menjadi kelebihan? Ya apalagi kalau bukan kecerdasan linguistik. Ketertarikan terhadap fiksi membuat saya yakin bahwa Jurusan Bahasa adalah tempat terbaik. Linguistik–Bahasa Indonesia–mengarang merupakan makanan nikmat di seluruh dunia. Tugas mengarang adalah yang paling dinanti-nantikkan. Entah sejak kapan saya menyadari hal ini, namun ketika diperintahkan untuk membuat karangan, baik narasi dan sejenisnya tidak perlu diperintah dua kali–imajinasi langsung mengembara kemana-mana. Lantas bagi saya, Bahasa adalah media yang diyakini mampu memenuhi kebutuhan, minat, dan mimpi di kemudian hari.

Ya bagaimana tidak? Di Jurusan Bahasa hobi saya tersalurkan. Di mata pelajaran Sastra Indonesia misalnya yang dibahas puisi, cerpen, novel, drama, bahkan kritik film. Kemudian belajar teori-teori permajasan yang bejibun itu, tapi seru bisa menambah kosa kata pada karangan, supaya enggak majas personifikasi dan hiperbola saja yang digunakan. Seriusan deh, betah di Bahasa dan enggak merasa tertekan seperti waktu di kelas X, yaaa meski masuk Bahasa harus siap-siap banyak hafalannya (sambil nyolek Bahasa Jerman dan Bahasa Jepang–maaf Frau, Sensei J). Akan tetapi semuanya luar biasa! Nyaman.

Jurusan Bahasa memberi banyak pengetahuan mengenai tata bahasa dan karya sastra. Hingga disuatu titik pilihan saya akan kemana kemudian? Tidak banyak yang saya pikirkan selain berhubungan lagi dengan Bahasa. Akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah yang tidak jauh berbeda dengan Jurusan waktu SMA. Ketertarikan terhadap Sastra Indonesia membuat Bahasa Indonesia–menjadi satu-satunya tujuan. Entah pendidikan atau Bahasa Indonesia murni, yang terpenting saya pilih Bahasa Indonesia.

Ternyata, pertanyaan memilih Bahasa atau Bahasa Indonesia tidak berhenti di sini saja, “Kenapa kamu pilih Bahasa Indoensia?” Kali ini bukan Guru Bahasa Daerah yang bertanya, tetapi Guru BK. Lantas jawaban saya juga tidak jauh dari bagaimana menjawab pertanyaan dari Guru Bahasa Daerah, namun kali ini saya menambah jawaban ingin menjadi editor.

Sejujurnya waktu itu adalah kekarutmarutan menjelang akhir menjadi siswa. Bisa dikatakan waktu pemilihan keputusan akan menjadi bagaimana kemudian, pilihan karier, profesi, dan langkah masa depan. Meski ada yang beranggapan anak Jurusan Bahasa apa bisa kuliah? Apa anak Bahasa dapat bersaing? Apakah anak Bahasa bisa mendapatkan pekerjaan? Merupakan masalah baru yang mengganggu. Bodo amatlah, pasrah saja kepada Sang Sutradara yang lebih paham dan mengerti, Dia pasti akan memberikan hal terbaik dalam hidup yang akan saya jalani.




Lantas, bagaimana jalan cerita selanjutnya?

Selamat, Anda dinyatakan lulus SNMPTN Undangan 2016
PTN                        : -
Program Studi       : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Satu keajaiban yang bisa mematahkan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya, cukup sederhana namun apakah ini sesuai? Guru dan penulis apakah sudah sejalan? Yaaa memang sih, enggak semua lulusan pendidikan akan menjadi guru juga sebaliknya. Akan tetapi ada satu keresahan yang memang benar-benar datang dari dalam diri dengan segampangnya membawa sebuah pertanyaan, “Apa aku bisa?” karena sejatinya, menjadi guru adalah satu hal yang sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya yang tertutup ini (ah, tahu sendirilah kalian yang benar-benar kenal  bukan dari dunia maya). Saya juga ingin kok terbuka dan sejenisnya, namun yaa setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda dan saya adalah salah satu manusia aneh yang ada di bumi.

Kemudian pada tahun yang sama, Sang Sutradara juga menjawab usaha yang telah lama saya impikan, hal tersebut juga mematahkan pertanyaan berikutnya. Impian saya untuk mempunyai karya yang dibukukan terwujud selangkah demi selangkah. Memang tidak semulus jalan tol, karena sudah sering dan banyak menerima penolakkan bukan hanya dari penerbit, tetapi juga juri dari berbagai lomba menulis. Penolakkan bukan masalah besar, bisa dicoba lagi bukan?

