Si Inspirator Kekinian (Review Novellet Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa)


“Islam itu indah...

Islam itu cinta...

Kalau kau tak setuju pada suatu kebaikan,

yang mungkin belum kau pahami,

kau selalu bisa menghargainya....”

 

Mas Gagah (2015:29)

Review Novel Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa

 

Siapa sih yang enggak kenal Helvy Tiana Rosa? Author sendiri tahu karena beliau merupakan kakak dari Asma Nadia dan dari beberapa karya cerpennya. Dari pengamatan author,  Helvy T.R. lebih mengarah ke penulisan puisi (meski banyak juga karya prosanya) sedangkan adik beliau lebih ke penulisan prosa (pernah disuatu kesempatan dalam webinar Asma Nadia mengatakan kalau tidak terlalu mahir dalam menulis puisi).

Helvy Tiana Rosa lahir di Medan 2 April 1970. Selain sebagai sastrawan ia merupakan seorang dosen Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Ia telah mendapatkan lebih dari 30 penghargaan tingkat nasional di bidang penulisan dan pemberdayaan masyarakat, salah satunya sebagai Tokoh Sastra dari Balai Pustaka dan Majalah Sastra Horison tahun 2013.

 

Salah satu karya Helvy yang paling banyak sorotan adalah Novellet Ketika Mas Gagah Pergi. Kebayang enggak sih, Ketika Mas Gagah Pergi sudah berumur 24 tahun lebih tapi kisahnya masih enak dibaca dan berhubungan dengan zaman sekarang loh. Sudah lebih dari lima belas kali diterbitkan ulang pada 2015 dan tentunya menjadi salah satu karya yang berlebel national best seller.

 

Memangnya Ketika Mas Gagah Pergi bercerita tentang apa sih?

Secara singkatnya Ketika Mas Gagah Pergi bercerita tentang perjalan dan perjuangan hijrah Gagah Perwira Pratama. Gagah merupakan anak pertama, dia merupakan seorang kakak yang periang, cerdas dan tampan. Dia mempunyai adik perempuan bernama Gita masih duduk di bangku SMA, dia tomboi. Mereka adalah kakak beradik yang sangat klop deh, ibarat koin mereka berbeda tapi saling melengkapi, sekata sehati, tahulah yaaa teteman kalau dekat dengan kakak atau adik?

Nah, suatu ketika Gagah pergi ke Ternate diajak survei salah satu profesor untuk perencanaan pembangunan (Gagah Kuliah di Jurusan Teknik Sipil) dan untuk penelitian tugas akhir Gagah. Sekembalinya dari Ternate Gagah berubah (setidaknya itu kata Gita) yang membuat Gita tidak suka dengan Gagah yang sekarang. Gagah yang sekarang lebih sedikit berbicara dan menjaga jarak dari teman-teman Gita, lebih suka mendengarkan lagu nasyid dari pada musik pop, rock, dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaannya yang dulu. Tentu selain tidak suka Gita mulai merasa kehilangan Mas Gagah yang dulu.

Akan tetapi saat Gita mulai menerima Gagah dengan perjuangannya dalam berdakwah, ada satu kejadian yang menguras batin. Saat Gita mulai ingin belajar mengenai hal-hal yang dilakukan oleh Gagah, Tuhan berkata lain dan Dia menjemput Gagah dalam perjuangan dakwah-Nya.

Lantas apakah Gita dan keluarga bisa mengikuti jejak Gagah?

Berkali-kali dibaca Ketika Mas Gagah Pergi masih saja terharu, tersentuh dan benar-benar sedih. Bagi author Mas Gagah berhasil menjadi tokoh fiksi inspiratif yang selalu membuat kagum pembaca. Mungkin kalau versi perempuan mirip Kak Lais lah yaa... tokoh Bidadari-Bidadari Surga karyanya Bang Tere. Terlalu wah, sehingga enggak bisa menjelaskan seberapa bagus dan pentingnya kisah ini untuk teteman. Intinya sih, selalu ada kesempatan untuk berubah. Hanya saja sebagai manusia enggak tahu ‘kan, sampai kapan jangka waktu kesempatan itu untuk kita?

