Enggak Salah Kok, Wanita Punya Cita-Cita! (Review Novel Catatan Juang karya Fiersa Besari)


“Apapun yang kamu lakukan, bagikan kebahagiaan untuk orang lain. Jangan disimpan sendiri.”

Siapa sih yang enggak tahu Fiersa Besari?

Saya pribadi tahu Bang Fiersa setelah membaca buku kumpulan senandika yang berjudul “Garis Waktu”. Setelah itu sedikit mencari informasi, ternyata selain menulis buku juga sebagai musisi dan konten kreator yang suka naik gunung.

Sejujurnya saya belum tahu, apakah Catatan Juang ini merupakan novel pertama atau kesekian. Saya tertarik membaca novel ini setelah Bang Fiersa mengunggah video tentang lomba membaca kutipan novel. Sudah lama ingin baca dan bersyukur bisa menuntaskannya. Ternyata saya pun tidak menyesal. 

Review Novel Catatan Juang karya Fiersa Besari


Identitas buku

Judul Novel : Catatan Juang

Pengarang : Fiersa Besari

Penerbit : Mediakita

Cetakan : I, 2017

Tempat Terbit : Jakarta

Tebal : ± vi + 306 hlm.


Catatan Juang bercerita tentang seorang wanita bernama Kasuari yang terbelenggu untuk mewujudkan cita-citanya sebagai sinematografer  atau mengikuti tuntutan hidup  dengan bekerja selayaknya wanita pada umumnya. Sebab sebagai anak sulung, kadang perlu mengalahkan ego untuk membantu dan meringankan beban orang tua; terlebih kali ini ayah Suar sedang sakit-sakitan.

Meskipun dia telah bekerja sebagai sales asuransi di kota provinsi, tapi keinginannya belum pudar. Namun kini, dia seperti tidak semangat bekerja. Beberapa kali pula dapat teguran atasan akibat kinerjanya yang menurun. Akan tetapi Suar belum bisa membuat keputusan, sebagai tulang punggung keluarga dia masih mempertimbangkan banyak hal.

Dalam kedilemaannya tersebut, Suar menemukan sebuat buku yang berisi catatan-catatan indah dan inspiratif tentang hidup. Dia menemukan buku tanpa identitas bersampul merah dalam angkot saat berangkat bekerja. Anehnya buku itu begitu memiliki daya tarik yang membuat Suar ingin terus membacanya. Bahkan dari isi buku tersebut, Suar mendapatkan banyak pencerahan tentang tujuan hidupnya. Suar terus bertanya-tanya, siapakah pemilik buku tersebut?

Setelah banyak menimbang, akhirnya Suar memutuskan berhenti bekerja. Dia juga pulang ke tempat kelahirannya di Desa Utara. Suar yang awalnya ragu-ragu ingin menggapai mimpinya tersebut, merasa sangat antusias setelah mendapat restu dari keluarga.

Beberapa hari di Desa Utara, Suar mendapatkan ide untuk projek film pendek pertamanya. Dia ingin menganggkat kisah tentang eksploitasi alam yang sangat berdampak pada perkembangan pertanian juga kelestarian alam. Setelah mendapatkan ide itu, dia langsung mengajak kedua temannya dalam mengerjakan projek ini–yang berupa film dokumenter.

Penggarapan film dokumenter kali ini tidak mudah, sebab ada keterkaitan dengan pihak pemerintah setempat. Dulu, masyarakat telah menolak pembangunan pabrik di kawasan tersebut, tapi entah mengapa proyek itu kini dijalankan dan malah mendapat izin dari pemerintah setempat. Film dokumenter Suar ini tentu saja cukup berbahaya, tapi mereka tidak menyerah begitu saja. Bagi mereka, pantang mundur demi keadilan dan kesejahteraan masyakarat.

Setelah jatuh bangun, film dokumenter tersebut berhasil ditonton jutaan masyarakat pengguna media sosial. Eksploitasi alam berhasil dihentikan dan pihak-pihak “nakal’’ mendapat ganjarannya. Begitu pun Suar, dia berhasil mewujudkan mimpinya.

Lalu bagaimana dengan nasib buku bersampul merah tempat Suar menanggalkan mimpinya itu?

Buku bersampul merah yang menjadi sumber energi Suar, telah kembali kepada pemiliknya. Meskipun bukan pemilik aslinya. Buku itu ditulis oleh Juang Astrajingga dan dikembalikan kepada adiknya untuk diterbitkan. Katanya, Juang Astrajingga meninggal saat menjadi relawan di Gunung Sinabung. Meski demikian, pemikiran-pemikirannya tetap abadi dan amat menginspirasi.

Well, Catatan Juang bagi saya cukup unik. Selain belajar dari catatan-catatan Juang dan perjuangan Suar menggapai mimpinya, buku ini juga menyinggung tentang pelestarian alam. Itung-itung menambah wawasan dan pemahaman betapa penting kelestarian alam untuk makhluk hidup juga keserasian semesta.

Kita hidup enggak hanya manusia saja ‘kan? Hewan dan tumbuhan turut andil menyelaraskan kehidupan di bumi. So, jangan asal sikut-menyikut jika sama-sama makhluk hidup. Bukankah bila berdampingan lebih nyaman? Apalagi bergandengan? *eh! ^-^

Satu hal lagi, saya suka karakter Suar dan persoalannya. Saya bukan orang yang penganut paham feminis atau paham-paham lainnya. Akan  tetapi, bila  ada yang “sedikit menyinggung perihal wanita” rasanya pun kadang tidak terima. 

Toh, perihal wanita zaman sekarang dengan zaman dulu sudah tidak sama. Kadang saya suka gereget, bila masih ada orang-orang yang sok tahu tentang wanita dan yang mengganggap wanita “sebatas begini”. Hei, kami juga punya hak untuk berdiri di kaki sendiri! Tidak senangkah kalian bila kami merdeka? Wahai paraaa... *eh para siapa? Hehe.

Post a Comment

0 Comments