Seni Menilik Pandang (Review Buku Nunchi: Seni Membaca Pikiran dan Perasaan Orang Lain karya Euny Hong)

Saya sebagai salah satu penikmat drama maupun film Korea kadang hanya bisa bertanya-tanya, “Kok tokoh ini tahu ya cara memecahkan kasus dengan tepat, bahkan hanya dengan sedikit bukti?” atau dalam drama Vincenzo Cassano, yakni saat sang ibu tahu bahwa Pengacara Vincenzo adalah putranya yang pernah dia tinggalkan di panti asuhan. Apakah semua firasat ibu begitu kuat terhadap anaknya bahkan setelah 30 tahun tidak bertemu? Padahal Vincenzo menyembunyikan identitasnya.

Saya tahu bahwa semua yang dicontohkan di atas itu hanyalah fiksi, tapi adakalanya setiap karya itu mencerminkan lingkungan sosial masyarakatnya ‘kan? 

Nah, baru-baru ini saya membaca buku tentang nunchi. Memangnya apa itu nunchi dan apa hubungannya dengan orang Korea?

Nunchi merupakan seni dalam membaca pikiran dan perasaan orang lain. Tujuan dari nunchi agar hubungan dengan lawan bicara berjalan dengan baik. Dalam buku ini juga dijelaskan bila nunchi adalah seni waskita dalam menilai pikiran dan perasaan orang lain untuk menciptakan keserasian, kepercayaan dan kedekatan. Dengan kata lain, nunchi itu seperti kecerdasan emosial yang sangat peka, sehingga dapat menangkap juga memahami informasi apapun dari lawan bicara bahkan hanya dari membaca ruang. 

Lalu apa hubungannya dengan adegan-adegan mengenai pertanyaan sebelumnya?

Ternyata nunchi merupakan keahlian yang dianggap penting oleh orang Korea loh! Bahkan nunchi telah disebutkan sebagai keterampilan menilik pandang yang membudaya di sana. Orang tua di Korea selalu mengajarkan tentang nunchi kepada anak sejak kecil. Sebab mereka meyakini memiliki nunchi yang cepat mampu memberikan keberhasilan dan akan membuat hidup lebih baik.

Dengan kata lain adegan-adegan seperti yang saya sebutkan di awal paragraf, ada kemungkinan termasuk nunchi. Sebab sebagai budaya, pasti melekat dengan interaksi sosial masyakatnya ‘kan?  Terlebih orang-orang Asia seperti Korea sangat menjungjung tinggi nilai budaya.

Sebagai orang yang cukup awam tentang nunchi, pasti pun muncul pertanyaan apakah hanya orang Korea yang memiliki nunchi, lantas bagaimana dengan kita yang juga ingin meningkatkan kualitas hubungan dalam hidup seperti orang Korea?

Dalam buku ini disebutkan, bila nunchi itu bisa dipelajari oleh semua orang. Akan tetapi tidak sembarangan, mempelajari nunchi juga ada aturannya loh! Lantas apa sajakah aturan-aturan nunchi menurut Euny Hong?

#Pertama, Kosongkan Pikiran. Dengan Mengosongkan pikiran diharapkan mampu membuat teteman lebih jeli dalam memantau situasi sosial sekitar. Jika pikiran kita terbagi, bisa jadi membuat tidak fokus dalam interaksi sosial dan malah menimbulkan perasaan cemas. 

#Kedua, Waspadai Efek Pengamat Nunchi. Pada tipe kedua, teteman perlu mengamati suatu tempat dengan indra. Menggunakan indra merupakan suatu cara melibatkan diri dengan dunia, karena setiap tempat mempunyai atmosfernya masing-masing (bisa menyoal benda-benda dalam kepercayaan atau agama tertentu).

#Ketiga, Bila Anda Baru Saja Tiba Di Suatu Ruangan, Ingatlah bahwa Semua Orang Sudah Berada Di sana Lebih Lama daripada Anda. Kali ini teteman diminta untuk diam dan mengamati situasi apabila saat itu teteman datang terlambat (beberapa detik saja). Dengan mengamati situasi orang-orang di sana, lambat laun teteman bisa memahami apa sih yang tengah diperbincangkan tanpa perlu bertanya sana-sini. 

#Keempat, Jangan Lewatkan Kesempatan untuk Tutup Mulut. Sebenarnya tipe keempat cukup mirip dengan tipe ketiga, yakni meminta untuk diam dan mengamati meskipun dibenak kita terselip pertanyaan. Namun dengan diam dan mengamati, kadang tanpa disadari pertanyaan itu bisa terjawab dengan sendirinya.

#Kelima, Tata Krama Ada karena Suatu Alasan. Setiap orang tentu memiliki budayanya masing-masing begitu juga dengan tata krama. Dalam tipe kelima ini, teteman diajarkan untuk bisa beradaptasi sesuai tempat atau orang yang diajak biacara. Istilahnya sih, bisa beradaptasi dengan aturan tuan rumahnya. Kalau misalkan pergi ke luar negeri, teteman pun harus bisa beradaptasi dengan aturan negeri tersebut, dan begitu seterusnya.