Enggak tanggung-tanggung Ketika Mas Gagah Pergi sudah dibuat filmnya loh, sudah nonton belum?

Paras Lembayung



Puan seperti itukah kau bernapas?
Terbit nan tenggelam
Seumpama siang nan malam?

Sesekali ucapanmu menusuk
Tak apa
Kau penyandang kendali
Merobek indra
Namun mencerca cela

Puan begitulah dirimu 
Tak pernah berkelakar
Apalagi mendikte jiwa

Kendati begitu puan
Dirimu tetaplah dirimu
Laksana lembayung
Berparas damai
Berperangai ratu singgasana


Lumajang, 11 Juli 2020

Hasrat dan Kenangan Sang Pujangga

Sudah sepekan kabar yang lirih itu sampai di telingaku. Sebuah kabar yang hampir tak kupercayai, tapi bagaimana? Tuhan-lah Yang Amat Berkuasa.


Sapardi Djoko Damono–seseorang yang kukenal dari Hujan Bulan Juninya yang fenomenal. Ternyata dari mata pelajaran Bahasa Indonesia aku mulai tahu siapa nama itu. Juga alasan karya-karya beliau yang selalu nangkring di soal-soal Sastra Indonesia atau guru-guru yang selalu gemar membedah puisi-puisinya.

Memang tak banyak yang aku tahu apalagi kenangan tentang beliau ini. Sebab keinginan untuk bertemu dan bersitatap sudah tak ada tempat lagi. Semesta sudah benar-benar tak merestui keinginan dan harapan itu.

Akan tetapi tak masalah, setidaknya aku memiliki satu kenangan berharga. Meski aku tahu beliau tidak akan pernah tahu siapa aku, apalagi mengeja setiap fonem huruf yang coba kuabadikan ini.

Setidaknya saat itu kami dipertemukan dalam pertautan kata, sungguh tidak mengapa sebab perjumpaan itu disaksikan oleh keabadian semesta.

Selamat jalan Eyang Sapardi






Dari pepatah Aku Membenarkan: Mencoba Legowo

Perkembangan teknologi dan informasi memang memudahkan kita untuk mencari dan mengulik berbagai hal. Salah satunya nih misal pada dunia kepenulisan mengenai event puisi, prosa, drama dan sebagainya. Banyak di internet maupun media sosial yang menawarkan berbagai lomba menulis gratis!  Namun teteman kenyataannya di dunia enggak ada hal yang benar-benar sempurna ‘kan?

Di cuplikan sebelumnya author menceritakan sedikit tentang buku pertama “Catatan Nostalgia” (bisa dibaca di sini). Lantas kali ini berlanjut mengenai suka duka bahkan drama dari buku kedua yang berjudul “Sunset In Bali”.


Sunset In Bali karya Ika H (Hikmatul Ika Fajaryanti)

Sunset In Bali merupakan novel pertama yang di tulis semasa SMA. Jadi ceritanya itu enggak jauh dari kisah  romansa remaja dengan latar tiga negara: Indonesia, Jepang dan Korea Selatan. Namanya novel pertama pasti ada berbagai kebelibetan dan kehaluannya. Sebagai penulis pemula juga pasti banyak kekurangan dalam mengembangkan cerita bahkan tata bahasa. Namun author enggak terlalu terpusat pada hal itu, yang terpenting kisah tersebut menjadi satu kesatuan cerita dalam bentuk buku. Fyi, lama-lama menjadi naskah mentah yang selesai dengan banyak sekali bagian yang perlu direvisi. 

Entah berapa puluh kali naskah Sunset In Bali pernah direvisi, sebelum bahkan sesudah author coba kirim ke salah satu penerbit. Namun yaahh... naskah tersebut belum berjodoh dengan penerbit mana pun meski pada tahap revisinya dibantu oleh Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (terharu sih, beliau mau membaca dan merevisinya... terima kasih). Penolakan-penolakan dan berkali-kali revisi entah mengapa malah membuat author semakin tertantang, meski selalu muncul pertanyaan “Mengapa dan apa masalah dari naskah ini?” Akan tetapi author yakin, suatu saat nanti pasti naskah ini bisa diterbitkan.

