Showing posts with label Mahakarya. Show all posts
Showing posts with label Mahakarya. Show all posts

24.12.24

Bising Rindu

Ada rindu ditengah derasnya hujan sore ini. Rindu suara ketukan keyboard yang selalu menemani dikala menyulam bait-bait kata. Rindu coretan demi coretan tinta yang terlukis dalam kertas lusuh. Rindu wanginya aroma secangkir kopi yang memelukku hangat. Rindu ketika pikiranku menggelora, memburu dan menerkam jutaan gagasan semesta. Rindu, begitu rindunya.



Sampai-sampai, dimalam ini aku masih terjaga. Indra penglihat serasa terbius hingga dia lupa cara untuk menutup mata. Jemari serasa gatal untuk menari dan meninggalkan jejaknya. Begitupun pikiran yang memaksa keluar untuk memangsa kata-kata karunia-Nya. 

Malamku menjadi terlalu bising. Sampai-sampai, suara jangkrik yang bersahutan pun tak lagi terdengar. Lalu lalang kendaraan bukan lagi pengusik. Pun malamku terlalu hening untuk berdiam diri dan terlelap dimimpi yang tenang. Sebab aku ingin berkelana untuk menuntaskan rindu yang tertunda. Padamu, pada bait-bait syair  yang syahdu.




WYL: 241224

Pada petang dan rindu

5.8.21

Melangkah di Juli yang Deras


Bulan Juli dan kisahnya–adalah cerita paling komplit yang pernah kuingat dalam hidup. Bukan karena sudah berlalu, tapi ada berbagai hal yang berhasil membawa diri ini melangkah menjadi manusia yang ‘cukup’ berarti. 

Kupikir, sudah waktunya untuk menghela napas. Setidaknya sekali untuk mengucapkan syukur yang tiada terkira. Meskipun belum sepenuhnya pulih, aku menemukan satu titik terang yang paling berkilauan. Bahwa Tuhan itu nyata dan ada.

Melangkah di Juli yang Deras

Bukan, bukannya aku bermaksud tidak menyakini-Nya. Hanya saja, adakalanya aku mempertanyakan keberadaan Tuhan. Adakalanya bergelut dan menyusuri untuk meyakinkan diri yang masih plin-plan. Sebab sebagai manusia; masih saja merasa congkak terhadap Tuhan, padahal apalah dayaku tanpa-Nya? 

Bulan Juli dan kisahnya yang terbungkus rapi walau rumit ini, aku belajar dan bercermin darinya. Dari beberapa waktu yang terlewati, aku baru menyadari banyak hal yang mesti disyukuri. Seperti cuplikan tawa, rentetan sakit, helaan lelah dan dekapan takut. Namun satu hal yang paling membekas; sebuah penerimaan menjadi apa adanya sebagai manusia.

Bodohnya, aku sempat ragu pada diri sendiri. Sempat termakan persepsi yang selalu memojokkan diri. Padahal semua itu hanyalah asumsi. Tidak ada esensi yang melatarbelakangi mengapa berpikiran demikian. Namun ada kemungkinan akibat sudah penat dengan keadaan dunia yang tidak lagi sehat. Tentu saja, aku tidak akan menyalahkan keadaan. Ini hanyalah salah pahamanku dalam membaca situasi dan ketidakmampuan mengakrabinya. Ada kemungkinan aku masih perlu beradaptasi.

Adakalanya pula aku perlu melepaskan. Jika kuingat kembali, banyak hal yang tak perlu bersamaku dalam hidup ini. Seperti halnya ingatan yang seharusnya memang hanya mejadi sebatas kenangan saja. Tidak perlu diotak-atik, biarkan dia menjadi bingkisan antik yang terpatri di tempat asalnya. Dari awal sampai ingatan itu berhenti berputar, biarkan dia tetap hidup. Sebab ingatan, hanya bisa abadi dan terkenang di sana.

Lantas jikapun berkenan, aku tahu bila perlu menerima apa-apa yang ada dan datang. Ya, sebatas menerima bukan malah berniat melupakan. Jika begitu, bukankah sia-sia saja? Aku pernah mendengar entah dari siapa; bila mencoba melupakan maka akan semakin mengingatnya. Jikakalau begitu, bisa jadi menerima adalah satu-satunya obat untuk berdamai dengan segala. 