#Keenam, Bacalah Apa yang Tersirat. Sebagai makhluk sosial tentu banyak sekali tipe-tipe manusia. Ada yang memang peka atau pura-pura peka pada situasi tertentu. Ada yang berkata terus terang, juga berkata dengan kode-kode tertentu. Nah, kali ini mengupayakan bentuk kode-kode tersirat yang tuturkan oleh lawan bicara merupakan salah satu tipe aturan nunchi. Jadi, sebaiknya cerna lebih dalam apa yang lawan bicara tuturkan. Bisa saja lawan bicara bilang A tapi maksudnya adalah E.

#Ketujuh, Jika Anda Melakukan Kesalahan Secara tidak Sengaja, Terkadang itu Sama Buruknya dengan Kesalahan yang Sengaja Anda Lakukan. Sebenarnya memberikan dukungan positif terhadap orang lain merupakan perilaku terpuji. Namun bagaimana bila perilaku tersebut malah membuat lawan bicara merasa tersinggung, meskipun sang penutur tidak mempunyai niat terselebung? 

Dalam buku ini Euny Hong mengungkapkan bila seseorang yang tanpa sengaja menyinggung lawan bicara samahalnya seseorang tersebut melakukan kesalahan. Sebab telah membuat lawan bicaranya MERASA TIDAK NYAMAN. Bukankah tujuan mempelajari nunchi itu untuk bejalar peka pada lawan bicara? Jika pembicaraan malah menyinggung orang lain, apakah itu termasuk nunchi?

#Kedelapan, Jadilah Orang yang Gesit, yang Cepat.  Dalam buku dijelaskan bila orang Korea tidak mengatakan mereka mempunyai nunchi yang baik atau mahir, tapi mereka menyebutkan bila mereka mempunyai nunchi yang cepat. Pernyataan itu bukan tanpa sebab, orang korea menyebut nunchi sebagai senjata rahasia orang-orang yang bernasib kurang beruntung. Adanya tantangan hidup (nasib kurang beruntung) itulah yang membuat kejelian seseorang menjadi tajam. Dengan kata lain mempunyai kejelian yang cepat mampu menarik mereka dari kesulitan.

Selain mengenai aturan nunchi, ada juga loh tipe-tipe orang tanpa nunchi. Euny Hong menyebutkan tipe-tipe orang tanpa nunchi diantaranya: (1) orang yang tidak bisa membaca ruangan; (2) penguntit yang merasa dirinya romantis; (3) orang yang tidak bisa membaca yang tersirat; (4) orang yang “memamerkan kaligrafi Cina yang dibuatnya kepada Konfusius”; (5) orang yang menganggap semua orang jual mahal; (6) orang yang menganggap benar semua pujian; (7) orang yang membosankan; dan (8) orang yang bilang, “Tapi beginilah cara kami melakukannya kalau di tempat asal saya”.

Bagaimana teteman, ada yang ingin mempelajari nunchi seperti orang Korea?


Ngobol tentang nunchi, saya sampai lupa mencantumkan identitas bukunya hehe. Berikut identitas buku Nunchi karya Euny Hong.


Review Buku Nunchi karya Euny Hong

Judul buku: Nunchi: Rahasia Hidup Bahagia dan Sukses Orang Korea

Pengarang: Euny Hong

Penerbit : Penerbit Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: Pertama, 2020

Tebal: ± 259 hlm.


Kepengaran Euny Hong

Euny Hong adalah seorang jurnalis Korea-Amerika. Penulis tiga buku ini lahir di New Jersey Amerika Serikat. Pada usia 12 tahun bersama keluarganya dia pindah ke Seoul. Hong juga pernah tinggal di Frankfrut dan Berlin Jerman. Sekarang dia membagi waktunya antara New York dan Paris.


Narasi Pemburu Kata


Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 23 April diperingati sebagai Hari Buku Internasional.  Tanggal tersebut ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) sebagai perayaan buku dan membaca sedunia.

Buku Koleksi Titik Literasi Berbagai Genre


Nah, dalam peringatan Hari Buku Internasional kali ini saya akan berbagi cerita tentang fase bacaan dari awal sampai sekarang. Siapa tahu dari teteman juga tengah melalui fase yang sama dengan saya? Kuy merapat!

Pertama: Buku Komik dan Kumpulan Cerita Rakyat

Enggak bisa dipungkiri, bacaan bergambar seperti komik merupakan bacaan yang paling menarik saat kanak-kanak. Bagi saya, komik adalah bacaan pertama sebagai langkah awal mengenal buku. 

Dulu (entah tahun berapa) di daerah saya masih ada tempat penyewaan komik. Namun sekarang tahu sendirilah yaaa zaman sudah berubah. Keberadaan tempat komik kini entah bagaimana tiba-tiba gaib, eh raib. 

Sekarang kalau ingin baca komik sudah lebih canggih dan banyak pula aplikasinya, seperti WeebToon, KakaoPage, dan lain-lain. Jadi enggak heran juga sih, bila tempat penyewaan komik jadi gulung tikar. 

Btw selain komik, buku tentang kumpulan cerita juga termasuk bacaan saya waktu kanak-kanak. Biasanya buku kumpulan cerita tentang keteladanan atau humor seperti kisah 1001 malam dan yang populer juga pada saat itu buku mengenai siksa kubur. 

Kedua: Novel Fiksi Genre Thriller, Suspense/ Mystery, Fantasi

Dari kumpulan cerita, akhirnya saya beralih ke novel dengan genre Thriller, Suspense, Mystery, dan Fantasi. Entah kenapa saat itu langsung membaca novel genre-genre tersebut. Apakah karena lebih suka nonton Detektif Conan daripada Barbie? 