“Tapi apa hubungannya event menulis di media sosial dengan buku kedua Thor?”  

Kalau teteman tahu, author juga salah satu orang yang suka ikut event menulis. Alhamdulillah sudah ada beberapa karya yang diterbitkan dan dibukukan dalam bentuk antalogi (bisa lihat di sini). Saat itu sedang iseng mencari event menulis dan ada Lomba Cipta Novel Nasional Gratis tema bebas yang diselenggarakan oleh Penerbit ‘X’ (yang katanya saat itu sedang bekerja sama dengan salah satu media, entah lupa namanya). Hadiahnya cukup menggoda, juara 1,2 mendapat kontrak penerbitan dan uang pembinaan, juara 3 hanya kontrak penerbitan. Mengetahui hal ini langsung cap cus mengedit naskah Sunset In Bali sesuai ketentuan lomba. Setelah menunggu (kalau tidak salah tiga bulan karena penjuriannya cukup lama) Sunset In Bali berhasil mendapatkan juara 2, serius juara 2! Siapa yang enggak senang coba?

Akan tetapi kegembiraan itu sirna. Setelah mengurus administrasi (mengisi beberapa persyaratan untuk mengambil hadiah) melaui surel. Awalnya masih positif thinking, tapi lama-lama kok terasa aneh ya?

Beberapa kejanggalan yang terjadi pada Penerbit ‘X’:

pengiriman hadiah ditunda karena juara 1 katanya tidak bisa dihubungi atau masih menunggu konfirmasi pemenang pertama. Awalnya di website pengumuman lomba mengatakan bila pengiriman hadiah akan dikirim 31 Februari 2019, tapi sampai lima bulan kemudian dikarenakan ‘katanya’ menunggu konfirmasi pemenang pertama tidak ada tanda-tanda hadiah akan dikirim. 

“Memang hadiahnya berapa sih Thor kok ngebet amat?”

Ini bukan perkara hadiahnya berapa. Yaaa memang, siapa sih yang enggak suka dengan hadiah? Namun kalau dipikir-pikir, wajar enggak bila pemenang pertama tiba-tiba menghilang? Dia pemenang Lomba Cipta Novel Nasional, you know? Memangnya dia enggak penasaran dengan pengumuman lombanya? Author saja tiap menit selalu lihat pembaharuan penerbit yang selalu author ikuti  event-nya apalagi waktu menjelang pengumuman, teteman begitu juga enggak sih?

Entah karena mudah percaya, saat itu author masih menganggap wajar, masih fine mendapat balasan seperti itu. Kelanjutannya author tidak membahas lagi masalah hadiah, proses penerbitan dan hanya menunggu kepastian berikutnya. 

Surel tidak dibalas. Sepertinya peribahasa air susu dibalas dengan air tuba cocok dengan situasi author saat itu, hehehe. Sudah mencoba menunggu berbulan-bulan ternyata tidak ada kabar. Kok selama ini ya? Yaa memang sih ini pengalaman pertama berurusan dengan penerbit (secara menerbitkan buku solo) tapi setidaknya ada kabarlah ya ‘kan?

Akhirnya berganti tahun dan Penerbit ‘X’ sudah tidak membalas surel. Apalagi saat itu author sedang menyiapkan buku “Catatan Nostagia” yang cap cus cepat selesai beberapa bulan saja. Nah ini, butuh setahun dan hampir dua tahun sejak event diadakan (Allah, saya pasrah... hiks). Sejak tidak ada balasan, saat itu pula sudah enggak berharap, yaa meskipun author masih enggak menyerah mencoba mencari kabar.  Lantas yang membuat lebih terkejut lagi adalah....

Media Sosial dan Website sudah tidak aktif dan tidak bisa ditemukan. Saat tahu hal ini emang sedikit kecewa, tapi yaa sudahlah... semenjak merasa ada hal yang enggak beres memang sudah pasrah dan enggak terlalu berharap, sudah legowo. Saat itu juga author kembali mengirim surel untuk menarik naskah insyaAllah secara baik-baik. Ya enggak tahu dibaca apa enggak tapi surel tersebut sudah terkirim dengan selamat. 