Setelah itu, bukankah aku bisa kembali membuka kesempatan bagi hal lainnya? Bila urusanku dengan yang sudah lalu selesai, ada langkah yang perlu kuambil untuk perjalanan selanjutnya. Sejujurnya aku tak sungguh-sungguh meminta untuk pulih. Sebab sudahlah, masih banyak hal yang perlu kupahami dari berbagai luka yang belum sembuh ini. Aku pun tak sekadar ingin pulih, sepertinya menyadarkan diri sendiri lebih utama daripada menyalahkan keadaan dari masa lalu.

Dari bulan Juli dan kisahnya–aku berterima kasih, terlebih kepada Tuhan. Aku mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah Kau berikan.


22.4.21

Jejak Setapak: Tamu Semesta

 

Untukmu, kausa rasa Tamu Semesta.

Sebuah catatan ini kutulis untuk mengabadikan bagaimana hebatnya dirimu. Sebab bisa jadi, keberadaanmu hingga kini merupakan salah satu alasan mengapa lingkungan terasa ASRI. Meski pengaruhnya belum terasa, tapi percayalah ada aku di sini yang akan tetap menemani. Sekaligus sebagai saksi bisunya.


Kau menyadarinya ‘kan, ritual pagimu saat membuka jendela? Kau selalu disambut oksigen yang begitu sejuk, diiringi senandung burung-burung di angkasa atau sebatas memandang dedauan dan reranting basah yang ditinggalkan embun tadi malam. Kau menyadarinya ‘kan, bila saat itu senyummu begitu hangat dan mengembang?

Apalagi ketika kau menatap berbagai pohon yang lengkap dengan hiasan buahnya. Bukan hanya senyum dan tetes peluh, tapi waktu yang kau sisihkan untuk merawat mereka merupakan bahagia yang maha dahsyat. Walaupun sebatas mengamati bulir-bulir yang kemudian tumbuh berkecambah hingga muncul satu dua helai daun, dan kini menjadi pohon yang meregenerasi. Kau tak pernah terlihat kecewa. Seberapapun hasil panen yang didapat, kau dekap selalu dengan rasa syukur. Sebab merawat mereka bukan soal nilai ekonomi, tapi tentang keserasian alam.

Gambar Serai oleh Titik Literasi


Menyoal tentang keserasian alam, aku jadi teringat pada obrolan kita dahulu. Lebih tepatnya debat kusir mengenai siapa yang pantas menyukai warna hijau. Aku yang tak ingin mengalah, selalu mengatakan bahwa akulah yang paling pantas menyukai warna hijau. Akan tetapi, pernyataanmu tak bisa lagi kusanggah. 

“Kamu jangan terlalu percaya diri. Bisa saja nanti dimasamu, tak lagi mengenali warna hijau, tak tahu pohon cemara, pohon mangga, bahkan rumput liar ini.” ujarmu sembari menunjuk rumput liar yang melambai. “Apakah kamu tidak mendengar, kini sudah banyak tersiar kabar dari penjuru timur sampai barat. Semua tentang bencana akibat kerusakan alam.” 

Gambar Pohon oleh Titik Literasi


Sembari menatap bebungaan warna-warni, kau kembali melanjutkan. “Sejujurnya aku khawatir tentang keberadaan hutan dan bumi yang kupijak ini. Masa peradaban sudah dimulai dan hutan-hutan itu lambat laun sudah tersingkir dari habitatnya.” Aku hanya tercenung mendengarmu. Kekhawatiranku pun bermunculan, lantas bagaimana dimasaku 50 tahun kemudian?

“Kamu sendiri pasti tahu, bumi dan seisinya hanya sebagai tempat singgah yang diberikan Tuhan untuk seluruh makhluk terutama manusia. Bukankah manusia harusnya sadar bila mereka hanyalah tamu?” kini mimik mukamu mulai tersirat kesal. 

“Bukankah sebagai tamu harus menjaga apapun yang dimiliki tuan rumah-Nya? Setidaknya sekali dalam persinggahan ini, manusia bisa menghadiahi bingkisan (sebuah pohon untuk kehidupan makhluk lainnya). Jikapun tidak begitu, bertindak saja seperti tamu pada umumnya. Dengan tidak merusak apapun yang dimiliki sang tuan rumah. Apakah tidak bisa? Aku rasa meski hidupmu hanya sebatas persinggahan di bumi, hidup akan terasa lebih bermakna jika saling selaras bukan?”

Itulah salah satu sisi lain dari kau. Seorang tamu bernama manusia yang kini menetap di bumi. Meskipun aku malu mengakuinya, kau memang berbeda. Aku yakin darimu akan muncul harapan untuk masa yang akan datang. Kini bukan hanya aku, tapi mereka – para makhluk hidup hijau; turut seiring denganmu.