Dalam fase kedua ini, saya lebih banyak membeli dan membaca novel-novel terjemahan. Meski kadang ada bagian terjemahan yang ‘cukup jelimet’ untuk dicerna, enggak tahu kenapa sampai beberapa waktu saya masih bertahan. Eh, mungkin mencoba bertahan dan memahami si penerjemah dalam menceritakan kisah pengarang bukunya?

Kalau teteman lihat gambar artikel ini, ada novel seri berjudul Conspiracy 365 karya Gabrielle Lord. Buku ini merupakan buku koleksi pertama yang saya beli di bazar buku dengan harga Rp.10.000 (pada masanya + original). Kalau sekarang ada enggak yaa, buku seharga tersebut? *Minta digaplok!

Conspiracy 365 ceritanya cukup seru dan menegangkan. Maklumlah karya penulis asal Australia ini bergenre suspense. Namun sayang, saya tidak bisa menamatkan seluruh seri novelnya. Enggak bisa baca semua otomatis saya enggak tahu ending dari novel ini hiksss

Awalnya saya berpikir positif, siapa tahu di bazar buku yang akan datang saya bisa menemukan seri kelanjutannya. Namun, yaa sudahlah yaaa... namanya bazar buku (sok legowo)! Nahasnya sampai sekarang pun saya masih penasaran dengan ending novel ini. Apalagi tokohnya Collum Ormond saat itu difitnah membunuh. Lantas apakah selama pelarian dia baik-baik saja? Dan apakah dia berhasil menyelamatkan diri juga bisa mengungkapkan fakta yang sebenarnya? 

NB: Teteman ada yang pernah baca novel seri ini enggak? Kalau ada tolong beri saya contekan endingnya ya?

Ketiga: Novel Remaja dari Fanfiction, Teenlit, Humor, Metropop dan genre “Remaja Lainnya”

Pergantian genre dari Thriller, Suspense dll ke Novel Remaja bergenre fanfiction, metropop dll tak luput dari membuminya k-pop saat itu. Tak sedikit buku yang berbau Asia menjadi bacaan yang enggak bisa ditinggalkan begitu saja. Enggak hanya yang berhubungan dengan  K-novel, jika ada kesempatan ke toko buku bertemu dengan J-novel maupun M-novel yang menarik perhatian; langsung cap-cus dibawa ke kasir.

Lalu bagaimana dengan penulis remaja Indonesia?

Tentu saja saya juga baca, apalagi saat itu di masa SMA dan mempunyai teman dengan hobi yang sama. Jadi, kami bisa saling pinjam buku selain mengantre di perpus sekolah. Beberapa penulis yang saya ingat seperti Zachira, Orizuka, Yoga S, Flazya dan lainnya.

Oh, saya jadi ingat saat itu buku dari Bang Raditya Dika dan Ilana Tan jadi sasaran siswi sekolah. Kalau ingin memijam buku dari kedua penulis ini harus rela mengantre panjang, ya kalau beruntung bisa baca kalau enggak mending beli bukunya deh! Sebab tiap kali saya ke perpus, jawabannya selalu sama. “Masih dipinjam, Nak” atau “Baru saja dikembalikan, tapi langsung dipinjam anak lain”. Padahal saya ke sana tepat setelah jam istirahat berbunyi, bisa-bisanya ada yang lebih cepat dari saya, hiks!

Dipertengahan SMA, ternyata genre yang saya baca lambat laun berubah. Bukan berubah, hanya sudah jarang membaca novel remaja apalagi membelinya. Jarang bukan juga berhenti ya? Sebelum ramadan, saya baru menyelesaikan karyanya Kim Eun Jeong, Jho Hyo Eun juga beberapa novel metropop lainnya. Tentu saja, kali ini hanya sebatas hiburan semata.

Keempat: Novel Genre Pendidikan, religi, sosial

Di masa ini saya mulai membaca novel yang "semi-serius" ? Pokoknya masa ini saya lebih memilih novel yang konfliknya cukup kompleks, enggak masalah percintaan ala remaja lagi. 

Fyi, difase keempat pertama kalinya saya bertemu dengan Bang Tere Liye, eh maksudnya baca bukunya bukan quote-quotenya lagi. Dipertemukan karena pada saat itu ada tugas membuat resensi buku, dan salah satu teman saya meresensi Novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah karya Bang Tere. Karena saya belum puas dan semakin penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk membeli novelnya. 

Enggak perlu panjang lebarlah yaa kalau menyoal karya Bang Tere, saya kira teteman sudah tahu. Karya Bang Tere itu membuat candu. Walhasil enggak cukup novel itu saja, novel-novel lainnya memang juga perlu dijadikan koleksi dan rekomendasi bacaan di rumah.

Fase keempat saya enggak ditemani dengan karya Bang Tere saja, tapi juga ada karya dari Asma Nadia, Andrea Hirata, Natsume Soseki dan sebagainya. Pokoknya novel yang terkait dengan genre difase ini baik penulis dalam negeri maupun luar negeri.

Kelima: Novel Sastra Klasik dan Buku Nonfiksi 

Seiring membaca buku-buku difase keempat, saya mencoba sedikit demi sedikit menyelami novel sastra klasik Indonesia. Awalnya memang karena penasaran seperti apa sih cerita-cerita dari para pujangga baru yang penggalan ceritanya selalu muncul disoal ujian Sastra Indonesia?