“Lalu kemana Sunset In Bali berlabuh Thor?”

Kali ini pun Sunset In Bali menemukan jodohnya melalui media sosial tepat terbit 20 Februari 2020 (angka cantik yee ‘kan? hehehe). Saat itu ada salah satu Penerbit Indie yang mengadakan terbit gratis berbagai macam genre. Bahkan sudah banyak pula yang telah menerbitkan di sana. Sistemnya juga cukup simple dan yang terpenting adminnya cukup fast respon. Teteman yang mau menerbitkan buku bisa cek-ricek di Guepedia.com, bulan ini penerbit sedang mencari naskah lagi untuk diterbitkan secara gratis. Cek sendiri yaaa...

Bagaimana, sedrama itu Sunset In Bali? Sudah mengalahkan sinetron di televisi belum? Kwkwkw.

Well, ternyata perjalanan dibidang ini cukup panjang. Semakin ke sini, banyak hal yang author pelajari tapi anehnya enggak membuat kapok. Semoga pengalaman kali ini bisa dibuat bahan refleksi untuk lebih hati-hati dalam menggunakan media sosial. Semangat semuaa... jangan berhenti untuk terus berkarya!

 


“Jangan mudah tergiur event gratis dengan embel-embel hadiah fantastis. Emang enggak semua begitu, tapi enggak salah juga ‘kan... bila lebih selektif dalam mengikuti event-event di media serba canggih ini?” --Author Titik Literasi

 

 

 

 


Belajar Seni Pola Pikir bersama Mark Manson

Beberapa tahun ke belakang jagat perbukaan cukup heboh dengan kehadiran buku oranye milik Mark Manson yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (The Subtitle Art Of Not Giving A F*ck). Dari toko buku laring juga daring sering kali menampilkan buku ini. Bahkan saking populernya mulai muncul buku-buku dengan embel-embel kata ‘seni’. Kebetulankah atau memang karena sedang tren?

Review Buku Seni Bersikap Bodo Amat karya Mark Manson


Sebenarnya Buku Seni untuk Bersikap Bodo Amat tentang apa sih, kok bisa sepopuler itu?

Sebelum mengulik isi buku, barang kali berkenalan  dulu dengan penulisnya? Mark Manson lahir pada 9 Maret 1984 berkebangsaan Amerika Serikat. Dia bekerja sebagai penulis dan juga seorang blogger. Nah, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat ini merupakan salah satu buku dari beberapa karyanya yang menjadi buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail. Buku yang ada digenggaman author ini sudah cetakan ke-24 di bulan Mei 2019, nah loh apa kabar satu tahun ini? Sudah cetakan ke berapa sekarang?

Buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat sebenarnya merupakan kumpulan argumen tentang pengembangan diri yang menurut author sangat unik. Saking asyiknya membaca buku ini tanpa sengaja argumen Mark dapat berterima tanpa paksaan. Seolah-olah si Mark ini paham betul dengan situasi pembaca khususnya author (dasar manusia, selalu saja mencari pembenaran! Kwkwk).

Seperti biasanya, author akan membagikan cuplikan isi bukunya. Coba disimak deh, pasti teteman akan setuju juga (setengah maksa! kwkwk).

Dalam buku ini setidaknya Mark (2019:16-22) menjabarkan Seni untuk Bersikap Bodo Amat dalam tiga pengertian, yakni:

Seni #1: Masa bodoh bukan berarti menjadi acuh tak acuh; masa bodoh berarti nyaman saat menjadi berbeda.

Seni #2: Untuk mengatakan “bodo amat” pada kesulitan, pertama-tama Anda harus peduli terhadap sesuatu yang jauh lebih penting dari kesulitan.

Seni #3: Entah Anda sadari atau tidak Anda selalu memilih suatu hal untuk diperhatikan.

Mark mengatakan bahwa cuek dan masa bodoh adalah cara sederhana untuk mengarahkan kembali ekspetasi hidup dalam memilih apa yang penting dan tidak. Buku ini berbicara bagaimana cara meringankan masalah atau rasa sakit menjadi sebuah peranti, trauma menjadi kekuatan, dan masalah yang buruk (parah) terjadi menjadi masalah yang lebih baik. Intinya buku ini seperti panduan untuk mengambil tindakan yang lebih baik, lebih bermakna, penuh dengan kasih sayang dan kerendahan hati.