Karya pertama yang terbit adalah sebuah cerpen, berhasil menjadi salah satu cerpen terpilih dan dapat dinikmati oleh khalayak adalah sebuah kebahagiaan tersendiri. Rasanya lega, terharu, enggak harus dapat hadiah berlian dan uang berlimpah dapat merasa bahagia, karena menikmati hasil dari usaha sendiri adalah kebahagian yang sangat luar biasa. Saat itu saya baru menyadari bahwa bahagia enggak melulu dari kemewahan, karena kebahagiaan yang murni malah lebih sering muncul dari hal-hal sederhana. Setuju?

Lantas bagaimanakah kelanjutan dari pernyataan mimpi kali ini?

Bagi saya, Bahasa telah membawa banyak hal positif, baik saat masih di Jurusan Bahasa dan Budaya maupun di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bahasa Indonesia dan fiksi telah membawa saya menemukan jati diri. Meski saya masih suka prihatin terhadap bahasa Indonesia yang masih dipandang sebelah mata, bahkan oleh (orang-orang atau bangsa sendiri) tapi tidak masalah itu urusan mereka. Toh sekarang lihat, bahasa Indonesia kini mengudara. Banyak negara maju yang membuka Program Studi Bahasa Indonesia, bahkan sudah resmi menjadi bahasa ASEAN dan tidak menuntut kemungkinan dapat menjadi bahasa Internasional bukan?




“Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, teruslah melekat dalam diri ini. Meskipun tidak tahu jalan mana yang akan menerimaku di hari kemudian, namun Kau-lah yang paling mengerti dan telah menuntunku sampai detik ini. Terima kasih telah memperkenalkan aku pada bangsa yang besar, budaya yang beragam dan mengizinkan untuk tetap melestarikannya.
 Bahasa dan Sastra Indonesia–adalah kunci Nusantara, 
 dan aku bangga menjadi salah satunya–‘’
- Ikh.

[Puisi]: Senjang (dalam antalogi puisi Datang Bersama Ombak Penerbit Ellunar)



Pada kesempatan ini, tak ada buaian yang mampu mendermakan riang. Sebagaimana manusia, senja tak akan bisa melerai rasa kehilangan. Dia akan membunuh diri sendiri, menangisi diri sendiri, tumbuh perumpamaan putri malu, layu disentuh dan  memiliki hukum sendiri. Rasa-rasanya, kemarin dan esok akan memimpikan kepastian hukum. Jelas saja, kini aku tak membicarakan hal lain selain hukum tentang kita. Ya, antara aku dan kamu sudah menjadi hukum magnet yang saling berlawanan.




[Puisi]: Ketika Senja Bukan Lagi Menjadi Sendu (dalam Buku Kumpulan Puisi Catatan Nostalgia)





Ketika pertemuan itu berpaut di suatu senja 
Tatkala kau dan masa itu terbiaskan oleh waktu 
Kini senja bukan lagi menjadi sendu 
Petang tidak bisa menjelma pilu 
Akan tetapi tawa menjadi candu 
Begitupun rindu yang semakin membelenggu 
Menuntutmu untuk bertemu–lagi






NB: Puisi ini kupersembahkan kepada kawan-kawan dalam potret di atas, dengan harapan tahun ini dan seterusnya senja akan mengizinkan lagi untuk bersua.



[Cerbung]: Mengisi Ingatan : Memory "Perjalanan Melipat Jarak"



Sudah lama rasanya, Ulfa tidak menorehkan catatan sejarah dalam buku hariannya. Ya, semenjak dia memutuskan untuk menjadi seorang mahasiswi membuka buku bersejarah itu terasa sangat menyesakkan. Bukan karena dia telah lupa, apalagi memutuskan untuk berhenti menorehkan remahan kenangan yang telah lampau itu, namun dia hanya menunggu. Menunggu satu kesempatan yang tepat.

Lantas kini, dia dan kesempatan itu... akhirnya bersua.

Juni, 2017. Itu artinya, sudah empat tahun mereka berpisah. Ternyata waktu terlampau cepat berlalu. Bagaimana Ulfa bisa lupa, awal Juni 2013 lalu adalah hari terakhir dia berkumpul bersama teman-temannya. Hari penuh emosional, menjadi awal rindu dan kenangan menjadi rasa yang krusial. Apalagi ada satu pesan diambil dari puisi Kahlil Gibran yang menjadi bagian utama di pisah kenang hari itu.

“Ketika kita berpisah janganlah kita berduka, sebab apa yang paling kita kasihi darinya akan nampak lebih nyata dari kejauhan, seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran.”

Selamat jalan, semoga setiap langkahmu menuju kebaikan bagimu dan orang-orang di sekitarmu.

Kini Ulfa mengerti bahwa berpisah bukan alasan untuk tidak lagi bertemu. Apalagi berupaya menjadi orang asing satu sama lain. Buktinya, hari ini dia dan teman-temannya kembali menemukan kesempatan yang sama. Setelah dia mendapatkan sepucuk undangan elektronik dari Maria.