Terlebih guru saya yang sangat antusias saat membahas Novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis. Sebab dalam cerita sempat dikisahkan bila Hanafi pernah berkunjung ke kebun/pabrik kopi di Probolinggo. Sehingga rasa ingin tahu saya semakin memuncak. Hanya info: saya alumnus salah satu SMA di Kota Probolinggo, *enggak penting!

Setelah membaca Salah Asuhan (hampir berbulan-bulan), saya bisa memaklumi kenapa Guru Sastra Indonesia waktu itu begitu antusias. Selain nama Probolinggo disebut, tentu saja karena ceritanya memang bagus. Rasanya enggak menyesal, saya membaca Novel Salah Asuhan sebagai batu loncatan untuk membaca karya sastra lainnya.

Ya. Dari Salah Asuhan karya Abdul Moeis, merambah ke Tenggelamnya Kapal Van der Wijck; Di bawah Lindungan Kabah karya Hamka, Atheis karya Achidat Karta Miharja, dan lainnya.

Dari beberapa karya sastrawan pujangga baru ini, saya baru menyadari bila sesungguhnya karya sastra yang dimiliki Indonesia sebagai bukti aset budaya; enggak kalah dengan negara lain. Lebih variatif dan beragam tentunya. Sebab setiap karya sastra yang tulis oleh para pujangga tersebut lebih banyak menyinggung kisah kehidupan pada masa itu (masa novel itu ditulis) baik dari adat, bahasa, kritik, dan sebagainya. 

Sebenarnya ada satu novel yang sudah bertahun-tahun ingin saya baca. Judul novelnya Belenggu karya Armijn Pane. Dari sinopsisnya sepertinya enggak kalah bagus. Waktu itu guru saya juga sempat membahas novel ini karena penggalan ceritanya muncul di soal ujian. Sudah kesana-kemari belum ketemu juga. Di perpustakan kampus belum ketemu, apa di perpusda ada ya? Yang tahu infonya dong, hehe.

Nah, kalau diteliti lagi sepertinya ada satu genre yang belum saya baca. That right, Horor! Entah karena tidak terlalu tertarik atau bagaimana, saya belum pernah membeli apalagi mengkoleksi dan seingat saya belum pernah membaca buku dengan genre tersebut. Namun kalau membaca unggahan warganet di media sosial sepertinya sering. Oh, buku tentang siksa kubur itu sepertinya lebih horor dari buku-buku lainnya. Iya kan?

Well, itulah kelima fase genre bacaan saya; dari awal hingga saat ini. bagaimana adakah persamaan dengan genre bacaan teteman?




Jejak Setapak: Tamu Semesta

 

Untukmu, kausa rasa Tamu Semesta.

Sebuah catatan ini kutulis untuk mengabadikan bagaimana hebatnya dirimu. Sebab bisa jadi, keberadaanmu hingga kini merupakan salah satu alasan mengapa lingkungan terasa ASRI. Meski pengaruhnya belum terasa, tapi percayalah ada aku di sini yang akan tetap menemani. Sekaligus sebagai saksi bisunya.


Kau menyadarinya ‘kan, ritual pagimu saat membuka jendela? Kau selalu disambut oksigen yang begitu sejuk, diiringi senandung burung-burung di angkasa atau sebatas memandang dedauan dan reranting basah yang ditinggalkan embun tadi malam. Kau menyadarinya ‘kan, bila saat itu senyummu begitu hangat dan mengembang?

Apalagi ketika kau menatap berbagai pohon yang lengkap dengan hiasan buahnya. Bukan hanya senyum dan tetes peluh, tapi waktu yang kau sisihkan untuk merawat mereka merupakan bahagia yang maha dahsyat. Walaupun sebatas mengamati bulir-bulir yang kemudian tumbuh berkecambah hingga muncul satu dua helai daun, dan kini menjadi pohon yang meregenerasi. Kau tak pernah terlihat kecewa. Seberapapun hasil panen yang didapat, kau dekap selalu dengan rasa syukur. Sebab merawat mereka bukan soal nilai ekonomi, tapi tentang keserasian alam.

Gambar Serai oleh Titik Literasi


Menyoal tentang keserasian alam, aku jadi teringat pada obrolan kita dahulu. Lebih tepatnya debat kusir mengenai siapa yang pantas menyukai warna hijau. Aku yang tak ingin mengalah, selalu mengatakan bahwa akulah yang paling pantas menyukai warna hijau. Akan tetapi, pernyataanmu tak bisa lagi kusanggah. 

“Kamu jangan terlalu percaya diri. Bisa saja nanti dimasamu, tak lagi mengenali warna hijau, tak tahu pohon cemara, pohon mangga, bahkan rumput liar ini.” ujarmu sembari menunjuk rumput liar yang melambai. “Apakah kamu tidak mendengar, kini sudah banyak tersiar kabar dari penjuru timur sampai barat. Semua tentang bencana akibat kerusakan alam.” 

Gambar Pohon oleh Titik Literasi


Sembari menatap bebungaan warna-warni, kau kembali melanjutkan. “Sejujurnya aku khawatir tentang keberadaan hutan dan bumi yang kupijak ini. Masa peradaban sudah dimulai dan hutan-hutan itu lambat laun sudah tersingkir dari habitatnya.” Aku hanya tercenung mendengarmu. Kekhawatiranku pun bermunculan, lantas bagaimana dimasaku 50 tahun kemudian?