 


Mrs. Oishi (Review Novel Dua Belas Pasang Mata Nijushi no Hitomi) karya Sakae Tsuboi)

“Ibu guru, datanglah lagi!”

“Datanglah lagi kalau kaki ibu guru sudah sembuh.”

“Janji ya.”

 

Dua Belas Pasang Mata (2016:211)

 

 

Identitas buku

Judul Novel                 : Dua Belas Pasang Mata (Nijushi no Hitomi)

Pengarang                   : Sakae Tsuboi

Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan                       : II, September 2016

Tempat Terbit             : Jakarta

Tebal                           : ± 248 hlm.

 

Review Novel Dua Belas Pasang Mata Nijushi no Hitomi karya Sakae Tsuboi

Kepengarangan

Sakae Tsuboi lahir di Pulau Shodo pada tahun 1900. Dia dikenal sebagai seseorang yang piawai dalam menulis kisah tentang anak-anak. Sejak masa perang, Sakae telah menghasilkan banyak novel dan dia termasuk penulis yang telah mendapatkan berbagai penghargaan sastra.

 

Sinopsis

Nijushi no Hitomi atau Dua Belas Pasang Mata menceritakan kisah seorang guru baru perempuan yang mengabdikan diri di sebuah desa nelayan yang miskin. Setiap hari dia menempuh perjalanan yang cukup jauh sekitar 16 kilometer.

Di hari pertama kedatangan guru tersebut cukup menggegerkan masyarakat. Pasalnya, ibu guru itu memakai pakaian barat dan mengendarai sepeda. harap makluk, tema cerita  diangkat tahun 1952, sepeda saat itu merupakan kendaraan yang langka yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang berada dan mengenai pakaian barat yang dimaksud yakni toksedo, yaa kalian tahulah yaaa pakaian orang Jepang itu Kinomo melihat pemandangan yang berbeda ditempat terpencil Teteman bisa membayangkan sendiri suasana keterkejutan masyarakatnya seperti apa?

Siapakah guru baru tersebut?

Guru baru itu bernama Guru Oishi; freshgraduate yang cukup pintar. Namun karena dia dianggap modern akhirnya menjadi bahan perbincangan masyarakat. Bahkan tak serta merta mereka tidak menyukai apapun yang dilakukan Guru Oishi. Akan tetapi perlakuan masyarakat tidak membuat Guru Oishi menyerah. Meski mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakkan itu, Guru Oishi selalu mengganggap perlu beradaptasi.

Disuatu hari Guru Oishi mengalami kecelakaan yang membuat kakinya patah. Kejadian itu menimbulkan simpati masyarakat yang awalnya cuek bebek kepadanya. Namun sisi buruk dari peristiwa itu Guru Oishi tidak bisa lagi kembali ke desa nelayan.

Namun beberapa siswa yang sudah rindu dengan Guru Oishi berinisiatif mengunjungi meski berjarak tempuh cukup jauh. Tentu saja perlakuan dari siswanya itu membuat Guru Oishi tersentuh. Mereka meminta Guru Oishi untuk kembali dan beliau juga menyetujuinya.

Sementara itu perang mulai berkecamuk hingga beberapa tahun kemudian. Perang menyisakan duka banyak orang. Seperti halnya Guru Oishi kehilangan suami yang kala itu ikut berperang dan tentu perubahan yang tidak bisa digambarkan mengenai situasi yang terjadi.

Meredanya perang pun membuat Guru Oishi tidak bisa kembali ke desa nelayan. Sepeda menjadi salah satu kendaraan yang sulit dicari. Walaupun begitu tidak menyurutkan niat Guru Oishi untuk menepati janji dan kembali ke desa nelayan. Kini setelah delapan belas tahun, akhirnya Guru Oishi kembali mengajar.

“Memangnya apa yang membuat novel ini jadi rekomendasi? Toh, yang namanya kisah tentang guru mungkin ya begitu-begitu saja?”

