Baru-baru ini Bang Tere menerbitkan novel barunya berjudul ‘’Selamat Tinggal’’. Meski sudah lama diunggah di google books tapi kali ini menggandeng Penerbit Gramedia Pustaka Utama untuk mencetaknya dalam bentuk buku. Yey!
Fyi, saya masih belum baca versi cetaknya. Review kali ini bersumber dari unedited version ‘‘Selamat Tinggal’’ yang ada di google books.
Secara singkatnya nih, Selamat Tinggal menceritakan tentang isu-isu sosial (yang terjadi akhir-akhir ini. Eh, bukan akhir-akhir ini juga sih, tetapi juga isu sosial yang belum bisa diselesaikan). Teteman ada yang bisa menebak enggak, apa saja isu-isu tersebut? Ya! Budaya Indonesia yang mendarah daging apa lagi kalau bukan korupsi, bentuk-bentuk ketidakadilan dan kejahatan sosial lainnya?
Nah, dari beberapa isu tersebut Bang Tere mengaplikasikannya pada salah satu tokoh bernama Sitong. Dia anak rantau yang sedang kuliah Jurusan Sastra di Jawa. Untuk membiayai hidup dia bekerja sebagai penjaga usaha toko buku bajakan (buku ilegal) milik pamannya. Btw, Sintong ini mahasiswa akhir yang sedang mengerjakan skripsi dan tugas akhirnya ini berkaitan dengan seorang penulis Indonesia terkemuka pada masanya yakni Sutan Pane.
Dari beberapa konflik yang disuguhkan, menurut author yang paling menarik adalah saat Sitong mencari informasi tentang Sutan Pane. Yaaa bukannya isu-isu sosial itu enggak penting, hanya saja bagi author ini hal baru. Why? Mungkin karena terlalu tidak peduli, tidak mau tahu, atau memang bacaan tentang sejarahnya yang kurang, hingga baru tahu kalau ada salah seorang penulis Indonesia yang arif dan kini terlupakan.
Enggak tahu mengapa terasa tertohok dan menyesal ketika baru tahu ini. Bukannya yang ingin ‘sok’ tentang pujangga, tapi penulis bernama ‘Pane’ memang cukup familiar. Akan tetapi Sutan Pane sama sekali asing di telinga. Aneh ‘kan?
“Memangnya siapa sih Sutan Pane itu, kok sampai sebegitunya?”
Secara ringkas tentang Sutan Pane dari Novel “Selamat Tinggal” ini merupakan seorang penulis multi-genre besar di era 1960-an. Dia lahir di Padang Sidenpuan, orang tuanya merupakan patriotis yang gugur saat melawan Belanda dan memiliki seorang adik laki-laki. Diusia dua belas tahun Sutan Pane dan adiknya merantau ke Jakarta, bekerja serabutan dan hidup berpindah-pindah.
Meski sebagai penulis multi genre, tulisannya sangat inspiratif, objektif, tajam tapi netral dan menarik. Dia tidak takut mengkritik komunis, organisasi Islam, bahkan pemerintah jika memang harus dikritik karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsipnya. Seperti halnya saat Sutan Muda pada 1945-1949, dia tegas menolak Indonesia berunding dengan Belanda. Baginya tidak ada negosiasi untuk penjajah yang ingin mencengkeram Indonesia. Sutan Pane mendorong Soekarno-Hatta agar berdiri gagah, lantang dan tegas menghadapi Belanda.
Pada November 1949 pemerintah menandatangani hasil perundingan dengan Belanda. Konferensi Meja Bundar di Den Haag itu membuat Sutan meradang, kemudian dia menerbitkan tulisan “Mengalah Tak Selalu Jalan Kemenangan”. Saat itu NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat dengan catatan tambahan hutang Hindia Belanda akan ditanggung oleh Republik Indonesia Serikat. Politik tetap politik, tulisan apapun yang diserukannya tetap tidak didengar. Namun dia tidak berhenti, Sutan Pane tetap berargumen melalui tulisan-tulisannya.
Pada periode 1950-1965, Sutan Pane tahu akan ada kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai kepentingan atas bangsa ini, seperti partai politik yang ingin berkuasa, sentimen ras, suku, agama dan lainnya. Sebab dia penulis yang netral, jadi tidak berpikir dua kali untuk mengkritik kelompok manapun.
Seminggu sebelum masa pemberontakan tahun 1965 terjadi, Sutan Pane tidak menulis lagi, dia menghilang tanpa jejak. Bahkan setelah situasi membaik, Sutan Pane hilang bak ditelan bumi.
“Apakah Sutan Pane dibungkam? Dibunuh? Kenapa dia menghilang?”
Ternyata adik Sutan Pane yang dibawanya dari Padang Sidenpuan mengalami masalah. Dia mempunyai tabiat buruk–suka berjudi dan mencuri. Bertahun-tahun Sutan mencoba mendidik adiknya, namun tidak berhasil. Tabiat adiknya ini membuat Sutan merasa malu sebab dia selalu menyerukan jujur, keadilan, tapi adiknya melakukan perbuatan itu.
Setelah bertanggung jawab atas perbuatan adiknya tersebut, Sutan Pane menetap di Yogyakarta, daerah salah satu temannya menetap. Sebab terlalu malu dia akhirnya berhenti menulis dan hanya berdiam diri di kontrakan.
Tiga bulan menetap di Yogyakarta, kondisi kesehatannya memburuk. Teman Sutan sempat membawanya ke rumah sakit, tapi dua hari dirawat Sutan meninggal. Sebelum meninggal, Sutan berwasiat agar kematiannya tidak diumumkan. Itulah yang membuat keberadaan Sutan menjadi misterius, menghilang tanpa jejak.
Sebenarnya apa sih yang ingin disampaikan Bang Tere melalui Sutan Pane dalam novel ini?
Berdasarkan perspektif author setelah membaca”Selamat Tinggal”, Bang Tere mencoba menghidupkan kembali semangat Sutan Pane melalui Sitong. Hal ini diperkuat oleh karakter Sitong yang diceritakan telah memutuskan berhenti bekerja di toko buku bajakan milik pamannya, dan semangat juangnya dalam menulis argumen yang senada dengan pemikiran-pemikiran Sutan Pane.
Tentu hal tersebut tidak berubah begitu saja. Ibarat asap, hal tersebut tidak akan muncul bila tidak ada yang menyulut apinya. Berangkat dari isu-isu sosial tersebut Bang Tere mengharapkan pada generasi milenial untuk melek politik dan literasi, supaya lebih kritis, berani dalam menghadapi ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat.
0 Comments