“Kau akan tetap melestarikannya bukan, bahkan untuk 50 tahun yang akan datang? Untukku?” ungkapku sembari mengekorimu yang tengah mencabuti rumput liar di area halaman rumah. Namun kau tak menjawab. “Kau tak melupakan peribahasa setapak jangan lalu, setapak jangan surut?” lagi-lagi kau hanya bergeming. “Kau tak akan menyerah begitu saja ‘kan?”

Jikalau kau ingat obrolan kita saat itu, aku berharap kau menjawab pertanyaanku dan semoga kau masih mengakrabi alam semesta ini ya? semoga. 


Salam hangat untukmu.


Dari Aku; Tamu Semesta

Untuk Bumiku, Hutanku dan Keserasian Alam Sehat Lestari.


Lumajang, 22 April 2021


15.4.21

Ekspresi Kalbu


Pikiranku kian suntuk; sedang genting untuk memosisikan satu eksemplar benda ukuran A5 yang kubawa dari kamar. Bahkan Sudah kuhitung tiga kali mondar-mandir mengintip meja kerja ayah. Bodohnya meski tahu ayah tidak ada di sana, masih saja takut tertangkap basah. Aku bahkan tidak sedang melakukan kesalahan, apalagi menyulut emosi ayah, tapi mengapa irama jantungku begitu cepat? Seolah-olah bisa meledak kapan saja.

“Bagaimana jika ayah menolak?” batinku mulai menggerutu.

“Sudahlah letakkan saja di sini, lalu kembali ke kamar. Beres” ungkap pikiran.

“Lebih baik menunggu ayah, Bil”

“Ayah sibuk, emangnya kamu mau nunggu berjam-jam sambil mondar-mandir di sini?” sergah pikiran.

Lagi-lagi pikiran dan hati saling menyerang. Apa mereka tak kasihan menjadikan ragaku sebagai tempat pelampiasan jiwa mereka? Bila tenang-tenang saja sih enggak masalah. Namun jika mulai adu argumen seperti sekarang, aku sebagai cangkang harus bagaimana?

Jika dipikir-pikir pendapat pikiran bagus juga. Apa yang akan kukatakan pada ayah saat datang? Aduh! Bukankah akan semakin rumit jika ayah bertanya macam-macam? Akhirnya tanpa persetujuan hati, kuputuskan meletakkan benda itu di sana.

Sayang, entah bagaimana benda itu pagi ini kembali berada di meja belajar kamarku, berjalankah ia? Jelas-jelas kemarin kuletakkan di meja kerja ayah, lantas mengapa benda satu eksemplar ada di sini? Apakah ayah membencinya atau sudah dibacanya? Ah! Bagaimana aku menghadap ayah nanti?

“Tuh ‘kan, aku bilang apa? Kamu lupa Bil, ayah itu enggak akan sembarangan colak-colek barang milik orajng lain. Kamu enggak dengerin sih” ucap batin mulai menyudutkanku.

Bagaimana aku bisa lupa? Mungkin bagi sebagian orang menjaga privasi bukanlah hal yang begitu penting. Namun bagi ayah, memberikan privasi merupakan salah satu sikap kepeduliannya menghargai orang lain. Lantas apa yang bisa kuperbuat?

“Berikan baik-baik pada ayah–bicarakan secara langsung.” tutur batin meyakinkanku, sedangkan pikiran sudah mulai bergeming enggan bersuara. Bila dia mempunyai ekspresi, aku yakin kini wajahnya berkerut dan ditekuk.

Tidak mungkin berhenti begini saja, bukan? Sudah kupersiapkan dengan matang bahkan jauh-jauh hari. Bagi orang lain mungkin ini bukan masalah besar, tapi sebagai orang sepertiku hal ini merupakan medan perang paling rumit dan berbahaya. 

“Maju Bil, bicara dengan ayah” batin kembali menyemangati.

Jika ayah menolak lagi? Keduanya tak menanggapi. Aku yakin di alam lain mereka saling pandang dan menertawakan sisi aneh ini.

No coment” ungkap pikiran yang semakin membuatku gusar. 

Nyatanya mediasi dengan hati dan pikiran tak menemukan titik temu. Berbicara bersama malah membuat kepala pening. Bukan hanya itu, rasanya jantungku benar-benar akan meledak. Aku kalap dengan diri sendiri. Namun bila tidak sekarang, akankah tahun depan?