Saya pikir enggak akan ada cerita yang ditulis, tanpa ada sisi menariknya. Sebab bisa menarik bukan soal cerita, bisa saja teknik atau cara penyampaian pengarang yang unik. You know-lah, karya itu salah satu bentuk alat yang digunakan pengarang untuk menyampaikan pesan tersirat maupun tersurat.

Sehingga setidaknya di dalam salah satu karya menyelipkan nilai; amanat yang disampaikan pengarang kepada  pembacanya. Kalau misalnya teteman belum ‘ngeh’ setelah membaca salah satu karya mungkin hal positif lainnya mengajarkan Teteman untuk lebih peka terhadap sekitar? Siapa tahu kan?

Seperti halnya dalam novel ini, poin penting yang cukup unik saya temukan di bagian awal cerita, yakni tanpa sengaja Guru Oishi mengajak siswa-siswanya untuk rajin dan tidak terlambat ke sekolah. Kok bisa?

Jadi begini, sudah dijelaskan di awal bila tiap harinya Guru Oishi menempuh jarak enam belas kilometer agar tidak terlambat, dengan begitu tentunya Guru Oishi berangkat lebih awal.

Di sisi lain, para siswa itu senang bila berpapasan dengan Guru Oishi, jadi kedatangan Guru Oishi membuat beberapa siswa terpacu hanya untuk memutuskan siapa yang lebih awal datang antara sepeda dengan sapaan hangat Guru Oishi atau mereka yang siap menjaili Guru Oishi.

Poin selanjutnya, tanpa sadar mengajarkan untuk menepati janji. Selain kondisi kaki yang sakit, perang juga membuat Guru Oishi tidak bisa datang ke desa nelayan. Akan tetapi karena dia mempunyai janji untuk kembali, Guru Oishi tetap kembali walau perlu menunggu delapan belas tahun kemudian. Dia tetap menepati janji yang  telah dibuat bersama siswa pertamanya tersebut.

Well... begitulah sekiranya kisah dari Dua Belas Pasang Mata! Sebenarnya banyak sekali yang perlu dibahas tapi kali ini saya hanya membahas beberapa saja.

Novel ini kalau dipikir-pikir sepintas, cukup mirip dengan Laskar pelangi karya Pak Cik (Andrea Hirata) dari banyaknya tokoh, jumlah guru: seorang guru laki-laki dan seorang guru perempuan, juga beberapa hal lainnya. Akan tetapi, Dua Belas Pasang Mata dan Laskar pelangi juga sama-sama bagus kok!

Jadi, buat Teteman yang ingin menambah koleksi buku tentang pendidikan, Novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi ini jangan sampai tertinggal ya? Hihihi.


Terkenanglah senja




Meredup cahaya
Mengikis cerita
Membuai angin sendu

Terkenanglah senja
Terpautlah di sana

Seiring berawaimu
Beriring kegundahanmu
Di perjalanan itu



Februari, 2018

Pepatah Mengatakan Akan Indah Pada Waktunya, Benarkah Demikian?

Ada berbagai macam sifat dan bentuk keinginan kita sebagai manusia. Beratus, berjuta dan beribu kemauan yang kadang bisa melebihi batas kapasitas kemampuan. Kalau saja bisa memahami diri, jiwa dan raga yang berupa tubuh itu mungkin akan berkata, ‘Sudahlah... cari jalan lain, aku sudah tidak kuat mendapat perlakuan ini darimu’; “Mungkin ini bukan keahlianmu’,  meski tidak berterus terang mengucapkan kata menyerah, kalimat-kalimat itu merupakan penembak jitu yang bisa saja membuat seseorang langsung patah arang.

Lantas benarkah kata pepatah bila sesuatu akan indah pada waktunya?

Kisah ini mungkin sebagian cuplikan panjang dari salah satu makhluk yang katanya bernama manusia. Apakah dia sedang mengada-ngada? Tengah bergelutkah dia dengan dunia yang selalu kejam itu?

“Ngomong apa sih Thor? Enggak usah s-o-k deh! Kalau mau nulis ya nulis aja, kalau mau cerita ya cerita aja, panjang benar prolognya! Tapi eh, itu gambar apa Thor?”