“Kamu sendiri pasti tahu, bumi dan seisinya hanya sebagai tempat singgah yang diberikan Tuhan untuk seluruh makhluk terutama manusia. Bukankah manusia harusnya sadar bila mereka hanyalah tamu?” kini mimik mukamu mulai tersirat kesal. 

“Bukankah sebagai tamu harus menjaga apapun yang dimiliki tuan rumah-Nya? Setidaknya sekali dalam persinggahan ini, manusia bisa menghadiahi bingkisan (sebuah pohon untuk kehidupan makhluk lainnya). Jikapun tidak begitu, bertindak saja seperti tamu pada umumnya. Dengan tidak merusak apapun yang dimiliki sang tuan rumah. Apakah tidak bisa? Aku rasa meski hidupmu hanya sebatas persinggahan di bumi, hidup akan terasa lebih bermakna jika saling selaras bukan?”

Itulah salah satu sisi lain dari kau. Seorang tamu bernama manusia yang kini menetap di bumi. Meskipun aku malu mengakuinya, kau memang berbeda. Aku yakin darimu akan muncul harapan untuk masa yang akan datang. Kini bukan hanya aku, tapi mereka – para makhluk hidup hijau; turut seiring denganmu.

“Kau akan tetap melestarikannya bukan, bahkan untuk 50 tahun yang akan datang? Untukku?” ungkapku sembari mengekorimu yang tengah mencabuti rumput liar di area halaman rumah. Namun kau tak menjawab. “Kau tak melupakan peribahasa setapak jangan lalu, setapak jangan surut?” lagi-lagi kau hanya bergeming. “Kau tak akan menyerah begitu saja ‘kan?”

Jikalau kau ingat obrolan kita saat itu, aku berharap kau menjawab pertanyaanku dan semoga kau masih mengakrabi alam semesta ini ya? semoga. 


Salam hangat untukmu.


Dari Aku; Tamu Semesta

Untuk Bumiku, Hutanku dan Keserasian Alam Sehat Lestari.


Lumajang, 22 April 2021


Mengenal Konjungsi, Si Kata Tugas yang Kedudukannya Sangat Penting dalam Kalimat


Pernah enggak teteman kesulitan dalam memulai sebuah tulisan? Ditambah lagi kadang kala bingung melanjutkan kalimat yang sudah diakhiri tanda baca?


"Eh, setelah kalimat ini bagaimana yaa?", "Kira-kira konjungsi apa yang cocok setelah kalimat ini ya?", "Apakah begini? Jangan, begini saja" 

Pernah enggak?

Kalau saya, yaa jangan ditanya, hehe sering. Saking seringnya kadang tulisan yang tengah digarap berhenti begitu saja alias mentok, karena enggak tahu mau dibawa ke mana arah topik yang dibahas, hanya gara-gara enggak tahu konjungsi yang tepat. 

Konjungsi (kata sambung atau kata hubung) adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa, baik yang setara (sederajat) maupun tidak setara (TBBBI, 2017:387). 

Kedudukan konjungsi bila ditelisik sangat penting dalam sebuh tulisan loh! Ibarat bahan masakan, konjungsi adalah penyedap rasanya. Bila takarannya pas, maka masakannya pun semakin mantap. Betul? Seperti halnya Ansoriyah, Purwahida (2018:3) yang mengungkapkan "... Kata sambung ini penting untuk menyambungkan gagasan-gagasan yang akan disampaikan penulis ... melalui kalimat-kalimat yang disusunnya...." Tolong digaris bawahi konjungsi itu penting, right?

Meskipun sebagai kata hubung atau kata sambung, penggunaannya juga enggak sembarangan; ada aturannya. 'bahasa Indonesia gini amat yaa? Ribet banget, kwkwkw'. Teteman bisa baca di buku-buku tentang tata bahasa atau kebahasaan deh pasti ada. Buku bahasa Indonesia yaa? Jangan yang lain! 

Jenis konjungsi ada dua yaitu: konjungsi intrakalimat dan antarkalimat. Konjungsi intrakalimat adalah kata hubung yang terletak di dalam kalimat. Konjungsi ini terdiri atas: (a) konjungsi koordinatif, (b) konjungsi subordinatif, dan (c) konjungsi relatif. Sebaliknya, konjungsi antarkalimat adalah konjungsi yang menghubungkan kalimat satu dengan kalimat lain. Konjungsi ini ditulis atau terletak pada awal kalimat dan diikuti tanda koma (,).

Nah, berikut saya lampirkan apa saja  konjungsi tersebut. Semoga membantu.

Konjungsi Intrakalimat

Konjungsi Koordinatif

Menurut TBBBI* (2017:388 ) konjungsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau lebih yang sama penting atau memiliki status sintaksis.

a.   Konjungsi Koordinatif

Penanda hubungan tambahan

dan

Penanda hubungan pemilihan

atau

Penanda hubungan perlawanan

tetapi, melainkan

Penanda hubungan pertentangan

sedangkan,padahal

Penanda hubungan pendampingan

serta 


Konjungsi Korelatif

Menurut TBBBI (2017:391) konjungsi korelatif adalah sepasang konjungsi koordinatif yang menghubungkan dua kata, frasa, atau klausa yang memiliki status sintaksis yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas dua bagian yang umumnya terpisah satu dengan lainnya.

b. Konjungsi Korelatif

baik ... maupun ...

tidak hanya..., tetapi juga ...

bukan hanya..., melainkan juga ...

antara ... dan ...

demikian ... sehingga ...

sedemikian rupa sehingga...