“Yakin tidak akan menyesal? Manusia tidak tahu tentang takdir Tuhan loh” ungkapnya renyah.

Aku kalang kabut mendengarnya. Entah siapa yang tiba-tiba masuk dalam percakapan kami, tapi peryataannya berhasil menggenggam keberanianku untuk mengambil langkah. Ya, kini kuputuskan meletakkannya di meja kerja ayah–lagi.

19.3.21

Arti Sebuah Pertemuan

"Ada satu bahagia yang tidak bisa dijelaskan oleh indra manusia," 

"Selamat ya Nia..." mengulurkan tangan sembari tersenyum. Aku sedikit mematung, batin mulai menggerutu; terharu. Eh, Sensei tahu namaku?

Ah! Maklum saja, di sekolah aku bukanlah siswa populer yang bisa dikenal para guru. Aku berpendapat demikian, sebab selama tiga tahun belajar di sini belum sekali pun dipanggil dengan nama yang benar selain kata "mbak". Oh, ada sih Guru Bahasa Indonesia yang entah mengapa hobi sekali menyebut namaku ditiap pembelajarannya. 

"Frasa dari kalimat itu apa Nia?" ; "Nia, berapa klausa pada contoh nomor sekian?"; "Tolong dicatat ya Nia, judul tugas paragraf teman-temanmu. Kalau ada yang sama suruh ganti." Tiap pembelajaran Bahasa Indonesia ada saja yang ditanyakan. 

Satu lagi, Guru Sastra Indonesia yang kalau enggak sengaja papasan selalu menyelipkan pertanyaan, "Nia, mana karyamu?" atau "Nia, bagaimana tadi ujian Sastra Indonesianya, bisa?" Selebihnya guru memanggilku karena membagikan buku tugas atau nilai hasil ujian.

Kukira begitu juga dengan Sensei. Selama belajar Bahasa Jepang, beliau tak berbeda dengan guru lainnya. Namun ketika Sensei menyapaku di depan ruang Wakil Kepala Sekolah kala itu, ada satu hal yang terbesit di kepala menyoal apakah perkiraanku selama ini salah? Bertemu dua kali dalam satu pekan selama tiga tahun, apa iya Sensei tak tahu namaku? Mungkin ingat wajah sih atau dilabeli sebagai anak Bahasa tanpa nama? 

Kenapa baru sekarang Sensei menyebut namaku? Padahal sudah tak banyak kesempatan yang kumiliki di sini? Jika Sensei saja sudah mengucapkan selamat, itu artinya  aku harus pergi, meninggalkan dan menautkan masa putih abu-abuku, lalu merambah ke antah-berantah. 

Akan tetapi mengapa harus saat itu?  Bukankah selama ini banyak kesempatan? Tapi kenapa disaat-saat seperti itu? Mengapa? 

Jika ditelisik lagi, sepertinya aku memang berhak diperlakukan demian. Toh, aku memang jarang bertukar pikiran, apalagi hanya sebatas basa-basi. 

Lantas, apakah aku tengah menyesali pemikiran dangkal tentang Sensei dan semuanya? 

Aku memang tidak tahu arti sebuah pertemuan. Namun dari pertemuan ada satu bahagia yang tidak bisa dijelaskan melalui indra manusia. Satu bahagia yang merupakan pemaknaan dan  kesempatan. Pemaknaanmu saat menyapa dan kesempatan untuk mengenalmu selama tiga tahun di sini. 

Terima kasih Sensei, dalam satu bahagia itu. Aku tak perlu lagi berdalih tentang siapa dirimu. Hanya satu yang kutahu; berpisah denganmu bukan lagi tentang kesedihan. Meski aku belum bisa memperlakukanmu dengan selayaknya. Kau orang baik, begitu mereka berkata. Jadi aku tak perlu khawatir, sebab kau memang orang baik; begitu pula dalam ingatanku.


*Sensei (bahasa Jepang) = guru

5.3.21

Berbalik

Rintik hujan tak lagi membasahi tanah

Tak serupa pekan lalu

Namun ia tetap saja menggoda; 

membaui ketenangan 


Tatkala malam pun membeku

Tak ada lagi asap berlenggak-lenggok di cangkir kopi

Terutama sentuhan hangat sang jari-jari kokohnya 

Dia membisu; sudah terlalu lama


Kini aku menyadari 

Rasanya tak lagi pekat

Serupa detik-detik lalu

Seusai indra merajai waktu 


Lantas aku kembali

Tak lagi melarikan diri



LMJ, Maret 2021

21.10.20

Sepasang Sepatu yang Terlepas dari Tuannya


     “Jangan lari!” ujarnya sesekali. Dia terlihat lelah, lusuh setelah kuajak berkeliling pemukiman di tengah hari. Jangan ditanya; terik, asap, debu dan keringat yang bercucuran menjadi satu-satunya riasan kala itu. Namun aku tak peduli–dia akan tetap cantik dengan satu usapan saja.