Yakin mereka akan datang? Satu pertanyaan yang meragukan. Sebab dari pengalaman yang lalu, hanya itu-itu saja yang datang. Kembali mempersatukan jiwa yang telah lama berlalu, tidak semudah yang diperkirakan. Sekarang, mereka telah memiliki kesibukkannya masing-masing. Sehingga kata reuni menjadi wacana yang selalu di agung-agungkan.

Namun keraguan itu tak lagi berarti. Satu persatu kenangan itu datang penuh keriangan. Tidak perlu ditanyakan sapaan apa yang diungkapkan selain kata mesra “bagaimana kabarnya?” yang diulang setiap teman datang.

Lantas tiga puluh menit telah berlalu, entah apa yang dibicarakan seperti mengalir begitu saja. Selalu membicarakan hal-hal konyol, tertawa, saling tunjuk sana-sini, seperti tak ada akhir. Kali ini adalah pertemuan besar Ulfa dan teman-temannya. Reuni kedua dihadiri teman SD dan SMP-nya. Rame? Tentu. Tidak ada yang berubah–sama sekali.

Satu jam tidak akan pernah cukup, mereka sangat tahu itu. Akan tetapi, mereka tahu tidak ada yang lebih berharga dari waktu yang telah tersedia. Banyak orang mengatakan, bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Lantas kini, Ulfa dan teman-temannya berupaya memaksimalkan kesempatan indah itu.

“Aku rasa, satu keajaiban kembali tercipta. Sekarang, tawa tak akan mudah dilupakan. Canda akan tetap menjadi milik candu. Lantas, kenangan akan terus diulang diputar seperti kaset rusak tanpa rasa bosan. Tuhan itu sangat baik, bukan? Meski jarak memisahkan, tanpa kalian kisah ini hanyalah ruang kosong yang tak berpenghuni.”

-Ulfa





NB: Cerita sebelumnya dapat di lihat melalui alamat di bawah ini yaaa gaeess
part #1 : Perpisahan Bukan Sebuah Akhir, Tapi Sebuah Kesetiaan
part #2 : Kembali ke Masa Lalu
part #3 : A Promise
part #4 : Just One Day
part #5 : Everytime With You
part #6 : Edisi Baper

Sepasang Ingatan: Hujan dan Ibu

Semua pasti mempunyai kenangan sendiri tentang hujan. Ingatan yang paling melekat adalah saat masa kanak-kanak yang tak pernah takut omelan, apalagi marahnya ibu di rumah ketika pulang sudah dalam keadaan basah kuyup. Ya, hujan dan ibu adalah sepasang ingatan yang tak pernah lepas dari masa lalu. Cerewet memang, namun itu salah satu modus ibu betapa dia begitu mengkhawatirkan sang buah hatinya.

Masa itu, di masa-masa yang telah lalu. Aku–ketika itu hanyalah seorang anak yang hanya ingin menikmati waktu bermainnya dengan hujan. Aku yang seketika tak dapat berkata-kata, saat ibu berkata ‘jangan’ akibat kondisi kesehatan yang tak pernah bisa stabil. Aku–seorang anak yang memiliki imun sangat lemah dari teman-teman sebayanya, hanya bisa memandang keceriaan dari balik jendela. 

Kenapa harus begini? Aku yang juga ingin berkumpul bersama teman-teman, berlari ke sana kemari, saling menertawakan hal konyol. Akan tetapi, aku tak pernah memikirkan alasannya, dan hanya bisa menyalahkan ibu dengan segala keegoisannya. Aku selalu menyalahkan segala perkataan ibu. 

Lantas kini, aku menyadari. Keceriaanku pada masa kanak-kanak tak ada artinya bila waktu merenggut segalanya. Apalah artinya tersenyum di balik luka? Apalah maksud sesal yang begitu datang terlambat? 




Seharusnya aku bersyukur, kala itu mendapat kesempatan untuk bersama, bersitatap, bercerita, bercanda, dan berbagai hal lainnya bersamanya. Tetapi nyatanya, aku menyia-nyiakan segala kesempatan yang diberi dan selalu saja menyalahkan ibu.

Ketika waktu menjemputnya, aku malah menyalahkan waktu. Aku tidak menyadari, bahwa yang paling pantas disalahkan adalah keegoisanku saat menyalahkan banyak hal. Yang lebih patut disalahkan adalah aku. Tidak lain adalah aku. Aku tidak pernah menyadari, sampai Dia benar-benar membawa ibu pergi bersama.   

Bu, maafkan aku yang terlalu bodoh untuk mengerti kasih sayangmu. Aku yang selalu membuatmu sakit hati dan khawatir, kini sungguh menyesal. Aku yang sering mengabaikan dan tidak pernah berhenti membuatmu marah, kini sangat bersalah. Maafkan aku Bu, maafkan anak yang begitu pandir ini.




Lantas kini biarlah hujan membawa kenangan dari masa lalu. Aku berterus terang dan memang pantas menerima penghukumannya. Bu, aku mengaku salah.