Konjungsi Subordinatif

Menurut TBBBI (2017:392) konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa atau lebih dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama.

c. Konjungsi Subordinatif

Waktu

sejak, semenjak, sedari, sewaktu, ketika, sementara, begitu, selagi, selama, serta, sambil setelah, sesudah, sebelum, sehabis, selesai, seusai, hingga, sampai, tatkala, dan seraya.

Syarat

jika, kalau, jikalau, asalkan, dan manakala.

Pengandaian

jika, andaikan, seandainya, dan sekiranya.

Tujuan

agar, suapaya, dan biar.

Konsesif

biarpun, meski, dan meskipun.

pembandingan

seakan-akan, seolah-olah, sebagaimana, seperti, sebagai, laksana, ibarat, daripada, dan alih-alih.

Sebab

sebab dan karena.

Hasil

sehingga, sampai, sampai-sampai, maka, dan makanya.

Alat

dengan dan tanpa.

Cara

dengan dan tanpa.

Komplementasi

bahwa

Atributif

yang

perbandingan

sama ... dengan, lebih ... dari, dan lebih ... daripada.


Konjungsi Antarkalimat 

Konjungsi Antarkalimat

Adapun...,

Akan tetapi, ...

Akhirnya, ...

Akibatnya, ...

Artinya, ...

Bahkan, ...

Berkaitan dengan hal itu, ...

Dalam hal ini, ...

Dalam hubungan ini, ...

Dengan demikian, ...

Dengan kata lain, ...

Di samping itu, ...

Di satu pihak, ...

Di pihak lain, ...

Jadi, ...

Jika demikian, ...

Kecuali itu, ...

Lagi pula, ...

Namun, ...

Oleh sebab itu, ...

Pada dasarnya, ...

Pada hakikatnya, ...

Pada prinsipnya, ...

Sebagai kesimpulan, ...

Sebaiknya, ...

Sebaliknya, ...

Sebetulnya, ...

Sebelumnya, ...

Sebenarnya, ...

Sehubungan dengan itu, ...

Selain itu, ...

Selanjutnya, ...

Sementara itu, ...

Kemudian, ...

Sesudah itu, ...

Sesungguhnya, ...

Sungguhpun begitu, ...

Sungguhpun demikian, ...

Tambah lagi, ...

Tambah pula, ...

Untuk itu, ...

Walaupun begitu, ...

Walaupun demikian, ...

Meskipun demikian, ...

Bagaimana teteman, banyak juga yaa konjungsinya? Kalau begitu masih suka mandek enggak nulisnya? 

Nah, salah satu taktik saya agar enggak mandek lagi saat menulis, yakni dengan cara menulis ulang konjungsi dan menempelkannya di tembok. Loh kenapa? Yaa supaya bisa langsung dilihat dan enggak perlu buka buku lagi, hehe. Memang terkesan agak ribet dan rame di tembok. Akan tetapi agar tetap produktif, mengapa enggak? Btw, taktik ini cukup berhasil loh!



TBBBI*: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi keempat). 



Ekspresi Kalbu


Pikiranku kian suntuk; sedang genting untuk memosisikan satu eksemplar benda ukuran A5 yang kubawa dari kamar. Bahkan Sudah kuhitung tiga kali mondar-mandir mengintip meja kerja ayah. Bodohnya meski tahu ayah tidak ada di sana, masih saja takut tertangkap basah. Aku bahkan tidak sedang melakukan kesalahan, apalagi menyulut emosi ayah, tapi mengapa irama jantungku begitu cepat? Seolah-olah bisa meledak kapan saja.

“Bagaimana jika ayah menolak?” batinku mulai menggerutu.

“Sudahlah letakkan saja di sini, lalu kembali ke kamar. Beres” ungkap pikiran.

“Lebih baik menunggu ayah, Bil”

“Ayah sibuk, emangnya kamu mau nunggu berjam-jam sambil mondar-mandir di sini?” sergah pikiran.

Lagi-lagi pikiran dan hati saling menyerang. Apa mereka tak kasihan menjadikan ragaku sebagai tempat pelampiasan jiwa mereka? Bila tenang-tenang saja sih enggak masalah. Namun jika mulai adu argumen seperti sekarang, aku sebagai cangkang harus bagaimana?

Jika dipikir-pikir pendapat pikiran bagus juga. Apa yang akan kukatakan pada ayah saat datang? Aduh! Bukankah akan semakin rumit jika ayah bertanya macam-macam? Akhirnya tanpa persetujuan hati, kuputuskan meletakkan benda itu di sana.

Sayang, entah bagaimana benda itu pagi ini kembali berada di meja belajar kamarku, berjalankah ia? Jelas-jelas kemarin kuletakkan di meja kerja ayah, lantas mengapa benda satu eksemplar ada di sini? Apakah ayah membencinya atau sudah dibacanya? Ah! Bagaimana aku menghadap ayah nanti?