“Apa?” tuturnya sedikit mengernyit melihat uluran tanganku. “Tidak ada gunanya” tepisnya lalu beranjak mendahuluiku.

“Setidaknya kau terima Rum.” Namun dia tak mengindahkanku dan malah melebarkan langkah kakinya. “Sebagai permintaan maafku!” ucapan itu berhasil membuatnya berhenti meski tanpa bertatapan. Dari lima langkah jaraknya berdiri, mulai  terdengar suara lirih dan tubuh Rum mulai terguncang. Dia tak peduli kepada orang-orang yang menatapnya heran, apa lagi padaku yang tak tahu harus berbuat apa? Sebab aku tak ingin kisah ini terulang seperti tiga bulan yang lalu.

“Sejak kapan kau peduli?” 

“Apa begini ucapan rindumu Rum?” dia mulai tak acuh dan membelakangiku. Sejujurnya ini adalah pertemuan pertama setelah dua tahun lalu. “Bila terus begini kapan kita bisa bicara?” bujukku sembari menghampirinya menatap ke arah daun jendela. “Rum?” dia tetap bergeming. Tak ada tanda-tanda dia akan menyambutku kembali.

Hampir satu jam aku berada di ruang pengap itu tanpa membuahkan hasil apapun. Rum masih saja tak mengacuhkan aku. Namun beberapa kali perawat mengingatkan untuk segera meninggalkan tempat ini. Jam jenguk sudah berakhir.

“Aku pergi Rum,” sembari meletakkan sekotak benda kesayangannya di meja.

“Jangan kembali.”

“Aku akan datang esok” ucapku sebelum menghilang dari balik pintu.

Keesokan harinya aku tak lagi menemukan Rum di kamarnya. Dia benar-benar memutuskan menghindar dari berbagai hal tentangku. Bahkan sekotak benda kesayangannya yang kubawa kemarin masih berada di tempat yang sama. Sesenti pun tak bergeser dan tak tersentuh. 

Hampir satu jam aku menunggu, tapi Rum belum kembali. Aku memutuskan mencarinya di sekitar bangsal dan taman, tapi tetap saja nihil. Bertanya kepada para perawat juga percuma. Entah apa yang dikatakan Rum kepada perawat-perawat itu hingga mereka benar-benar tutup mulut.

“Kamu tak ingin menemuinya, Rum?” seseorang paruh baya berjas putih bertanya lembut. Dari lantai tiga Rum hanya menatap keluar dari bingkai jendela, mengamati punggung laki-laki yang kian menjauh dari tempatnya berdiri.

“Untuk apa ayah?” jawabnya tanpa beralih sedikit pun dari tempatnya berdiri. “Rum, bukan lagi sepatu miliknya” lanjut Rum sembari menarik kelambu, lalu berbalik arah dan duduk di sebelah sang ayah.

Tak banyak yang bisa Rum bicarakan bersama ayahnya. Mereka lebih sering bergeming menatap sekotak benda yang dibawa perawat dari kamarnya. Barang kemarin lusa pemberian laki-laki itu yang kini bertambah  secarik kertas bertuliskan; “Esok, kusempatkan untuk datang.” 

9.10.20

Dari Kotamu yang Gerimis


Perjalananku tak lagi bersinggah petang

Sudah tak ada kemacetan menghadang

Tiap kelok arus langkah roda dua ini


Di balik kota gapuramu aku ragu

Tulisan selamat datang,

malah membuatku menggugu

Sedu; kelu; jiwa membeku


Dari kotamu yang gerimis

Aku berbalik arah

Menutup perjalanan; selamat jalan



Lumajang, 7 September 2020

7.10.20

Ampun


Kelabu di titik terang

Menyorot sunyi

Kian menderai di tengah lautan


Bunyi sumbang menggema

Membaui rasa

Yang mulai terombang ambing ombak selaba


Menggulung menggulung menggulung

Lantas menghempas daratan

Hilang! Aku yang menatap di tepinya


Tuhan ampun

Ampuni aku



Lumajang, Agustus 2020