Buku Catatan Nostalgia karya Ika H (Hikmatul Ika Fajaryanti)

Seperti yang kekalian lihat, gambar tersebut merupakan cover buku Catatan Nostalgia yang terbit pada Desember tahun lalu. Catatan Nostalgia merupakan buku kumpulan puisi pertama author yang berhasil diterbitkan secara indie tapi melalui proses seleksi.

“Thor, bukannya penerbit indie itu enggak ada seleksi ya?”

Benar. Akan tetapi saat itu pihak penerbit sedang mencari naskah yang akan diterbitkan secara gratis dengan beberapa fasilitasnya dan pihak penulis hanya dikenakan biaya cetak saja. Ingat yaaa... semua tergantung kebijakan dari tiap penerbit. Kekalian tahu sendirilah, sekarang tuh sudah banyak penerbit dan tentunya memiliki ketentuan dan kebijakan masing-masing.

“Tapi hubungannya dengan pepatah itu, apa?”                

Keinginan + sabar+ menulis + sabar + menulis + .... (tak terhingga)= karya

Teteman percaya enggak dengan rumus yang ditulis tersebut?

Wait!... ini hanya berdasarkan pengalaman yaaa... intinya bagi author menulis itu benar-benar melatih sabar yang sesungguhnya. Dari pengalaman menulis sebuah novel pertama (pokoknya nih, novel pertama itu banyak dramanya... sudah menerima banyak penolakan, tata bahasa yang yaaah kalau dibuat tugas Bahasa Indonesia pasti sudah dapat nilai dibawah kkm, hehehe) yang kini menjadi buku kedua dan berhasil pula diterbitkan melalui jalur indie, membuat author menyadari bahwa menulis itu perlu waktu; waktu riset, waktu menulis, waktu menunggu kepastian atau jawaban penerbit, dan paling menguras batin adalah waktu merevisi. (kekalian pernah merasa enggak sih, waktu merevisi adalah bagian terberat dan rasanya ingin menyerah saja?)

Enggak ada yang salah dengan usaha!

Mungkin pernyataan itu terdengar klise, tapi ada juga kok keinginan yang berhasil diwujudkan. Dunia ini punya porsinya masing-masing. Bila teteman mempunyai minat di bidang literasi, salah satu cotohnya ingin sekali mempunyai buku sendiri kini sudah banyak pula caranya. Menerbitkan buku enggak harus ke penerbit mayor kok, untuk langkah awal penerbit indie bisa menjadi salah satu alternatifnya. Kekalian bisa ikut event dan seminar daring yang kini juga mulai menjamur di media sosial. Ingatlah bila pasti ada jalan menuju roma (eh, kalimatnya siapa itu ya?).

Hal terpenting dari semua itu niat. Man Jadda wa Jada sajalah!

Toh, keinginan author saat memutuskan mencintai bidang ini bukan untuk jadi orang terkenal. Selama di dunia kepenulisan tekad author hanya satu; setidaknya sekali dalam seumur hidup bisa menerbitkan buku sendiri. Yaaaa... sesederhana itu, tapi jalannya cukup berliku meski enggak sedrama buku kedua (selain drama entah karena author yang kurang teliti sehingga ada peristiwa tidak menyenangkan terjadi. yaaa... namanya saja media sosial. Next time kisahnya ya?)

Jadi, benarkah bila akan ada sesuatu yang indah pada waktunya?

Selama seseorang menulis, bukannya dia sudah bisa disebut sebagai penulis?

Menulis artikel ini salah satunya? hehehe

 


Kontemplasi Semesta


Kali kedua di tahun ini aku memandang awan yang redup. Dulu fajar lantas kini senja. Apa yang sedang direncanakan-Nya? Tak sedikit reaksi ringkih yang menjadi kontemplasi atas protes semesta. Seperti hitam dan putih; lalu siang dan malam; kemudian redup akankah menjadi terang? Jelas saja aku tak mempunyai kuasa. Aku sekadar manusia yang hanya memiliki usaha dan mencoba bersitatap dengan—Nya.

Lumajang, 27 Juni 2020