“Tuh ‘kan, aku bilang apa? Kamu lupa Bil, ayah itu enggak akan sembarangan colak-colek barang milik orajng lain. Kamu enggak dengerin sih” ucap batin mulai menyudutkanku.

Bagaimana aku bisa lupa? Mungkin bagi sebagian orang menjaga privasi bukanlah hal yang begitu penting. Namun bagi ayah, memberikan privasi merupakan salah satu sikap kepeduliannya menghargai orang lain. Lantas apa yang bisa kuperbuat?

“Berikan baik-baik pada ayah–bicarakan secara langsung.” tutur batin meyakinkanku, sedangkan pikiran sudah mulai bergeming enggan bersuara. Bila dia mempunyai ekspresi, aku yakin kini wajahnya berkerut dan ditekuk.

Tidak mungkin berhenti begini saja, bukan? Sudah kupersiapkan dengan matang bahkan jauh-jauh hari. Bagi orang lain mungkin ini bukan masalah besar, tapi sebagai orang sepertiku hal ini merupakan medan perang paling rumit dan berbahaya. 

“Maju Bil, bicara dengan ayah” batin kembali menyemangati.

Jika ayah menolak lagi? Keduanya tak menanggapi. Aku yakin di alam lain mereka saling pandang dan menertawakan sisi aneh ini.

No coment” ungkap pikiran yang semakin membuatku gusar. 

Nyatanya mediasi dengan hati dan pikiran tak menemukan titik temu. Berbicara bersama malah membuat kepala pening. Bukan hanya itu, rasanya jantungku benar-benar akan meledak. Aku kalap dengan diri sendiri. Namun bila tidak sekarang, akankah tahun depan?

“Yakin tidak akan menyesal? Manusia tidak tahu tentang takdir Tuhan loh” ungkapnya renyah.

Aku kalang kabut mendengarnya. Entah siapa yang tiba-tiba masuk dalam percakapan kami, tapi peryataannya berhasil menggenggam keberanianku untuk mengambil langkah. Ya, kini kuputuskan meletakkannya di meja kerja ayah–lagi.

Menyelisik Buku Menulis Populer karya Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd dan Rahmah Purwahida, S.Pd., M.Hum.

Di akhir Maret lalu, saya mendapatkan hadiah yang susah sekali untuk ditolak. Tiga eksemplar buku dari saudara (yang mungkin enggan untuk disebutkan namanya) dan ketiganya merupakan buku nonfiksi.  Meskipun terbilang bukan buku baru, tapi yang namanya buku tetap saja sebagai jendela dunia, right?

Dari ketiga buku yang saya terima, buku pertama yang berhasil menarik perhatian adalah Buku Menulis Populer karya Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd dan Rahmah Purwahida, S.Pd., M.Hum. Why? Entahlah, seolah-seolah buku tersebut langsung menyeret jiwa ini untuk membacanya.

Review Buku Menulis Populer




Buku ini diterbitkan di Bandung oleh PT Remaja Rosdakarya pada Oktober 2018. Buku ini merupakan cetakan pertama dengan tebal ± 208 halaman. Seperti halnya dalam judul, buku ini disusun oleh dua penulis yang merupakan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. 

Penulis pertama Dr. Siti Ansoriyah, M.Pd. lahir di Jakarta, 10 Februari 1978. Beliau dosen tidak tetap pada Akademi Prestasi Nasional (AKORNAS). Adapun beberapa judul penelitian yang telah dilakukan yaitu Pelaksanaan  Pembelajaran Keterampilan Menulis Teks Eksposisi melalui Strategi Cooperative Reading and Composition Siswa Kelas VII SMPN 216 Jakarta (2016).  Penerapan Pembelajaran Field Trip pada Penulisan Cerita Pendek sebagai bagian Penulisan Populer Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ (2017) dan Pengembangan Bahan Ajar Menulis Populer Berbasis Industri Kreatif (2017-2018).

Kedua, Rahmah Purwahida, S.Pd., M.Hum. lahir di Bandar Lampung, 12 Juni 1987. Adapun buku yang telah diterbitkan yakni ESPS Bahasa Indonesia untuk SD/MI Kelas I-IV Kurikulum KTSP (2015-2016) oleh Penerbit Erlangga dan ESPS Bahasa Indonesia untuk SD/MI kelas I-IV Kurikulum 2013 (2017-2018) oleh Penerbit Erlangga. Beberapa tulisan beliau juga telah dimuat media lokal maupun nasional seperti Aksara, Kreativa, Figur, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Lampung Pos, Seputar Indonesia dan Kompas.

Memangnya apa sih menulis populer itu?

Menulis dalam KBBI berarti melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat) dengan tulisan, sedangkan populer berarti sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya; mudah dipahami orang banyak. Dengan kata lain, menulis populer dapat diartikan sebagai tulisan (buah pikiran) yang mudah dipahami orang banyak atau tulisan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penulis pun menyebutkan bila tulisan populer juga dapat diartikan sebagai tulisan yang memasyarakat. Hal ini disebabkan tulisan populer dapat dinikmati hampir seluruh kalangan masyarakat.


Sebagai buah pikiran, kepenulisan populer pun memiliki tujuan yakni untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman serta hiburan bagi pembacanya. Selain itu, tulisan populer juga bertujuan untuk mengundang daya tarik pembaca. Hal inilah yang membuat penulisan populer menjadi gampang-gampang susah. Di samping untuk mengasah pengetahuan pada topik tertentu, penulis dituntut meramunya supaya asyik dan enak dibaca. 

Setidaknya sudah ngalur-ngidul mengulik apa itu menulis populer, pasti pun muncul pertanyaan memangnya tulisan populer terdiri dari berapa jenis sih?

Nah, dalam bukunya penulis menyebutkan bila tulisan populer terdiri dari dua jenis, yaitu karya tulis populer dan karya sastra populer. Adapun yang terkategori dalam karya tulis populer seperti buku-buku populer, majalah populer, iklan populer, feature, esai populer, beragam pengalaman dan papan cerita (story board). Sementara itu, penulisan dalam kategori karya sastra populer yakni anekdot, puisi, cerpen dan novel.

Lantas teks ulasan (review) apakah termasuk dalam penulisan populer?

Ya, teks ulasan termasuk dalam model tulisan populer untuk industri kreatif. Selain teks ulasan, ada juga teks opini, teks feature, teks iklan dan teks papan cerita (story board).

Fyi, Buku Menulis Populer ini merupakan buku bahan ajar yang diupayakan sebagai pegangan mahasiswa dalam menempuh “Mata Kuliah Menulis Populer” berbasis industri kreatif. Dalam kata pengantar penulis pun menyebutkan bila isi buku tiada lain merupakan pengalaman penulis dalam aktivitas mengajar, kemudian diaplikasikan dalam buku. Meskipun tergolong sebagai buku pegangan mahasiswa, sesuai dengan judul bukunya yakni Menulis Populer bahasa yang digunakan masih bisa dicerna oleh khalayak umum kok, enggak seilmiah buku-buku pegangan mahasiswa lainnya. Jadi, enggak melulu mahasiswa yang perlu membaca buku ini yaaa?

Meskipun demikian, apapun yang ada di dunia ini enggak ada yang benar-benar sempurna, right? Begitu pun dengan buku ini. Menurut saya, kelemahan dari buku ini terletak pada sisi layout, utamanya pada bagian ukuran huruf dan penempatan kotak istilah (penjelas) dengan gambar pena yang terlalu besar. Penggunaan tersebut cukup membuat kesulitan, sebab tidak cukup kentara perbedaan antara topik yang tengah dibahas dengan adanya kotak istilah (penjelas).

Lalu bagaimana dengan isinya?

Awalnya saya tidak berharap terlalu banyak mengenai buku ini. Saya pikir mungkin sebatas membahas menulis populer yang begitu-begitu saja. Akan tetapi pembahasan di buku ini cukup lengkap dan bisa digunakan sebagai salah satu referensi teteman yang mungkin ingin terjun dalam bidang menulis populer berbasis indrustri kreatif. Setidaknya, dasar dalam menulis populer cukup dengan membuka buku ini. Eh jangan dibuka saja, tapi dibaca hehehe.

Berikut saya cantumkan daftar isinya yaaa


DAFTAR ISI BUKU MENULIS POPULER

 

BAB I

MEMBANGUN TEKS POPULER

1

 

A.     Membangun Konteks Menulis Populer untuk Industri Kreatif

1

 

B.     Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Populer

13

 

C.     Membangun Teks Populer secara Bersama-sama

15

 

D.     Membangun Teks Populer secara Mandiri

15

BAB II

MEMBANGUN TEKS ULASAN

17

 

A.    Membangun Konteks Teks Ulasan

17

 

B.    Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Ulasan

19

 

C.    Membangun Teks Ulasan secara Bersama-sama

51

 

D.   Membangun Teks Ulasan secara Mandiri

55

BAB III

MEMBANGUN TEKS OPINI

57

 

A.    Membangun Konteks Teks Opini

57

 

B.    Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Opini

59

 

C.    Membangun Teks Opini secara Bersama-sama

82

 

D.   Membangun Teks Opini secara Mandiri

93

BAB IV

MEMBANGUN TEKS FEATURE

95

 

A.    Membangun Konteks Teks Feature

95

 

B.    Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Feature

97

 

C.    Membangun Teks Feature secara Bersama-sama

114

 

D.   Membangun Teks Feature secara Mandiri

119

BAB V

MEMBANGUN TEKS IKLAN

121

 

A.     Membangun Konteks Teks Iklan

121

 

B.     Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Iklan

128

 

C.     Membangun Teks Iklan secara Bersama-sama

133

 

D.     Membangun Teks Iklan secara Mandiri

133

BAB VI

MEMBANGUN PAPAN CERITA (STORYBOARD)

137

 

A.    Membangun Konteks Teks Papan Cerita (Storyboard)

119

 

B.    Menelusuri dan Menganalisis Model Teks Papan Cerita (Storyboard)

141

 

C.    Membangun Teks Papan Cerita (Storyboard) secara Bersama-sama

155

 

D.   Membangun Teks Papan Cerita (Storyboard) secara Mandiri

156

BAB VII

MERANCANG PEMBELAJARAN MENULIS POPULER

157

 

A.    Kurikulum

157

 

B.    Perencanaan Pembelajaran

159

 

C.    Tujuan dan Fungsi Perencanaan Pembelajaran

163

 

D.   Penilaian Hasil Belajar

166

 

E.    Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Menulis Iklan

168

 

F.     Penilaian

175

 

G.   Contoh Rencana Pembelajaran Menulis Teks Ulasan

184